139,2 Juta Penduduk Dunia Terdampak Perubahan Iklim dan COVID-19

Dunia menghadapi beragam krisis dan kerentanan berlapis

Jakarta, IDN Times - Sejak awal pandemik COVID-19, bencana terkait iklim telah berdampak pada sedikitnya 139,2 juta individu dan menelan lebih dari 17.242 korban jiwa.

Hal tersebut tertuang dalam analisis terbaru Federasi Palang Merah Internasional & Bulan Sabit Merah (IFRC) dan Red Cross Red Crescent Climate Centre (RCRC Climate Centre), terkait dampak dari cuaca ekstrem di tengah pandemik COVID-19.

“Sekitar 658,1 juta individu dari kelompok rentan terpapar suhu ekstrem,” kata lembaga itu dalam rilis yang diterima IDN Times, Senin (4/10/2021).

Baca Juga: Bappenas: Pembangunan IKN Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

1. Populasi dunia menghadapi beragam krisis dan kerentanan yang berlapis

139,2 Juta Penduduk Dunia Terdampak Perubahan Iklim dan COVID-19unsplash.com/Jon Tyson

Dari data terbaru dan sejumlah studi kasus spesifik, kajian tersebut memaparkan populasi di seluruh dunia kini tengah menghadapi beragam krisis dan kerentanan berlapis.

Paparan ini juga menekankan pentingnya penanganan krisis di tengah pandemik COVID-19 yang berdampak pada kehidupan masyarakat di seluruh penjuru dunia, dan membuat mereka menjadi lebih rentan terhadap risiko perubahan iklim.

“Dunia tengah menghadapi krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana perubahan iklim dan COVID-19 telah mendorong masyarakat sampai batas kemampuan,” ujar Presiden IFRC Francesco Rocca.

2. Seruan untuk mengambil tindakan terkait iklim

139,2 Juta Penduduk Dunia Terdampak Perubahan Iklim dan COVID-19unsplash.com/Annie Spratt

Rocca mengatakan menjelang UN Climate Change Conference of the Parties ke-26 (COP26), yang akan digelar pada 1-12 November 2021 di Glasgow, Skotlandia, IFRC akan mengimbau para pemimpin dunia mengambil aksi cepat terkait iklim.

“Menjelang COP26, kami mengimbau para pemimpin dunia untuk mengambil aksi cepat, agar tidak hanya mengurangi emisi rumah kaca tetapi menangani dampak kemanusiaan akibat perubahan iklim,” katanya.

Laporan ini disampaikan satu tahun setelah adanya analisis terhadap meningkatnya risiko akibat cuaca ekstrem pada masa krisis pandemik COVID-19. Pandemik yang masih berlangsung juga disebut menimbulkan malapetaka terhadap kesehatan jutaan manusia di dunia, serta dampak tak langsung akibat upaya pembatasan.

IFRC juga menyebut krisis rawan pangan akibat perubahan iklim diperparah dengan adanya COVID-19, serta sistem kesehatan yang telah mencapai ambang batas kemampuannya, dan masyarakat rentan yang harus menanggung dampak terbesarnya.

Baca Juga: Soal Perubahan Iklim, Anies: Jakarta Siap Berkontribusi Secara Global

3. Pemerintah perlu bertindak cepat

139,2 Juta Penduduk Dunia Terdampak Perubahan Iklim dan COVID-19unsplash.com/L.W.

Dalam pernyataan tersebut juga dijelaskan di Afghanistan, dampak kekeringan yang dibarengi konflik serta COVID-19 telah melumpuhkan produksi pangan pertanian dan merusak hasil peternakan. Hal-hal tersebut berujung terjadinya kelaparan serta malnutrisi bagi jutaan warga negara itu.

“Bulan Sabit Merah Afghanistan turut memberikan bantuan di antaranya dalam bentuk bahan pangan serta bantuan tunai untuk pembelian makanan, menanam tanaman tahan-kekeringan, dan perlindungan ternak,” kata lembaga itu.

Di sisi lain di Honduras, ribuan manusia kehilangan tempat tinggal dan mengungsi akibat badai Eta dan Itoa di tengah pandemik, sehingga mengungsi ke tempat pengungsian dengan mengimplementasikan berbagai pembatasan fisik, sebagai upaya perlindungan dari penyebaran COVID-19. 

Kenya juga dilaporkan merasakan dampak dari COVID-19 bersamaan dengan bencana banjir dan kekeringan. Lebih 2,1 juta individu mengalami kerawanan pangan, baik di pedesaan maupun perkotaan. Di wilayah Afrika Timur, pembatasan karena COVID-19 memperlambat proses respons banjir dan upaya untuk menjangkau populasi terdampak, sehingga kian meningkatkan kerentanan mereka.

Namun, Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di seluruh dunia telah merespons terhadap krisis yang berlapis itu, dan juga membantu masyarakat untuk bersiaga serta mengantisipasi risiko perubahan iklim.

Bulan Sabit Merah Bangladesh memanfaatkan pendanaan IFRC untuk aksi antisipatif (anticiparory action) untuk melakukan diseminasi pesan peringatan dini banjir melalui pengeras suara di wilayah rentan, sehingga masyarakat dapat melakukan langkah mitigasi.

“Ancaman tidak perlu jadi bencana. Kita dapat menangkal peningkatan risiko dan melakukan langkah penyelamatan jika kita mengubah cara untuk melakukan antisipasi krisis, pendanaan aksi dini, dan pengurangan risiko di semua tingkatan. Pada akhirnya, kita perlu membantu masyarakat untuk menjadi lebih tangguh, terlebih dalam konteks paling rentan,” ujar Julie Arrighi, Associate Director dari Red Cross Red Crescent Climate Center.

Lembaga itu juga menyebut pandemik COVID-19 telah membawa dampak berkepanjangan dalam risiko perubahan iklim. Karena itu, pemerintah perlu berkomitmen untuk berinvestasi pada upaya adaptasi di masyarakat, sistem antisipasi, dan penguatan aktor lokal.

“Pembiayaan besar untuk pemulihan COVID-19 membuktikan bahwa pemerintah dapat bertindak cepat dalam menghadapi ancaman global. Kini adalah waktunya untuk mengubah kata menjadi aksi, dan memberikan energi yang sama besarnya dalam menangani krisis perubahan iklim. Setiap hari, kita saksikan dampak perubahan iklim akibat ulah manusia. Krisis iklim terjadi di sini saat ini, dan kita harus melakukan aksi,” kata Rocca.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya