PBB: 8.521 Anak-Anak Digunakan Sebagai Tentara pada 2020 

Ribuan anak-anak tewas dan terluka dalam konflik bersenjata

New York, IDN Times - Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres pada Senin, 21 Juni 2021, mengumumkan laporan tahunan kepada Dewan Keamanan PBB. Dalam laporan tersebut, ia menyampaikan bahwa pada tahun 2020 lalu, lebih dari 8.000 anak-anak di seluruh dunia, digunakan sebagai personel militer.

Selain itu, ada belasan ribu pelanggaran dalam konflik bersenjata yang melibatkan anak-anak, termasuk mereka yang diculik, dilecehkan secara seksual, dan akses bantuan pendidikan dan kesehatan yang dihambat atau ditolak.

1. Lebih dari 2.000 anak-anak tewas dan lebih dari 5.000 terluka dalam konflik

Dunia pada tahun 2020 tidak hanya dicekam dengan merebaknya virus corona, akan tetapi juga masih tetap dibayangi oleh konflik bersenjata di beberapa negara. Dalam konflik bersenjata tersebut, secara berkala Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres membuat laporan yang menggambarkan situasi termasuk tawaran solusi untuk disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB.

Salah satu hal yang jadi pokok perhatian dalam laporan tersebut yakni keterlibatan anak-anak dalam konflik bersenjata yang seringkali brutal dan tidak berperikemanusiaan. Melansir kantor berita Reuters, Guterres melaporkan sebanyak 2.674 anak tewas dan 5.748 terluka dalam berbagai konflik pada tahun 2020.

Hal yang mengejutkan lagi adalah sebanyak 8.521 anak-anak telah diverifikasi dilibatkan dan digunakan sebagai personel militer. Sebagian dari jumlah inilah yang pada akhirnya termasuk menjadi korban tewas dalam konflik.

2. Daftar hitam pihak yang terlibat dalam konflik dan membuat anak-anak jadi korban

PBB: 8.521 Anak-Anak Digunakan Sebagai Tentara pada 2020 Anak-anak dalam konflik di Yaman. (Twitter.com/WFP Yemen)

Baca Juga: Kala Permainan Tradisional Tinggal Nama, Anak-anak Tidak Lagi Bebas

Selain fakta bahwa ada lebih dari 8.000 anak-anak yang digunakan sebagai personel militer, Antonio Guterres dalam laporan tersebut juga menyampaikan daftar hitam pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, yang menimbulkan kerugian bagi jatuhnya korban anak-anak.

Keputusan untuk memasukkan pihak-pihak yang terlibat konflik, akan memberikan tamparan keras bagi mereka yang masuk dalam daftar hitam. Arab Saudi pernah masuk dalam daftar hitam tersebut pada tahun 2017, karena keterlibatannya memimpin koalisi perang di Yaman yang menimbulkan banyak korban anak-anak.

Daftar hitam itu dianggap kontroversial dan Arab Saudi telah berusaha memberikan tekanan agar negaranya dicabut dari daftar tersebut.

Melansir laman media Kanada Global News, laporan terbaru yang disampaikan oleh Guterres kali ini menyebutkan dua negara yang masuk dalam daftar hitam adalah Myanmar dan Suriah.

Myanmar yang saat ini dikuasai oleh Junta militer dituding melakukan pembunuhan, melakukan kekerasan seksual dan melukai anak-anak. Sedangkan Suriah dituding telah merekrut anak-anak sebagai personel militer, melakukan pembunuhan, melakukan kekerasan seksual dan melukai anak-anak serta melakukan serangan terhadap sekolah dan rumah sakit.

3. Protokol larangan anak-anak dilibatkan dalam konflik bersenjata

Ada banyak alasan mengapa anak-anak terlibat aktif dalam konflik bersenjata di seluruh dunia. Beberapa alasan tersebut di antaranya adalah karena anak-anak diculik dan dipaksa untuk tunduk. Alasan lain bergabung dengan kelompok militer yakni ingin keluar dari kemiskinan, untuk membela komunitas mereka, atau karena dendam serta karena alasan lain.

Anak-anak yang terlibat dalam konflik memiliki beragam fungsi dan peran. Melansir dari laman resmi PBB, anak-anak tersebut ada yang langsung jadi kombatan sampai jadi juru masak. Ada pula yang jadi mata-mata, pembawa pesan, dan bahkan budak seks.

Anak-anak juga sering digunakan sebagai pelaku aksi teror, termasuk sebagai pelaku bom bunuh diri. Setiap tahun, PBB menerima laporan tentang anak-anak berusia 8 atau 9 tahun yang terlibat dengan kelompok bersenjata, baik karena paksaan atau karena alasan lain.

Pada tahun 2000, Majelis Umum PBB telah membuat Protokol Opsional tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata. Dalam protokol yang telah diratifikasi oleh mayoritas negara di dunia, ada lima pokok aturan inti yang mengatur keterlibatan anak-anak dalam konflik.

Lima aturan inti tersebut adalah:

  • Negara tidak boleh merekrut anak-anak di bawah usia 18 tahun untuk mengirim mereka ke medan perang.
  • Negara bagian tidak boleh mewajibkan militer di bawah usia 18 tahun.
  • Negara harus mengambil semua tindakan yang mungkin untuk mencegah perekrutan semacam itu–termasuk undang-undang untuk melarang dan mengkriminalisasi perekrutan anak-anak di bawah 18 tahun dan melibatkan mereka dalam permusuhan.
  • Negara akan mendemobilisasi siapa pun yang berusia di bawah 18 tahun dalam wajib militer atau digunakan dalam permusuhan dan akan memberikan layanan pemulihan fisik, psikologis dan membantu reintegrasi sosial mereka.
  • Kelompok bersenjata yang berbeda dari angkatan bersenjata suatu negara tidak boleh, dalam keadaan apa pun, merekrut atau menggunakan dalam permusuhan siapa pun anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun.

Antonio Guterres dalam laporannya yang terbaru kepada Dewan keamanan menyebutkan ada pelanggaran yang telah dilakukan terhadap 19.379 anak dalam 21 konflik di seluruh dunia pada tahun 2020. Sebagian besar pelanggaran terjadi di Somalia, Republik Demokratik Kongo, Afghanistan, Suriah, dan Yaman.

Baca Juga: Tentara Venezuela yang Ditahan Pemberontak Kolombia Dibebaskan

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya