Myanmar, Negara yang Terus Berjuang Melawan Diktator

Dikuasai oleh junta militer selama puluhan tahun

Jakarta, IDN Times - Satu tahun sejak kudeta militer yang dipimpin oleh Min Aung Hlaing, situasi Myanmar sampai saat ini masih tidak stabil. Beberapa perlawanan dari kelompok pro-demokrasi masih terjadi.

Kudeta Myanmar pada 1 Februari 2021 telah menghancurkan harapan berkembangnya demokrasi di negara tersebut, yang sebenarnya telah dipuji oleh beberapa komunitas internasional.

Kini rezim junta yang berkuasa menjanjikan akan mengadakan pemilu pada tahun 2023 mendatang. Tapi tidak diketahui apakah pemerintahan demokratis akan berjalan di negara tersebut.

Sejak Myanmar meraih kemerdekaan dari Inggris, negara itu terus berkutat pada masalah perang saudara, salah urus negara yang menyebabkan kemiskinan, serta pergantian para diktator. Watak kepemimpinan otoriter warisan komunisme masih menguar dari para pemimpin militernya.

Berikut ini adalah fakta-fakta Myanmar, negara yang terus berjuang menuju demokrasi tapi juga habis-habisan melawan sistem kediktatoran saudaranya sendiri.

1. Perbedaan Burma dan Myanmar

Myanmar, Negara yang Terus Berjuang Melawan Diktatorilustrasi (Unsplash.com/Yves Alarie)

Myanmar adalah sebuah negara di Asia Tenggara yang memiliki sejarah panjang dan luhur. Negara itu pernah menguasai bagian selatan China, bagian timur India, serta terkenal karena kekayaannya.

Dulu, negara tersebut bernama Burma. Pada tahun 1989, pemerintah negara tersebut yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win menggantinya menjadi Myanmar.

Alasan utama dibalik penggantian itu karena, Burma dianggap mewakili salah satu etnis mayoritas, yakni Barma. Myanmar dianggap secara politis mencakup semua etnis yang tinggal di negara tersebut, baik itu mayoritas maupun minoritas.

Perubahan nama negara itu dibarengi dengan perubahan nama ibu kota. Sebelumnya bernama Rangoon berubah menjadi Yangon. Pergantian nama tersebut juga termasuk upaya untuk memutus warisan kolonial Inggris yang pernah menjajah Myanmar.

Meski begitu, penggunaan Myanmar dan Burma sampai saat ini masih kerap digunakan secara bergantian. Pemerintah Amerika Serikat (AS) sampai saat ini masih menyebut Myanmar sebagai Burma.

2. Merak sebagai simbol nasional dan simbol perlawanan

Myanmar, Negara yang Terus Berjuang Melawan Diktatorilustrasi (Unsplash.com/David Everett Strickler)

Selain memiliki banyak candi dan pagoda, Myanmar menganggap bahwa burung merak adalah simbol nasional negaranya. Burung merak telah menjadi salah satu kebanggaan, yang diwariskan sejak Kerajaan Konbaung, kerajaan yang menjadi cikal-bakal Myanmar modern.

Kerajaan Konbaung mulai bersinggungan dengan kekuatan kolonial Inggris ketika berusaha melebarkan kekuasaan ke sebelah barat, yakni ke India. Saat itu, India berada di bawah kekuasaan Inggris.

Perang selama lebih dari 60 tahun membuat kerajaan di Myanmar itu mendapatkan kekalahan, sehingga kemudian dijajah oleh Inggris.

Dalam salah satu perjuangan melawan Inggris, Aung San (Bapak Aung San Suu Kyi) adalah seorang pejuang yang memimpin perlawanan. Dia menggunakan burung merak sebagai simbol perjuangannya.

Ketika Myanmar meraih kemerdekaan dan dikuasai oleh kediktatoran, Aung San Suu Kyi membentuk Liga Nasional untuk Demokrasi. Dia mengadopsi burung merak sebagai lambang partai dalam perjuangan melawan kekuasaan militer.

3. Dibantai dan dikuasai junta militer

Myanmar, Negara yang Terus Berjuang Melawan DiktatorIlustrasi. (Unsplash.com/ Filip Andrejevic)

Baca Juga: 1 Tahun Kudeta Myanmar, Ini Fakta-Fakta yang Perlu Kamu Ketahui!

Ketika kerajaan Konbaung dikalahkan oleh Inggris dan Myanmar menjadi negara jajahan, negara itu disebut sebagai salah satu negara terkaya di Asia Tenggara. Banyak batu mulia dan kayu berharga yang dihasilkan dari Myanmar.

Akan tetapi, hasil keuntungan itu mengalir ke Inggris atau ke pejabat Inggris di India yang memerintah. Oleh sebab itu, banyak terjadi pemberontakan, meningkatnya bandit dan gerakan protes.

Pada tahun 1947, dilakukan negosiasi antara Inggris dengan Anti-Fascist People's Freedom League (AFPFL). Pemerintah kolonial sepakat untuk memerdekaan Myanmar. Tapi pada tahun yang sama, Aung San, dibunuh.

Pada tahun 1948, Myanmar meraih kemerdekaan dan negara itu diperintah dengan sistem demokrasi parlementer. Tapi era tersebut rupanya tak bertahan lama.

Pada tahun 1962, menurut CNN, pemimpin militer Jenderal Ne Win melakukan kudeta tak berdarah dan memerintah negara tersebut dengan otoriter. Di bawah Ne Win, dia membuat kebijakan isolasi dan program ekonomi sosialis, yang memicu anjloknya ekonomi secara cepat.

Ketika pemerintahan junta militer itu berkuasa, korupsi juga terjadi secara meluas. Kekurangan makanan pada akhirnya terjadi dan memicu protes besar pada tahun 1988. Rakyat melakukan demonstrasi dan pasukan keamanan menindak dengan keras. Sekitar tiga ribu orang tewas dibantai militer dan ribuan orang lainnya mengungsi.

Ne Win mundur dari kepemimpinan tapi masih tetap aktif di belakang layar. Pemerintahan digantikan oleh junta militer lain, dan rakyat Myanmar masih tetap berusaha untuk berjuang demi demokrasinya.

4. Revolusi Saffron, para biksu yang memberontak

Myanmar, Negara yang Terus Berjuang Melawan Diktatorilustrasi (Unsplash.com/Hannah Vu)

Dengan lebih dari 50 juta populasi, sebagian besar masyarakat Myanmar memeluk agama Buddha Theravada. Sebagian besar masyarakat taat dan memperlakukan para biksu dengan sangat hormat.

Agama lain yang ada di Myanmar tapi minoritas adalah Kristen, Islam, Animisme, Hindu, Tao dan Buddha Mahayana.

Pada tahun 2007, para biksu turun ke jalan. Jubah safron yang mereka kenakan, menjadi identitas utama mengapa gerakan tersebut dinamakan Revolusi Safron. Protes tersebut dipicu oleh kenaikan harga BBM sekitar 100 persen. Kemarahan publik meluas dengan cepat sampai seluruh Myanmar untuk melawan pemerintahan junta. Biksu berada di garis terdepan.

Junta militer yang berkuasa, menindak gerakan itu dengan keras. Sedikitnya 13 orang tewas dalam perhitungan resmi dan ratusan orang lainnya terluka serta ditangkap. Tapi diyakini, jumlah mereka yang tewas ada ratusan orang.

Namun karena Revolusi Saffron inilah, tekanan internasional membuat junta militer melonggarkan kebijakan. Upaya perbaikan sistem menuju demokrasi berlangsung. Pada tahun 2011, junta militer bahkan dibubarkan dan terbentuklah parlemen sipil, meski didominasi oleh militer. 

Saat itu, Perdana Menteri Thein Sein diangkat sebagai Presiden Myanmar. 

5. Genosida Rohingya, etnis yang tertindas

Myanmar, Negara yang Terus Berjuang Melawan DiktatorIlustrasi kerusuhan (Unsplash.com/Alex McCarthy)

Upaya perbaikan sistem demokrasi Myanmar menuju arah yang terlihat baik. Pada tahun 2015, partai Liga Nasional untuk Demokrasi milik Aung San Suu Kyi dengan telak memenangi pemilu. Secara de facto, Myanmar dipimpin oleh Suu Kyi. Akan tetapi, junta militer, Tatmadaw, secara luas masih memegang kendali keamanan negara.

Pada tahun 2017, terjadi gejolak di Myanmar, khususnya di negara bagian Rakhine. Di wilayah itu, terjadi bentrokan antara etnis minoritas Rohingya dengan pasukan keamanan negara dan etnis lain.

Selama beberapa dekade, menurut Council on Foreign Relations (CFR) telah melakukan diskriminasi terhadap Rohingya. Bahkan diskriminasi itu terlembagakan. Pembatasan dilakukan dalam pernikahan, pekerjaan, pendidikan, dan kebebasan bergerak.

Selain itu, negara bagian Rakhine adalah bagian paling tidak berkembang dengan tingkat kemiskinan 78 persen. Hal ini memperburuk situasi perpecahan antara masyarakan Islam dan Buddha yang mayoritas.

Ketegangan itu kemudian meletus menjadi bentrokan mematikan. Lebih dari satu juta Rohingya melarikan diri. Perburuan desa-desa Rohingya dilakukan, rumah-rumah dibakar. Etnis Rohingya jadi korban kekerasan, rudapaksa, dan pembunuhan.

Pada bulan pertama bentrok yakni Agustus 2017, sekitar 6.700 Rohingya tewas. Junta militer menembaki warga sipil dengan peluru tajam. Bahkan junta juga memasang ranjau darat di daerah penyeberangan perbatasan untuk mencegah Rohingya yang berusaha melarikan diri ke Bangladesh.

Aung San Suu Kyi saat itu menyebut tidak ada genosida di Myanmar dalam peristiwa itu. Dia banyak dikritik dan dikecam oleh aktivis.

Aela Callan dari Al Jazeera yang pernah mewawancarai orang-orang Myanmar era Liga Nasional untuk Demokrat berkuasa, menyebut bahwa Suu Kyi adalah pemimpin partai demokrasi yang memimpin dengan cara diktator.

Callan mengutip ucapan orang-orang tersebut dengan syarat anonim "Dia (Suu Kyi) memperlakukan kami seolah-olah kami adalah anak sekolah dan kami tidak berani menanyainya sebagai yang lebih tua."

6. Konflik etnis di Myanmar

Myanmar, Negara yang Terus Berjuang Melawan DiktatorMassa demonstran Myanmar menolak kudeta militer. (Twitter.com/Anonymous)

Pada dasarnya, Myanmar adalah negara yang beragam. Tapi dua per tiga populasi didominasi oleh etnis Barma atau Bamar. Dalam catatan CFR, banyak kelompok etnis minoritas yang telah menghadapi diskriminasi sistemik, pemerataan ekonomi yang tidak adil, perwakilan minimal di pemerintahan, dan pelanggaran hak asasi oleh junta militer.

Junta militer yang masih terus membayangi Myanmar, pada 1 Februai 2021 melakukan kudeta militer dan mencengkeram negara itu kembali kepada kekuasaan kediktatoran. Sebelum kudeta itu terjadi, konflik telah terjadi antara etnis minoritas dengan pasukan pemerintah Myanmar di daerah perbatasan.

Mereka yang bentrok dengan pasukan pemerintah termasuk Tentara Pembebasan Nasional Karen di Negara Bagian Kayin; Tentara Kemerdekaan Kachin di Negara Bagian Kachin; dan Tentara Negara Bagian Shan di Negara Bagian Shan.

Sampai saat ini, kelompok-kelompok pasukan berdasar etnis masih menjadi kantong kekuatan, yang telah berusaha bersatu untuk melawan pemerintahan junta militer Myanmar.

Beberapa kelompok etnis telah bersedia dengan pemerintah bayangan Myanmar, yakni National Unity Government (NUG). Pasukan pejuang lain yang berdasarkan etnis, ada yang berusaha untuk mengontrol wilayah mereka sendiri, dan melawan gempuran pasukan junta militer.

Perpecahan antar-etnis di Myanmar sendiri dibuat sejak negara itu berada di bawah penjajahan kolonial Inggris. Itu menjadi semakin parah ketika negara tersebut merdeka. Diskriminasi terjadi di banyak bidang, bahkan dilembagakan.

Myanmar sepertinya masih akan terus berjuang untuk meraih demokrasinya sendiri.

Baca Juga: Profil Aung San Suu Kyi, Pemimpin Myanmar yang Jadi Tahanan Politik

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya