Ledakan di Mali, 3 Tentara Prancis Meninggal

Prancis dan Mali memiliki hubungan erat

Bamako, IDN Times – Pada hari Senin, 28 Desember 2020, tiga orang tentara Prancis tewas di daerah Hombori, wilayah Sahel, sekitar 940 kiometer sebelah timur laut ibukota Bamako, Mali. Kendaraan lapis baja yang ditumpangi oleh tentara tersebut, dengan malang menghantam bahan peledak sehingga membuat mereka meninggal.

Prancis dan Mali memiliki hubungan erat. Mali yang berada di bagian Afrika barat tersebut adalah bekas jajahan Prancis. Dalam beberapa aspek penting, Mali menginduk dengan Prancis seperti adopsi bahasa resminya yang menggunakan bahasa Prancis.

Negara ini merdeka dari Prancis pada tahun 1960. Jumlah penduduknya saat ini sekitar 20 juta. Pada tahun 2012, kelompok milisi pecahan al-Qaeda mengguncang Mali dan berusaha mencapai ibukota Bamako. Prancis melakukan intervensi militer atas perintah Presiden Francois Hollande pada tahun 2013 dan bertahan hingga saat ini.

1. Operasi militer Barkhane

Ledakan di Mali, 3 Tentara Prancis MeninggalPersonel militer Prancis dalam operasi Barkhane di Sahel. (twitter.com/Roland Hansen France soldier Légion Étrangère)

Intervensi Prancis atas Mali yang mulai dilakukan pada tahun 2013 adalah ikhtiar yang menurut mereka “memerangi teroris” para pemberontak kelompok garis keras Islam di negara tersebut yang mencoba menguasai. 95 persen penduduk Mali beragama Islam dan sebagian kecil memiliki paham jihadis garis keras.

Tiga tentara Prancis yang tewas pada hari Senin lalu adalah bagian dari pasukan Operasi Barkhane yang dijalankan oleh pasukan tersebut di wilayah Sahel dengan jumlah pasukan sekitar 5.100 personel. Menurut VOA, Florence Parly, Menteri Angkatan Bersenjata Prancis, mengatakan bahwa pasukan operasi Barkhane bergerak untuk mengamankan “daerah di mana kelompok teroris menyerang warga sipil dan mengancam stabilitas regional” (28/12).

Di wilayah Sahel yang gersang, di mana ribuan pasukan Prancis bertugas, ada kelompok milisi pejuang gabungan yang melakukan aktivitasnya. Mereka adalah milisi dari Mali, Mauritania, Chad, Burkina Faso dan Niger. Mereka bersama membentuk aliansi G5 Sahel.

2. Identitas tiga tentara yang meninggal

Ledakan di Mali, 3 Tentara Prancis MeninggalTiga personel militer Prancis yang tewas rata-rata berusia muda. (twitter.com/Serkankilic993)

Operasi Barkhane saat ini dilakukan oleh pasukan gabungan Prancis-Mali dan pasukan perdamaian gabungan Afrika. Operasi tersebut menggantikan operasi militer sebelumnya yang bernama Operasi Serval yang dilakukan pada tahun 2013 lalu. Dalam Operasi Barkhane, fokus pasukan keamanan berada di wilayah Sahel yang gersang.

Melansir dari laman Euro News, tiga personel militer yang tewas pada hari Senin berasal dari resimen pertama Thierville-sur-Meuse, daerah Prancis Timur. Tiga orang tersebut bernama Tanerii Mauri, Dorian Issakhainan dan Quentin Pauchet. Rata-rata mereka masih muda dengan usia dari 21 hingga 28 tahun.

Tiga personel militer yang tewas tersebut semakin menambah daftar panjang pasukan Prancis yang tewas sejak operasi militer dimulai pada 2013 lalu. Jumlah total saat ini yang tewas adalah 47 personel. Pada bulan September lalu, dua personel militer Prancis tewas di Mali utara, terkena bom rakitan yang dibuat oleh para milisi.

Baca Juga: Imigran Garda Depan COVID-19 dapat Kewarganegaraan Prancis

3. Dukungan dari pemerintah Prancis

Ledakan di Mali, 3 Tentara Prancis MeninggalPresiden Prancis, Emanuel Macron. (twitter.com/Sébastienne Lawton)

Kabar meninggalnya pasukan Prancis tersebut mendapatkan reaksi dari para pemangku kekuasaan di Prancis. Presiden Emanuel Macron khususnya, memberikan ucapan bela sungkawa emosional terkait kehilangan tiga pasukannya.

Melansir dari laman Deutsche Welle, Macron memuji keberanian dan tekad militer Prancis yang ditempatkan di wilayah Sahel. Dia juga menyatakan bahwa mereka mengasosiasikan dirinya dengan penderitaan keluarga, kerabat mereka, dan saudara seperjuangan mereka serta meyakinkan mereka akan pengakuan dan solidaritas bangsa.

Prancis, menurut Emanuel Macron akan terus berjuang dan berperang melawan apa yang ia sebut sebagai “terorisme”. Pada bulan November lalu, pasukan Prancis berhasil menumbangkan pemimpin militer sayap Afrika Utara al-Qaeda yang bernama Bahag Moussa.

Pada Agustus lalu, kudeta militer dilakukan kepada presiden Mali, Ibrahim Boubacar Keita. Kudeta tersebut dipimpin oleh Kolonel Assimi Goita. Kesehatan Presiden Keita semakin memburuk setelah dikudeta dan pada hari Sabtu, 26 Desember, diterbangkan ke Uni Emirat Arab untuk melakukan pengobatan.

Prancis khawatir bahwa kudeta militer pada Agustus akan semakin mengguncang negara-negara di Afrika barat. Sebagian besar wilayah Mali masih berada di luar kendali pasukan pemerintah dan pemberontakan yang telah dilakukan oleh milisi sejak tahun 2012 telah menyebabkan ribuan orang meninggal.

Baca Juga: Imigran Garda Depan COVID-19 dapat Kewarganegaraan Prancis

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya