Amerika Serikat Jadi Donor Vaksin COVID-19 Terbesar di Dunia

China berada di posisi kedua sebagai donor vaksin COVID-19

Jakarta, IDN Times – Amerika Serikat (AS) adalah donor terbesar vaksin COVID-19 secara global, jauh di depan ekonomi utama lainnya seperti China, Jepang dan Inggris, menurut data publik yang dikumpulkan oleh UNICEF.

UNICEF adalah badan PBB yang bertanggung jawab atas perlindungan dan perkembangan anak. Lembaga ini juga mengelola pasokan vaksin COVID-19 untuk inisiatif COVAX, yang bertujuan untuk memastikan penyebaran merata dosis vaksin ke negara-negara berpenghasilan rendah.

Menurut CNBC pada Kamis (9/9/2021), UNICEF mengumpulkan data tentang vaksin COVID-19 yang disumbangkan dari informasi yang tersedia untuk umum, yang mungkin tidak menunjukkan seluruh donasi secara global.

Baca Juga: WHO Ingatkan Negara-Negara Kaya Tidak 'Ganggu' Skema COVAX

1. Negara yang paling banyak donasikan vaksin

Amerika Serikat Jadi Donor Vaksin COVID-19 Terbesar di DuniaPresiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden (www.china-embassy.org)

Menurut data, AS telah menyumbangkan dan mengirimkan lebih dari 114 juta dosis vaksin COVID-19 ke sekitar 80 negara. Adapun negara yang menerima sumbangan vaksin itu sebagian besar negara berkembang yang ada di seluruh Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Total sumbangan AS itu lebih dari tiga kali lipat yang telah disumbangkan China. Menurut data, China menyumbangkan 34 juta dosis vaksin. Ini menjadikannya donor vaksin COVID-19 terbesar kedua di dunia.

Sementara itu, Jepang berada di urutan ketiga dengan sekitar 23,3 juta dosis yang disumbangkan.

2. Negara penerima donasi vaksin terbesar

Amerika Serikat Jadi Donor Vaksin COVID-19 Terbesar di DuniaPengiriman vaksin virus corona oleh COVAX. (Twitter.com/Nic Maclellan)

Menurut data tersebut, negara-negara Asia termasuk di antara penerima terbesar donasi vaksin COVID-19. Di mana Bangladesh, Filipina, Indonesia, dan Pakistan masing-masing menerima lebih dari 10 juta dosis vaksin donasi.

Secara keseluruhan, sudah ada lebih dari 207 juta dosis vaksin COVID-19 yang disumbangkan, baik secara bilateral atau melalui COVAX, telah dikirimkan. Angka itu jauh dari jumlah dosis yang direkomendasikan oleh panel independen yang dibentuk oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Dalam laporan terakhirnya pada Mei, panel independen merekomendasikan agar negara-negara berpenghasilan tinggi mendistribusikan kembali setidaknya satu miliar dosis vaksin COVID-19 ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah pada 1 September, dan satu miliar dosis lainnya pada pertengahan 2022.

Dua ahli epidemiologi top WHO pada Selasa lalu mengecam negara-negara kaya karena menimbun perawatan dan vaksin COVID-19. Salah satunya mengatakan tindakan seperti itu dapat memperpanjang pandemik.

Sebuah studi oleh perusahaan analitik Airfinity menunjukkan bahwa negara-negara kaya telah membeli lebih banyak vaksin COVID-19 daripada yang mereka butuhkan. Airfinity memproyeksikan bahwa AS, Uni Eropa, Inggris, Kanada, dan Jepang akan memiliki surplus lebih dari 1,2 miliar dosis pada tahun 2021 setelah menginokulasi semua orang yang memenuhi syarat dan memberikan suntikan booster.

Baca Juga: WHO Perpanjang Moratorium Vaksin Dosis Booster hingga Akhir Tahun

3. Vaksinasi tidak merata bisa rugikan dunia

Amerika Serikat Jadi Donor Vaksin COVID-19 Terbesar di DuniaIlustrasi kemasan vaksin hasil program global COVAX yang segera disalurkan. (WHO.int)

WHO telah menetapkan target membantu setiap negara untuk memvaksinasi setidaknya 10 persen dari populasinya pada akhir bulan ini, sebelum meningkatkannya menjadi setidaknya 40 persen pada akhir tahun ini dan 70 persen pada pertengahan 2022.

Tetapi di antara 50 negara secara global, baru kurang dari 10 persen populasi yang telah menerima setidaknya satu dosis vaksin COVID-19. Banyak diantaranya berada di Afrika, menurut data resmi yang dikumpulkan oleh repositori online Our World in Data.

Afrika sebagai wilayah baru memvaksinasi 5,5 persen dari populasi, terendah secara global, menurut data.

Para ahli, termasuk ahli epidemiologi terkenal Larry Brilliant, mengatakan bahwa cakupan vaksinasi yang lebih luas diperlukan untuk membatasi varian virus corona baru dan mengakhiri pandemik global.

Dari sisi ekonomi, penundaan dalam memvaksinasi populasi global dapat merugikan ekonomi dunia sebesar 2,3 triliun dolar AS antara tahun 2022 sampai 2025, menurut perkiraan Economist Intelligence Unit. Negara-negara berkembang akan menanggung dua pertiga dari kerugian tersebut, kata konsultan tersebut.

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya