WHO: Nasionalisme Vaksin COVID-19 Sebabkan Kekacauan

Distribusi vaksin yang tidak adil memperpanjang wabah 

Jenewa, IDN Times – Sudah lebih dari satu tahun bencana wabah virus corona menghantam dunia, tapi belum dapat dipastikan kapan bencana akan berakhir. Mulainya program vaksinasi di beberapa negara telah menimbulkan harapan baru. Meskipun begitu, juga ada kekhawatiran baru.

Kepala WHO Tedros Adhanom Gebreyesus pada hari Senin, 18 Januari 2021, menyampaikan kekhawatiran tersebut di pertemuan Dewan Eksekutif tahunan WHO . Skema pembagian dan distribusi vaksin virus corona yang tidak adil dapat menimbulkan “risiko serius”.

1. Prioritas penduduk negara maju

WHO: Nasionalisme Vaksin COVID-19 Sebabkan KekacauanPerkiraan jadwal distribusi vaksin COVID-19 secara luas. (Twitter.com/Agathe Demarais)

Sudah sejak jauh-jauh hari, WHO telah memperingatkan bahwa nasionalisme vaksin adalah sebuah ancaman dan akan membuat dunia gagal seperti saat menangani virus H1N1 atau HIV. Karena itu, pada Agustus 2020, WHO mengajak negara-negara anggotanya bergabung dengan COVAX, fasilitas vaksin global.

“Meskipun ada keinginan di antara pemimpin untuk melindungi rakyatnya sendiri terlebih dahulu, tanggapan terhadap wabah virus corona ini harus dilakukan secara kolektif” katanya saat itu, seperti dilansir dari UN News (18/8/20).

Sejauh ini, negara-negara dengan kemampuan ekonomi yang tinggi telah mengembangkan vaksin mereka masing-masing. Sebut saja Tiongkok, India, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat. Hampir semuanya, menurut WHO, memprioritaskan vaksin kepada penduduknya sendiri.

Sedangkan negara-negara dengan penghasilan rendah masih belum memiliki kepastian yang jelas kapan bisa mendapatkan vaksin. Melansir dari kantor berita Reuters, delegasi dari Burkina Faso yang berbicara atas nama kelompok Afrika menyatakan keprihatinan bahwa beberapa negara telah “menyedot” sebagian besar persediaan vaksin.

2. Dunia berada diambang bencana kegagalan moral

WHO: Nasionalisme Vaksin COVID-19 Sebabkan KekacauanIlustrasi virus corona. (Pexels.com/CDC)

Orang-orang miskin dan paling rentan di dunia saat ini berada dalam risiko tinggi. Mereka memiliki kemungkinan tidak akan mendapatkan vaksin virus corona dengan segera. Ini berbeda dengan anak-anak muda di negara-negara maju yang telah dijadwalkan akan menerima vaksin dari negaranya.

Menurut Kepala WHO, Tedros Adhanum Gebreyesus, “tidaklah adil bagi orang muda dan sehat di negara kaya untuk mendapatkan suntikan vaksin sebelum orang yang rentan di negara bagian yang lebih miskin (mendapatkannya terlebih dahulu)” katanya seperti dikutip dari laman BBC (19/1).

Tedros juga menyampaikan bahwa sekitar 39 juta dosis vaksin telah diberikan di 49 negara yang lebih kaya. Sedangkan di negara berpenghasilan rendah atau miskin, hanya ada 25 dosis yang dibagikan. Hanya 25 dosis, bukan 25 ribu apalagi 25 juta dosis.

Kepala WHO memberikan sambutan pada pembukaan pertemuan tahunan anggota Dewan Eksekutif secara virtual. Dalam sambutannya tersebut Tedros menyampaikan kekhawatiran nyata atas ketidak adilan distribusi vaksin.

Dia mengatakan bahwa “Saya harus terus terang: dunia berada diambang bencana kegagalan moral—dan harga kegagalan ini akan dibayar dengan nyawa dan mata pencaharian di negara-negara termiskin di dunia.”

Komitmen penuh terhadap skema pembagian vaksin global COVAX diserukan dan akan dimulai diluncurkan bulan depan. Sebanyak 92 negara yang berpenghasilan rendah atau menengah, akan mendapatkan vaksinasi virus corona dan mereka dibayar dengan dana yang disponsori oleh donor.

Baca Juga: WHO: Bukti Vaksinasi COVID Tak Direkomendasikan Jadi Syarat Perjalanan

3. Nasionalisme vaksin hanya memperpanjang wabah

WHO: Nasionalisme Vaksin COVID-19 Sebabkan KekacauanIlustrasi vaksin (Pexels.com/Nataliya Vaitkevich)

Sejauh ini, beberapa perusahaan farmasi telah melakukan kesepakatan bilateral dengan beberapa negara kaya. Kesepakatan bilateral tersebut sebenarnya telah memicu kenaikan harga dan penimbunan vaksin.

Dalam catatan WHO ada 44 kesepakatan bilateral yang telah dilakukan tahun lalu dan tahun ini, ada 12 kesepakatan yang telah ditanda tangani. Perusahaan-perusahaan farmasi telah memprioritaskan persetujuan di negara kaya daripada menyerahkannya kepada WHO.

Melansir dari Al Jazeera, WHO mengimbau kepada produsen obat dan negara-negara kaya untuk “berhenti membuat kesepakatan bilateral”. Hal itu dikarenakan akan merugikan upaya yang didukung PBB untuk memperluas akses mendapatkan vaksin. 

“Pada akhirnya, tindakan ini hanya akan memperpanjang pandemi, pembatasan yang diperlukan untuk mengatasinya serta penderitaan manusia dan ekonomi” kata Tedros seperti dikutip dari laman resmi WHO. Vaksin juga bukan hanya keharusan moral tapi keharusan strategi dan ekonomi.

Tedros juga menyampaikan bahwa semuanya belumlah terlambat. Dia menyerukan kepada semua negara untuk bekerja sama dalam solidaritas dan memastikan 100 hari pertama tahun ini, vaksinasi petugas kesehatan dan lansia akan dilakukan di semua negara.

Baca Juga: WHO: Bukti Vaksinasi COVID Tak Direkomendasikan Jadi Syarat Perjalanan

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya