Emmanuel Macron Ditampar Warga Saat Lakukan Kunjungan Kerja

Lawan politik dukung Emmanuel Macron

Paris, IDN Times - Pada hari Selasa, 8 Juni 2021, Presiden Prancis Emmanuel Macron melakukan kunjungan ke Tain-l'Hermitage sebuah kota di Drome, sekitar 600 kilometer arah tenggara ibukota Paris. Saat sampai, Presiden Macron datang menyapa kerumunan warga yang telah menyambutnya.

Ketika ia mendekat dan berbincang ringan dengan beberapa warga yang dibatasi pagar besi, seorang lelaki terlihat menampar wajah Presiden Macron. Salah seorang pengawal yang berada di dekat presiden telah berusaha menghalau, tapi terlambat sepersekian detik sehingga tangan pelaku terlihat telah mendarat di pipi Emmanuel Macron secara cepat.

1. Pelaku penamparan Presiden Prancis adalah individu 'ultra-violent' royalis

https://www.youtube.com/embed/1j4YL7lfw3g

Kabar ditamparnya Presiden Emmanuel Macron tersebut segera menjadi berita nasional di Prancis dan ramai dibicarakan. Macron melakukan kunjungan ke Drome dalam rangka melihat perkembangan wilayah tersebut saat pandemi mulai mereda.

Dalam kunjungannya, Macron melihat sebuah sekolah perhotelan yang mengajarkan murid-muridnya bagaimana bekerja di restoran dan hotel.

Insiden penamparan Emmanuel Macron berjalan sangat cepat. Para pengawalnya segera melindungi presiden dan pengawal yang lain segera menarik dan membekuk pelaku.

Melansir France24, ketika Macron diwawancarai tentang insiden tersebut, ia menganggapnya sebagai sebuah masalah yang kecil yang dilakukan oleh seorang individu 'ultra-kekerasan.' Macron mengaku tidak dalam kondisi yang terancam dan dia tetap melanjutkan kunjungan kerja yang telah direncanakannya.

Pria yang menampar Macron itu adalah seorang royalis, yang memuja Prancis monarki, jauh sebelum Prancis berubah menjadi republik seperti saat ini. Dia meneriakkan "Montjoie! Saint Denis!" sebuah seruan peperangan yang telah berusia berabad-abad.

Selain itu, pria tersebut juga menyerukan "A bas la Macronie", atau "Turunkan Macron."

Drome sendiri adalah wilayah tenggara-selatan Prancis yang jauh, dengan jumlah penduduk setengah juta orang. Sedangkan kota yang dikunjungi Macron, Tain-l'Hermitage, memiliki sekitar 5 ribu penduduk.

2. Polisi Prancis menangkap dua orang

Pelaku yang menampar Presiden Emmanuel Macron segera ditangkap oleh pihak kepolisian. Selain itu, penyelidikan juga segera dilancarkan dengan melakukan penggeledahan orang yang diduga bekerja sama dengan pelaku di kota Tain-l'Hermitage, pria yang merekam insiden penamparan tersebut.

Polisi menangkap pelaku dan perekam insiden. Dalam pengeledehan di Tain-l'Hermitage, polisi menemukan sejumlah senjata dan salinan teks anti-Semit karya Adolf Hitler yang berjudul Mein Kampf di rumah pria yang merekam aksi penamparan.

Melansir BBC, beberapa senjata yang ditemukan di rumahnya adalah pedang, belati, dan senapan kolektor yang secara sah dimilikinya. Tidak jelas apakah senjata itu berfungsi dengan baik.

Juru bicara presiden, Gabriel Attal, membantah sebuah laporan yang mengatakan bahwa Emmanuel Macron sudah diperingatkan sebelumnya agar tidak mendekati kerumunan. "Jelas presiden republik akan terus berhubungan langsung dengan rakyat Prancis, sama seperti pemerintah lainnya," katanya.

Xavier Angeli, Walikota setempat, mengaku bahwa Macron sebenarnya telah mendesak pasukan keamanannya untuk "tinggalkan dia, tinggalkan dia." Meski begitu, pelaku dan kawannya tetap ditangkap.

Baca Juga: Macron Akui Tanggung Jawab Prancis di Genosida Rwanda 1994

3. Kemarahan lintas kelompok politik

Pada dasarnya, sebagian besar masyarakat Prancis saat ini bangga dengan bentuk pemerintahan republik. Gerakan sipil Prancis yang telah menumbangkan monarki berabad-abad lalu, telah menginspirasi banyak gerakan di seluruh dunia tetang kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite).

Karena itu, insiden penamparan Presiden Macron telah membuat banyak kelompok politik Prancis marah, baik itu sayap kanan, tengah maupun kiri. Prancis adalah negara yang bangga dengan demokrasinya.

Melansir CNN, pesaing Emmanuel Macron yakni Marine Le Pen, yang merupakan lawan politik terbesar Macron, dalam konferensi pers mengatakan menyerang Presiden secara fisik "tidak dapat diterima."

"Kita bisa menyerangnya secara politis tetapi kekerasan apa pun terhadapnya harus dikutuk dalam demokrasi," tambah Le Pen.

Francois Hollande, mantan Presiden dari Partai Sosialis berpendapat bahwa serangan itu adalah "pukulan yang tak tertahankan terhadap institusi kita. Seluruh bangsa harus menunjukkan solidaritas dengan kepala negara."

Baca Juga: Macron Ancam Tarik Pasukan Prancis Usai Kudeta Mali

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya