Jepang: Perempuan Boleh Hadir Rapat tapi Tidak Boleh Bicara 

Kesenjangan gender dalam politik Jepang masih mengakar 

Tokyo, IDN Times – Dalam beberapa minggu terakhir, Jepang dihantam isu seksisme yang memanas. Salah satu mantan Perdana Menterinya yang bernama Yoshiro Mori telah menimbulkan kemarahan publik setelah mengungkapkan pernyataan yang dianggap menghina perempuan.

Yoshiro Mori, dalam sebuah pernyataan, menganggap perempuan terlalu cerewet dan ingin selalu bersaing sehingga tidak terlalu cepat dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Akibat pernyataannya itu, Mori yang menjabat sebagai Ketua Panitia Penyelenggara Olimpiade Tokyo didesak untuk mundur dari jabatannya.

Keseteraan gender di Jepang di dalam tubuh politik adalah salah satu yang tertinggal di negara maju. Pada tahun 2012 lalu, ketika Shinzo Abe jadi Perdana Menteri, peringkat global perempuan di Parlemen Jepang berada di posisi 164 dari 193 negara. Saat ini kesenjangan gender di Jepang berada di posisi 121 dari 153 negara. Jepang adalah negara maju yang dikritik karena jarak kesenjangan gender yang curam.

1. Partai penguasa undang lebih banyak perempuan ke pertemuan

Jepang: Perempuan Boleh Hadir Rapat tapi Tidak Boleh Bicara Yoshiro Mori mundur dari jabatan Presiden Olimpiade Tokyo. (Instagram.com/cmaesport)

Pernyataan Yoshiro Mori yang dianggap menghina perempuan telah membuat publik marah. Bahkan walikota Tokyo yang saat ini perempuan, mengancam tidak akan menghadiri pertemuan yang dilakukan bersama Mori karena ucapan berbau seksisme itu.

Yoshiro Mori akhirnya mundur dari jabatan ketua panitia Olimpiade Tokyo dan digantikan Seiko Hashimoto, seorang perempuan mantan atlet Jepang. Naomi Osaka yang saat ini menjadi petenis nasional andalan Jepang menyambut baik atas penunjukkan Hashimoto.

Jepang mulai terlihat untuk menyusun citra barunya atas kritik kesenjangan gender dengan memilih Hashimoto sebagai ketua panitia penyelenggara Olimpiade Tokyo. Partai penguasa Jepang (LDP) juga mengundang para anggota partai perempuan untuk lebih banyak hadir dalam pertemuan atau rapat resmi.

Sekretaris Jendral LDP, Toshihiro Nikai, melansir dari kantor berita Reuters, beberapa hari setelah Mori mengundurkan diri, berharap akan ada lebih banyak anggota partai perempuan ikut hadir dalam rapat dewan. Nikai mengusulkan rencana bahwa anggota parlemen perempuan sebanyak lima orang dapat ikut hadir dalam pertemuan anggota dewan.

2. Hadir untuk jadi saksi pertemuan, tidak untuk berbicara

Jepang: Perempuan Boleh Hadir Rapat tapi Tidak Boleh Bicara Toshihiro Nikai, Sekjen LDP Jepang. (Instagram.com/moto_ishizaka)

Toshihiro Nikai, salah satu politisi senior Jepang yang kini sudah berusia 82 tahun itu, berusaha untuk mendengar kritik dari publik. Karenanya ia mengajukan usulan keterlibatan perempuan lebih banyak dalam rapat atau pertemuan resmi.

Namun proposal rencana Nikai mendapatkan ejekan dari publik Jepang. Hal itu karena, menurut CNBC, perempuan yang akan diundang hadir hanya jadi pengamat dan tidak boleh berbicara. Para perempuan yang jadi pengamat itu dapat menyampaikan pendapatnya secara terpisah ke kantor sekretariat dan bukan pada saat pertemuan.

Apa yang diusulkan oleh Nikai justru kembali menimbulkan kemarahan publik Jepang dan lontaran kritik semakin kuat terdengar. Usulan Nakai itu menjadi bukti bahwa laki-laki terlalu mendominasi politik Jepang dan pandangan partai terhadap dominasi tersebut tidak pernah berubah meski ada kasus besar yang membuat Yoshiro Mori mundur dari jabatannya.

Baca Juga: Buntut Ucapan Seksis, Presiden Olimpiade Tokyo Mundur 

3. Demokrasi tanpa perempuan

Jepang: Perempuan Boleh Hadir Rapat tapi Tidak Boleh Bicara Ruang sidang Parlemen Jepang. (Wikimedia.org/Kimtaro)

Saat ini, di tubuh parlemen Jepang yang memiliki anggota sebanyak 465 politisi, sebanyak 46 adalah perempuan. Jumlah itu hanya sekitar 9,9 persen dari total komposisi. Jika dibandingkan dengan rata-rata internasional, jumlah tersebut terpaut jauh. Rata-rata anggota parlemen internasional memiliki komposisi sebanyak sekitar 25,1 persen.

Melansir dari laman The Guardian, mantan Menteri Pertahanan Jepang yang bernama Tomomi Inada menyarakan agar lebih banyak perempuan diizinkan hadir dalam pertemuan penting partai. Tahun lalu ia menyebut bahwa Jepang adalah “demokrasi tanpa perempuan,” ketika Yoshihide Suga jadi Perdana Menteri dan hanya menunjuk dua perempuan dalam kabinetnya.

Inada juga mengatakan bahwa jumlah populasi di Jepang, separuhnya adalah perempuan. “Jika perempuan tidak memiliki tempat untuk membahas kebijakan yang ingin mereka berlakukan, demokrasi Jepang tidak bisa tidak bias,” katanya.

Rencana usulah Sekjen LDP yang melibatkan lima perempuan untuk hadir dan menyaksikan tapi tidak untuk mengeluarkan pendapat mendapatkan ejekan dari anggota parlemen oposisi. Mereka menyebut bahwa rencana itu menempatkan perempuan hanya dalam posisi “praktek kerja lapangan” saja.

Seorang sosiolog budaya dari Waikato University di Selandia Baru yang bernama Belinda Wheaton mengatakan “Saya pikir mungkin sudah waktunya untuk mengajukan pertanyaan tentang mengapa kita merasa bahwa laki-laki berusia 70an atau 80an mampu memenuhi peran ini dengan lebih baik dibandingkan laki-laki berusia 40an atau 50an, atau perempuan,” katanya.

Di Jepang masih banyak politisi penting laki-laki dan mereka berusia sepuh. Mereka tetap memiliki pengaruh kuat dalam politik. Sebut saja misalnya Yoshihiro Mori yang mengundurkan diri dari Ketua Panitia Olimpiade Tokyo berusia 83 tahun. Sekjen LDP Toshihiro Nakai berusia 82 tahun. Perdana Menteri Yoshihide Suga berusia 73 tahun. Mereka adalah orang-orang kelahiran 1930an dan 1940an dan aktif serta memiliki posisi kunci di politik Jepang.

Baca Juga: Buntut Ucapan Seksis, Presiden Olimpiade Tokyo Mundur 

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya