Kembali Akur, Korsel-Jepang Pulihkan Hubungan Dagang dan Intelijen

Untuk hadapi ancaman Korut hingga China

Jakarta, IDN Times - Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol memerintahkan menteri perdagangannya untuk mengambil langkah hukum yang diperlukan, guna mengembalikan Jepang ke dalam daftar putih negara-negara yang menerima status perdagangan jalur cepat preferensial.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Yoon dalam pidatonya di pertemuan Dewan Kabinet, yang disiarkan langsung di Seoul pada Selasa (21/3/2023), dilansir AP News.

Hal ini sejalan dengan kesepakatan yang dicapai antara Korsel dan Jepang saat pertemuan bilateral yang berlangsung di Tokyo pekan lalu. Pertemuan Yoon dan Perdana Menteri (PM) Jepang Fumio Kishida menjadi momentum mencairnya hubungan kedua negara, setelah bersitegang selama bertahun-tahun karena sejarah masa kolonial Jepang.

1. Hubungan perdagangan Seoul-Tokyo

Kembali Akur, Korsel-Jepang Pulihkan Hubungan Dagang dan IntelijenPresiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol (kiri) dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida saat menggelar pertemuan bilateral di Tokyo pada Kamis (16/3/2023). (twitter.com/JPN_PMO)

Kedua negara sepakat untuk menyelesaikan sengketa perdagangan yang telah berlangsung lama. Jepang setuju untuk mencabut pembatasan ekspor bahan semikonduktor, di sisi lain Korsel juga mencabut gugatannya ke Organisasi Perdangangan Dunia (WTO).

Yoon mengatakan, kerja sama bilateral dengan Jepang sangat penting untuk menyelesaikan berbagai tantangan yang dihadapi Korsel saat ini. Tantangan yang dimaksud adalah kemajuan program nuklir Korea Utara (Korut), persaingan strategis antara Amerika Serikat (AS) dan China, dan tantangan rantai pasokan global.

Pada 2019, Jepang memperketat kontrol atas ekspor bahan berteknologi tinggi ke Negeri Ginseng sebagai respons atas keputusan pengadilan Korsel pada 2018, yang memerintahkan perusahaan Jepang mambayar kompensasi kepada para korban kerja paksa selama pendudukan Tokyo. Keputusan tersebut ditolak Jepang karena kompensasi telah diselesaikan ketika Tokyo-Seoul menormalisasi hubungan pada 1965.

Imbas keputusan tersebut, Korsel yang saat itu dipimpin Presiden Moon Jae In mengeluarkan Jepang dari daftar putihnya, menggugat Tokyo ke WTO, serta mengancam akan mengakhiri pakta intelijen-militer dengan tetangga Asia Timurnya itu.

Baca Juga: Siapkan Rp3.557 T, Korsel Akan Bangun Pusat Chip Terbesar di Dunia

2. Korsel-Jepang pulihkan kembali pakta intelijen GSOMIA

Kembali Akur, Korsel-Jepang Pulihkan Hubungan Dagang dan IntelijenBendera Jepang. (Unsplash.com/ Roméo A.)

Korsel juga memutuskan untuk memulihkan perjanjian berbagi informasi militer dengan Jepang, yang dikenal dengan GSOMIA (General Security of Military Information Agreement).

Dikutip dari NHK News, GSOMIA ditandatangani pada 2016 dan dirancang untuk melindungi pertukaran informasi militer yang sangat rahasia secara bilateral, seperti tanda-tanda peluncuran rudal balistik Korut.

Normalisasi pakta intelijen tersebut diharapkan dapat memperkuat kerja sama keamanan Korsel-Jepang, serta kerja sama trilateral dengan AS di tengah ancaman program nuklir dan misil Pyongyang.

3. Korsel diundang Jepang Hadiri KTT G7 di Hiroshima

Kembali Akur, Korsel-Jepang Pulihkan Hubungan Dagang dan IntelijenBendera Korea Selatan. (Unsplash.com/Stephanie Nakagawa)

Dilansil Korea Herald, Kishida mengundang Yoon untuk menghadiri KTT G7 yang akan diselenggarakan di Hiroshima. Pengumuman tersebut datang pada Senin, seminggu setelah pertemuan pemimpin kedua negara yang diharapkan dapat meningkatan hubungan Seoul-Tokyo.

Menurut Yomiuri Shimbun, Kishida juga mengundang beberapa para pemimpin dari negara lain, yakni Australia, Brasil, India, Indonesia, Kepulauan Cook, Komoro, dan Vietnam.

Hal ini bertujuan untuk memperkuat solidaritas dengan 'Global South' dan mempromosikan kebijakan luar negeri Jepang, Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka yang berdasarkan tatanan internasional berbasis aturan hukum. Global South merupakan istilah yang secara kolektif mengacu pada negara-negara berkembang

Sebagai Presidensi G7, Jepang diperbolehkan mengundang negara yang bukan anggota G7 ke pertemuan yang direncanakan akan berlangsung pada tanggal 19-21 Mei 2023. Adapun isu-isu utama yang akan menjadi agenda dalam pertemuan tersebut adalah energi, ketahanan pangan, dan perubahan iklim.

Baca Juga: PM Jepang Mendadak ke Ukraina, Tegaskan Dukungan?

Rahmah N Photo Verified Writer Rahmah N

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya