Behrouz Boochani, Jurnalis yang Suarakan Kejinya Pengungsian Australia

Ia jadi jurnalis sekaligus pengungsi selama enam tahun

Auckland, IDN Times - Nama Behrouz Boochani barangkali masih asing di telinga banyak orang. Ia merupakan seorang jurnalis asal Iran yang menjadi pengungsi di Kepulauan Manus, Papua Nugini, selama enam tahun. Wartawan peraih berbagai penghargaan jurnalistik itu akhirnya bebas dari pusat detensi pengungsi yang dioperasikan Australia itu pada Kamis (14/11).

Ia mendarat di Selandia Baru untuk memulai aktivitasnya di dunia literasi sebagai undangan di acara Word Festival di Christchurch. Boochani mendapatkan kesempatan ini setelah rutin melaporkan kondisi pusat detensi saat dirinya juga berstatus sebagai pengungsi. Ia disebut sebagai Suara dari Kepulauan Manus karena mengungkap seperti apa rezim imigrasi Australia.

1. Karyanya tentang pengungsian mendapatkan penghargaan di negara yang tak boleh ia kunjungi

Boochani, yang menghuni kamp detensi sejak 2012, menulis secara ekstensif untuk The Guardian sepanjang mengalami penyiksaan di Kepulauan Manus. "Setiap orang di Manus menanggung banyak sekali ingatan menyakitkan, kita tidak pernah boleh meninggalkan mereka di pulau itu...tapi saya senang dalam hati: saya merasa kini bebas," ujarnya, kepada The Guardian.

Bukunya, No Friend But the Mountains, berhasil meraih penghargaan literasi tertinggi dari negara yang tak boleh dikunjunginya yaitu Australia. Buku yang membeberkan tidak manusiawinya pusat detensi di Kepulauan Manus itu ia tulis dengan cara tak konvensional.

Boochani harus mengirimkan naskah berupa teks melalui WhatsApp kepada editornya selama lima tahun. Pada 2018, bukunya resmi diluncurkan. Sayangnya, ia tak bisa menghadiri acara-acara penting itu sebab Australia melarang dirinya, seperti juga para pengungsi lain di Kepulauan Manus, untuk menginjakkan kaki di Negeri Kanguru.

2. Boochani mendokumentasikan berbagai penyiksaan fisik, sampai pembunuhan, di dalam pengungsian

Menurut pengakuan Boochani yang disampaikan kepada The Guardian, selama enam tahun di sana, ia telah menyaksikan beberapa pengungsi ditembak, ditusuk, bahkan dibunuh oleh penjaga. Ia juga melihat bagaimana pengungsi lain meninggal sia-sia setelah tidak mendapatkan pengobatan ketika sakit.

Beberapa lainnya terjerembab ke dalam penyakit mental, kemudian bunuh diri, karena sudah tidak tahan dengan apa yang menimpa mereka. Dari tiga perempat pengungsi dan pencari suaka yang dikirimkan Australia ke Papua Nugini pada tahun yang sama dengan Boochani, sebanyak tujuh orang tewas dan 46 lainnya masih diperangkap di sana.

Ia sendiri mengaku pernah dua kali mendapatkan penyiksaan keji di blok kurungan terisolasi di Manus. Boochani juga pernah dipenjara selama delapan hari karena menuliskan berita soal aksi mogok makan para pengungsi yang dipaksa berhenti oleh kepolisian setempat.

Baca Juga: "Kami Juga Manusia": Perjalanan Pengungsi Rohingya Sampai ke Indonesia

3. Australia mengendalikan kamp detensi di Kepulauan Manus

Behrouz Boochani, Jurnalis yang Suarakan Kejinya Pengungsian AustraliaPerdana Menteri Australia Scott Morrison. ANTARA FOTO/AAP Image/Mick Tsikas/via REUTERS

Pusat detensi pengungsi di Kepulauan Manus dibuka Australia pada 2001 bersamaan dengan fasilitas yang sama di Nauru. Human Rights Watch menyebut ini pelanggaran hukum internasional, terutama karena Australia menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 yang berarti bersedia menerima pencari suaka dan pengungsi.

Akan tetapi, pemerintah Konservatif Australia justru mengetatkan aturan perbatasan dengan mengirimkan pengungsi yang datang menaiki perahu ke Kepulauan Manus atau Nauru. Mereka ditahan di sana dalam kondisi tak manusiawi dan tanpa tahu kapan bisa keluar. Pemerintah Australia membela diri dengan mengatakan cara ini krusial bagi sistem imigrasi mereka.

Sebaliknya, para pengungsi justru menderita. Laporan kasus bunuh diri menyeruak. "Sulit mengetahui berapa banyak kasus adalah kasus serius, di mana orang-orang berusaha mengakhiri hidup mereka atau sebuah tangisan permintaan tolong, walau begitu, ini adalah sebuah eskalasi besar," kata Elaine Pearson, Direktur Human Rights Watch Australia, kepada The New York Times.

4. Amnesty International menyebut Australia "meninggalkan pengungsi" di Kepulauan Manus dan Nauru

Fasilitas detensi di Kepulauan Manus dan Nauru ditutup pada akhir November. Pemerintah Australia pun memaksa mereka yang masih di sana untuk pergi atau pindah ke lokasi baru. Dalam laporannya pada 2018, Amnesty International menyebut fasilitas yang baru tersebut "tidak aman dan tidak memenuhi kebutuhan dasar para pengungsi".

"Pemerintah Australia telah meninggalkan ratusan pengungsi dan pencari suaka, membiarkan mereka berada di situasi yang lebih mirip penghukuman alih-alih perlindungan di Papua Nugini," tulis Amnesty International.

Sejak akhir Oktober 2017, pemerintah Australia menghapus pemenuhan kebutuhan dasar para pengungsi. Selain itu, keselamatan mereka juga terancam. Dari wawancara dengan 55 pengungsi dan pencari suaka, Amnesty International menemukan bahwa mereka kerap diserang warga lokal. Polisi juga gagal menyelidiki laporan. Akibatnya, mereka takut keluar dari kamp detensi tersebut.

5. Boochani menolak ucapan selamat datang dari politisi Australia

Kabar tibanya Boochani di Selandia Baru pun didengar Kristina Keneally, politisi Partai Buruh Australia, yang kemudian memberikan ucapan selamat kepadanya lewat Twitter. Boochani, yang dipersekusi pemerintah Iran karena berbagai pemberitaan yang ditulisnya, menolak ucapan itu.

"Sungguh pernyataan yang konyol dan tak bisa diterima dari Partai Buruh. Kalian mengasingkan saya ke Manus dan Anda mendukung kebijakan pengasingan ini selama bertahun-tahun," tulisnya. 

"Saya ada di negara ketiga sekarang dan tidak butuh Anda. Jika Anda jujur, lakukan sesuatu untuk yang lain yang sedang menderita di PNG dan Nauru. Menurut saya, siapa pun yang mendukung kebijakan barbar ini adalah kriminal dan teroris. Sungguh pernyataan memalukan oleh Partai Buruh," tambahnya.

Baca Juga: "Masa Depan Rusak": Pengungsi Rohingya di Indonesia Ingin Bekerja

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya