Kisah Pilu Perempuan Korut, Diperkosa Demi Sesuap Nasi

Masih adakah yang peduli kepada para perempuan ini?

Ketika kaum perempuan di dunia bangkit menuntut keadilan melalui gerakan #MeToo, tidak demikian halnya dengan mereka yang berada di Korea Utara (Korut). Tidak ada yang berani bersuara untuk menuntut keadilan meskipun mereka merupakan korban pelecehan seksual.

Fakta ini terungkap setelah Human Right Watch (HRW), mewawancarai 29 orang defectors atau penyebrang, yang berhasil melarikan diri dari Korea Utara menuju Korea Selatan. Sungguh miris, ternyata pelecehen seksual adalah hal yang sudah sangat lumrah terjadi di Korut.

Lebih pilunya lagi, pelecehan seksual itu kerap dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan.

1. Banyak perempuan Korut yang berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidup

Kisah Pilu Perempuan Korut, Diperkosa Demi Sesuap Nasimedium.com/@hswee

Sejak bencana kelaparan yang menimpa Korut, juga ketidak-stabilan kondisi politik, pelaku jual beli kebanyakan adalah perempuan. Alasannya, laki-laki di Korea banyak yang menjalani wajib militer atau bergabung menjadi tantara. Guna menyambung hidup, mereka pun berjualan di pusat perbelanjaan atau pasar.

Di pasar inilah kemudian kasus-kasus pelecehan seksual kerap terjadi. “Dipaksa berhubungan seks, atau membiarkan mereka meraba-raba tubuh kami, adalah satu-satunya cara agar bisa bertahan,” tutur seorang penyebrang kepada HRW, seperti yang dilaporkan New York Times, (31/10).

2. Pelaku pelecehan adalah para pria yang memiliki kekuasaan

Kisah Pilu Perempuan Korut, Diperkosa Demi Sesuap NasiExpress.co.uk

Pada tahun 2014, komisi dari PBB telah mendokumentasikan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terjadi di Korut, termasuk diantaranya adalah kekerasan seksual.

Mirisnya, pelecehan seksual itu secara spesifik dilakukan oleh pria-pria yang berwenang atau memiliki kekuasaan di pemerintahan.

Para pedagang perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga menjadi mangsa empuk para lelaki hidung belang yang memiliki kuasa di pasar. Polisi, penjaga tahanan, hingga inspektor kereta api, tidak ada yang melewatkan kesempatan untuk menjamah pedagang-pedagang perempuan yang tak berdaya ini. Bukankah tugas mereka sebagai alat negara seharusnya memberikan perlindungan kepada rakyat yang lemah?

3. Tidak ada yang berani melawan, karena melawan berarti siap kehilangan mata pencaharian

Kisah Pilu Perempuan Korut, Diperkosa Demi Sesuap Nasiscmp.com

Pedagang-pedagang ini tidak bisa berbuat apa-apa meskipun telah diperkosa ataupun dilecehkan. Berani membangkang, berarti siap menerima sanksi berat. Ada yang pernah mencoba melawan, akibatnya barang dagangan mereka disita. Ada juga yang malah dijebloskan ke dalam tahanan.

“Polisi ini biasanya menyuruh saya untuk mengikuti mereka ke dalam ruanan kosong di sebelah pasar, atau tempat tertentu yang mereka pilih. Kami dipaksa, dan mereka menganggap kami tak ubahnya bagai mainan. Saya hanya bisa menangis,” cerita seorang penyebrang.

Selain tidak berani melawan, para korban juga tidak ada yang berani melaporkan pelecehan yang dialaminya kepada pihak berwajib. Mereka merasa malu menyandang status ‘korban pemerkosaan’ yang dianggap sebagai aib di masyarakat. Dan karena tak ada yang berani melapor, para lelaki hidung belangpun semakin merajalela dan bebas menyalurkan nafsu kejinya.

Survey yang dilakukan pada tahun 2014 terhadap 1.125 penyebrang menunjukkan hasil yang mencengangkan. Hampir 38 persen dari mereka mengatakan bahwa kasus pelecehan seksual adalah hal yang lumrah terjadi Korut. Sementara 33 orang penyebrang malah terang-terangan mengaku pernah diperkosa.

4. Tidak ada hukum yang melindungi, Korut dinilai gagal menjamin keselamatan warganya

Kisah Pilu Perempuan Korut, Diperkosa Demi Sesuap Nasiexpress.co.uk

“Setiap malam, beberapa orang perempuan dipaksa bersama dengan salah satu orang petugas dan akan diperkosa. Bagi saya, pelecehan seksual adalah bentuk tindakan kejahatan. Saya sebagai korban yang tak bersalah harusnya mendapatkan perlindungan hukum, namun sayangnya, hal itu tidak pernah saya dapatkan ketika berada di Korut,” tutur seorang penyebrang.

Ironisnya, pemerintah Korut seakan menutup mata terhadap kasus ini. Pada Juli lalu, Korut melaporkan kepada PBB bahwa hanya terjadi 9 kasus pemerkosaan yang terjadi pada tahun 2008, tujuh kasus pada tahun 2011 dan lima kasus pada tahun 2015.

“Rendahnya angka kasus pemerkosaan yang dilaporkan adalah hal yang menggelikan. Korut berusaha menunjukkan seolah-olah negaranya adalah sebuah surga yang aman tanpa kekerasan,” sindir Kenneth Roth, Direktur Eksekutif HRW.

Angka kasus yang kecil justru menunjukkan bahwa Korut telah gagal dalam menindak kekerasan yang terjadi. Bukan rahasia lagi, pelecehan seksual atau kekerasan gender adalah hal yang sangat sering terjadi. Banyaknya bukti yang bermunculan menunjukkan bahwa kasus ini merupakan sebuah endemik di Korut.

“Para korban ini seharusnya bisa melakukan gerakan #Metoo untuk menuntut keadilan. Tapi suara mereka dibungkam di bahah pemerintahan diktator Kim Jong Un,” kecam Roth.

Putu Yudyaheri Photo Writer Putu Yudyaheri

Manusia biasa yang belum selesai dengan dirinya sendiri

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya