Asosiasi Penyedia Layanan Internet Hong Kong Tolak Pemblokiran Akses

Tiongkok dukung penetapan status darurat di Hong Kong

Hong Kong, IDN Times - Pemimpin Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, menyarankan penetapan status darurat di kotanya sebagai sesuatu yang mungkin dilakukan.

Dalam sebuah konferensi pers pada Rabu (28/8), seorang reporter bertanya apakah pemerintah akan menggunakan satu pasal tentang situasi genting untuk menghentikan demonstrasi.

"Semua hukum di Hong Kong, jika bisa membuka jalan legal untuk menghentikan kekerasan dan kekacauan, pemerintah Wilayah Administratif Khusus bertanggung jawab untuk mengeceknya," kata Lam, seperti dilansir dari South China Morning Post.

Salah satu yang terancam, jika ini terjadi, adalah akses internet.

1. Pemerintah bisa melakukan pemblokiran internet

Asosiasi Penyedia Layanan Internet Hong Kong Tolak Pemblokiran AksesPemimpin Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, ketika mengadakan jumpa pers pada Agustus 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Ann Wang

Ordonansi Situasi Darurat adalah sebuah peraturan pemerintah yang memberikan kekuasaan, dalam hal ini bagi Lam, untuk memaksakan penerapan langkah-langkah khusus dengan alasan mengembalikan ketertiban. Aturan ini tidak pernah digunakan dalam lebih dari 50 tahun terakhir.

Kekuasaan yang diberikan pun hampir tidak terbatas, termasuk membatasi atau bahkan memblokir semua jalur komunikasi. Saat ini, akses internet di Hong Kong sendiri terbuka bagi siapa saja, kecuali ketika menyangkut penyebaran konten pornografi anak atau pelanggaran hak cipta.

2. Beijing setuju penetapan status darurat

Asosiasi Penyedia Layanan Internet Hong Kong Tolak Pemblokiran AksesCarrie Lam berjalan di depan pembuat petisi di luar kantornya di Hong Kong. ANTARA FOTO/REUTERS/Thomas Peter

Seorang sumber dari pemerintah mengatakan kepada South China Morning Post bahwa pihaknya terbuka terhadap opsi penetapan status darurat itu, meski hingga kini belum ada pembicaraan resmi.

"Pastinya kami tidak akan meniadakan segala kemungkinan di titik ini sebab kami juga belum tahu bagaimana eskalasi protes di masa depan," ucapnya. "Namun, yang bisa saya katakan adalah bahwa protes itu belum mencapai level tersebut."

Sementara itu, Beijing mendukung penetapan status darurat. Dalam sebuah kolom yang dipublikasikan di China Daily, media milik Departemen Hubungan Masyarakat Partai Komunis, dituliskan bahwa ketika aturan itu diterapkan, maka, "Beijing akan bisa mengirimkan polisi atau pasukan huru-hara bersenjata ke Hong Kong".

Menurut media propaganda tersebut, pasukan dari Tiongkok daratan disebutkan, "punya perlengkapan dan telah terlatih secara lebih baik untuk menghadapi situasi huru-hara dan kekerasan dibandingkan pasukan Hong Kong".

Alasannya adalah karena mereka bukan warga Hong Kong sehingga "bisa mengatasi pengunjuk rasa secara efisien dan tanpa perasaan" mengingat "tak ada rintangan psikologis".

Baca Juga: Aktivis Pro-Demokrasi Joshua Wong Ditangkap Polisi Hong Kong

3. Asosiasi pelaku industri internet menyatakan penolakan

Asosiasi Penyedia Layanan Internet Hong Kong Tolak Pemblokiran AksesPolisi huru-hara bersiap menghadapi para pengunjuk rasa di Hong Kong. ANTARA FOTO/REUTERS/Thomas Peter

Menanggapi pernyataan pemerintah, Asosiasi Penyedia Layanan Internet Hong Kong (HKISPA), menegaskan penolakannya. Dalam sebuah rilis di situs resmi, HKISPA mengingatkan pemerintah jika jalan itu diambil maka "akan memulai suatu akhir bagi internet terbuka di Hong Kong".

Apalagi, pembatasan atau pemblokiran akses internet akan sulit dilaksanakan mengingat ada teknologi seperti VPN, cloud, serta kriptografi.

Menurut HKISPA, pengecualian bisa terjadi ketika pemerintah menggunakan firewall pengawasan berskala besar. Dengan kata lain, ini akan membuat Hong Kong tidak ada bedanya dengan Tiongkok.

4. Pembatasan atau pemblokiran internet berdampak negatif

Asosiasi Penyedia Layanan Internet Hong Kong Tolak Pemblokiran AksesPolisi menembakkan gas air mata ke arah demonstran pro-demonstrasi di Hong Kong. ANTARA FOTO/REUTERS/Thomas Peter

HKISPA mengingatkan bahwa Hong Kong merupakan pusat bisnis di Asia di mana koneksi internet adalah suatu kebutuhan mutlak.

Begitu pemerintah menetapkan pembatasan atau pemblokirannya, ini akan "secara permanen menghalangi pelaku bisnis internasional dari menjalankan usaha serta investasi mereka di Hong Kong".

Asosiasi tersebut mengutip data yang menyatakan bahwa Hong Kong saat ini menjadi "pusat titik bersambungnya jaringan fiber optik terbesar di Asia dan menjadi tempat pertukaran internet terluas di kawasan".

Oleh karena itu, jika dihalangi, ini akan "menghancurkan keunikan dan nilai Hong Kong sebagai pusat telekomunikasi" atau "pusat keuangan internasional".

HKISPA pun meminta pemerintah berkonsultasi dengan pelaku industri dan masyarakat secara luas terlebih dulu. Asosiasi itu "menolak secara tegas pemblokiran selektif layanan internet tanpa konsensus masyarakat".

5. Beberapa pemerintah di dunia gemar membatasi atau memblokir internet

Asosiasi Penyedia Layanan Internet Hong Kong Tolak Pemblokiran AksesPolisi huru-hara Hong Kong menangkap seorang demonstran dalam aksi unjuk rasa pro-demokrasi.ANTARA FOTO/REUTERS/Kai Pfaffenbach

Dalam beberapa tahun terakhir, pembatasan atau pemblokiran internet menjadi salah satu cara yang difavoritkan pemerintah otoriter ketika menganggap ada situasi genting.

Dikutip dari TIME, sejak Maret 2018 pemerintah Chad telah memblokir sejumlah media sosial dan layanan pesan instan termasuk Facebook, Twitter, dan WhatsApp.

Pada Januari 2019 kemarin, Kongo baru saja melaksanakan Pemilu. Tak sedikit yang khawatir hasilnya penuh kecurangan. Ini karena beberapa saat setelah pemungutan suara, pemerintah mengumumkan pemblokiran akses internet total. Bahkan, layanan SMS juga dimatikan. Pemblokiran sendiri berlangsung selama berhari-hari.

Cina juga menerapkan cara yang sama meski banyak warga yang pada akhirnya menggunakan Virtual Private Network (VPN) agar tetap bisa mengakses media sosial. Di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir WhatsApp dan Instagram saat terjadi demonstrasi di depan gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Mei lalu.

Saat ini, ketika Papua tengah memanas, Kominfo kembali menggunakan taktik yang sama, bahkan beberapa laporan menyebut akses internet sama sekali mati. Alasan pemerintah adalah untuk menghentikan penyebaran hoaks. Tak jelas jalur legal mana yang memperbolehkan pemerintah melakukan ini.

Baca Juga: Selain Indonesia, Ini Negara yang Sensor Media Sosial karena Pemilu

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya