Macron Hadiri Upacara Pemakaman Mantan Presiden Chad

Uni Afrika desak diakhiri kekuasaan militer di Chad

N'Djamena, IDN Times - Pada hari Jumat (23/4), Republik Chad mengadakan upacara pemakaman untuk presidennya yang bernama Idriss Deby, setelah meninggal diserang kelompok pemberontak FACT pada hari Senin lalu (19/4). Idriss Deby dimakamkan di dekat kampung halamannya usai upacara kenegaraan di ibukota N'Djamena.

Kematian presiden itu membuat Chad menghadapi masa depan yang tak pasti. Krisis politik mengancam negeri ini. Usai presidennya meninggal karena serangan dari kelompok pemberontak, militer membentuk dewan transisi dan kepemimpinan sementara dilimpahkan kepada putra mantan presiden yang bernama Mahamat Idriss Deby.

Kelompok pemberontak tidak mengakui pelimpahan kekuasaan, begitu juga kelompok oposisi. Dalam konstitusi negara tersebut, setelah presiden meninggal maka kekuasaan dilanjutkan oleh Ketua parlemen selama 14 hari untuk membuat pemerintahan transisi.

1. Presiden Prancis dan pejabat tinggi Afrika hadiri upacara pemakaman

Chad adalah salah satu sekutu penting negara-negara Barat seperti Prancis dan Amerika Serikat dalam upaya melawan milisi jihadis di Afrika. Kematian Idriss Deby dengan begitu adalah salah satu bentuk kehilangan yang sangat disayangkan.

Prancis membentuk G5, sebuah aliansi yang melibatkan Mali, Burkina Faso, Mauritania, Niger dan Chad. Kelompok itu bergerak melawan jaringan separatis yang berafiliasi dengan al-Qaeda di gurun Sahel dan Boko Haram. Prancis melibatkan lebih dari 5.000 personel militernya.

Sebagai sekutu yang penting, Presiden Prancis Emmanuel Macron ikut menghadiri pemakaman sahabatnya itu. Termasuk tamu kehormatan lainnya yang hadir adalah Presiden Kongo Felix Tshisekedi, ketua Uni Afrika saat ini.

Melansir dari laman Associated Press, Emmanuel Macron memimpin penghormatan dan berterima kasih kepada mitranya itu karena ambil bagian dalam perang melawan kelompok ekstremis. Dia juga menjelaskan dukungan Prancis terhadap stabilitas Chad.

Selain itu, Macron juga menjelaskan bahwa transisi memiliki peran dalam membawa "stabilitas, inklusi, dialog, dan transisi demokrasi." Ia juga menambahkan bahwa Prancis akan berdiri mendukung Chad.

2. Uni Afrika desak diakhiri kekuasaan militer di Chad

Baca Juga: Chad: Pemberontak Ancam Akan Gulingkan Putra Presiden

Idriss Deby menguasai Chad sejak tahun 1990. Itu berarti, dia sudah memimpin selama kurang lebih 30 tahun lamanya. Pada April bulan ini, Chad mengadakan pemilu presiden dan Deby mengklaim kembali terpilih. Itu berarti ia akan melanjutkan kepemimpinannya, sebelum akhirnya terbunuh ketika berkunjung ke garis depan pertempuran melawan pemberontak.

Banyak kritik dari kelompok oposisi terhadap kepemimpinan Idriss Deby. Bahkan dalam pemilu April, kelompok oposisi ada yang menyerukan untuk memboikotnya.

Kini, setelah kematian Idriss Deby dan militer melimpahkan kepemimpinan kepada anaknya, kritik lain bermunculan.

Melansir dari laman BBC, Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika menyuarakan "keprihatinan besar" tentang pengambilalihan militer yang menempatkan Jenderal Mahamat Deby Itno yang berusia 37 tahun sebagai pemimpin baru. Uni Afrika mendesak untuk diakhiri kekuasaan militer di negara tersebut. Mereka juga mengatakan sebaiknya kekuasaan di serahkan kepada warga sipil.

Namun di sisi lain, Prancis yang bersahabat dengan Chad sepertinya mendukung pelimpahan kekuasaan.

Pelimpahan kekuasaan itu membuat kelompok pemberontak FACT berkomentar bahwa "Chad bukanlah monarki." Partai-partai oposisi menuduh bahwa pelimpahan kekuasaan adalah "kudeta dinasti."

3. Kritik terhadap kekuasaan militer Chad

Macron Hadiri Upacara Pemakaman Mantan Presiden ChadMahamat Idriss Deby, putra almarhum Presiden Republik Chad (Twitter.com/thom_faraja)

Kelompok pemberontak FACT disebut tidak memiliki kaitan dengan para militan jihadis yang berafiliasi dengan al-Qaeda atau Boko Haram. Meski begitu, FACT adalah salah satu kelompok pemberontak yang berusaha menggulingkan kekuasaan Idriss Deby sejak tahun 2016 lalu.

Lamanya Idriss Deby dalam memimpin Chad juga membuat beberapa pihak mengkritik kekuasaan militer di negara itu. Melansir dari kantor berita Reuters, kelompok hak asasi manusia menuduh Prancis dan Barat menutup mata terhadap penindasan pemerintah selama 30 tahun pemerintahan Deby karena kerjasamanya dalam masalah keamanan.

Salah satu pemimpin oposisi terkemuka Chad yang bernama Succes Masra menolak model pelimpahan kekuasaan yang dilakukan dewan transisi militer. Dia lebih mendukung gagasan penyerahan kepemimpinan terhadap warga sipil dan militer memegang jabatan wakilnya yang memiliki peran keamanan.

Menurut Masra, pelimpahan kekuasaan terhadap putra Idriss Deby menunjukkan sistem yang tidak berubah. Pada saat yang sama ketika upacara pemakaman kenegaraan dilaksanakan, Masra mengatakan bahwa "putranya mengirimkan polisi untuk mengepung markas Transformers (nama partainya). Oleh karena itu, dunia melihat bahwa sistemnya tidak berubah."

Baca Juga: Presiden Chad Meninggal Dibunuh Pemberontak

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya