Bombardir Berita Negatif Kikis Empati Jurnalis dan Kepedulian Publik 

32 Persen orang hindari konsumsi berita karena melelahkan

Surabaya, IDN Times - 13 Mei 2018 merupakan hari saat bom pertama meledak di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur. Waktu itu hari Minggu pagi yang biasa diisi dengan kegiatan misa oleh para jemaat Kristen dan Katolik. Seketika seluruh awak media nasional dalam posisi siaga melaporkan peristiwa langsung dari lokasi.

Tak lama setelah kejadian, saya tiba di Rumah Sakit Bhayangkara. Saya melihat seorang ibu sedang duduk lemas di lantai depan lobi Unit Gawat Darurat (UGD) yang tempatnya tak begitu jauh dari kamar mayat.

Khawatir dengan nasib adiknya yang beribadah di salah satu gereja yang jadi sasaran bom, ia setengah linglung ketika diminta menjawab pertanyaan seorang reporter TV swasta nasional. Tatapan matanya kosong. Sesekali ia mengeluarkan sapu tangan untuk mengusap airmatanya.

Saya diam, tidak tahu harus bagaimana. Si reporter kembali diinstruksikan untuk memberi pertanyaan kepada ibu tersebut oleh rekannya di studio karena sedang siaran langsung. Lagi-lagi ia hanya berkata tidak tahu apakah adiknya selamat. Jawaban itu dirasa terlalu singkat untuk kebutuhan TV. Reporter itu melontarkan pertanyaan lagi.

Selama dua hari setelahnya, semakin banyak keluarga korban datang. Kali ini mereka berkumpul di kamar mayat sebab polisi mulai menginformasikan nama-nama yang tewas. Pemandangan yang sama muncul. Para wartawan mengerubungi keluarga yang berkabung untuk dimintai tanggapan, ditanya soal perasaan.

Dalam hati saya merasa tidak nyaman.

1. Jurnalis rentan mengalami mati rasa di tengah peliputan yang intens

Bombardir Berita Negatif Kikis Empati Jurnalis dan Kepedulian Publik Ilustrasi kerja jurnalistik. IDN Times/Arief Rahmat

Itu adalah pertama kali saya meliput terorisme, dan sepertinya mengikuti keluarga korban untuk mendapatkan kutipan merupakan prosedur standar pemberitaan di berbagai kantor media. Karena saya merasa tak bisa memenuhinya, saya meminta untuk dipindahkan ke Polda Jawa Timur.

Lalu saya ingat kritikan Valeria Luiselli tentang dilema antara empati dan jurnalisme. Dalam novelnya tentang anak-anak migran, ia menilai jurnalis telah “mengubah anak-anak itu, hidup mereka, menjadi material untuk konsumsi media” yang tak menghasilkan gerakan apa pun.

Dari kacamata media tradisional, audiens perlu disuguhi sesuatu yang akan membangkitkan emosi seperti kisah tragis atau mencekam. Untuk memenuhi ini, jurnalis rentan mati rasa. Ini lantaran empati akan menimbulkan kelelahan psikologis tersendiri apalagi saat sadar harus meliput peristiwa tersebut secara terus-menerus.

2. Tuntutan untuk memproduksi sebanyak mungkin berita berisiko membuat media salah fokus

Bombardir Berita Negatif Kikis Empati Jurnalis dan Kepedulian Publik Ilustrasi kerja jurnalistik. IDN Times/Arief Rahmat

Dalam ekosistem media modern ada tuntutan untuk secepatnya memberikan kabar terbaru dengan angle berbeda. Pengamat media kerap menyebutnya sebagai siklus berita 24 jam di mana informasi harus terus diperbarui. Ini juga dipengaruhi oleh kedigdayaan internet dan media sosial.

Misalnya, dalam kasus Reynhard Sinaga. Media di Inggris mampu menyimpan rahasia selama persidangan agar para korban mau buka suara. Ketika vonis dijatuhkan, para jurnalis fokus memberitakan kekejaman Reynhard dan apa modus operandinya.

Media di Indonesia justru mencari rumah orangtua Reynhard, memberitakan kekayaan keluarganya, mewawancarai mantan kepala sekolahnya, sampai mengeksploitasi orientasi seksualnya. Padahal, ada risiko balas dendam kepada pihak yang tidak bersalah mengingat sentimen anti-LBGT sangat kuat di Indonesia.

3. Rasa acuh bukan muncul tanpa sebab begitu saja

Bombardir Berita Negatif Kikis Empati Jurnalis dan Kepedulian Publik Ilustrasi kerja jurnalistik. IDN Times/Arief Rahmat

Saya berbicara dengan seorang jurnalis yang menolak disebutkan namanya karena takut mendapat teguran dari kantornya. Ia termasuk salah satu yang bertugas meliput Gempa Lombok pada 2018 yang menewaskan hampir 600 orang.

“Karena sering dituntut update, kita mau gak mau mencari kisah sebanyak mungkin. Jadinya kita terbiasa gak terlalu mikirin apakah etis atau gak, dampaknya apa, dan sebagainya. Selama bisa mengirim berita banyak dari berbagai angle, ya lakukan aja,” katanya.

Susan Moeller menyebutnya compassion fatigue atau ketidakpedulian terhadap suatu tragedi akibat kelelahan karena terlalu sering melihat atau mendengarnya. Bagi jurnalis, ketika meliput atau menulisnya. Sedangkan bagi publik, ketika membaca atau melihatnya di media massa atau media sosial.

Dalam “Compassion Fatigue: How the Media Sell Disease, Famine, War and Death”, ia menulis bahwa foto bisa memobilisasi publik untuk muncul dengan respons iba atau justru semakin menguatkan perasaan bahwa ini hanya krisis lain yang sudah sering terjadi dan tak ada yang bisa dilakukan untuk mengubahnya.

4. Begitu banyaknya informasi yang harus diproses membuat jurnalis kewalahan

Bombardir Berita Negatif Kikis Empati Jurnalis dan Kepedulian Publik Ilustrasi kerja jurnalistik. IDN Times/Arief Rahmat

Berkurang atau terkikisnya empati dalam proses pemberitaan pun kemungkinan besar dipengaruhi seringnya jurnalis terekspos peristiwa-peristiwa negatif. Anggota ruang redaksi kesulitan memonitor dan mengelola banjir informasi setiap hari.

Akibatnya cukup sulit mendapatkan waktu untuk berkontemplasi soal sebuah isu dan efeknya terhadap publik. Pada 2018 lalu, John Crowley, seorang editor dan konsultan digital yang pernah jadi bagian jajaran manajemen The Wall Street Journal, Newsweek dan The International Business Times, melakukan survei yang diikuti 65 pekerja media soal ini.

Hasilnya dipublikasikan Neiman Lab. Ia menemukan lebih dari separuh jurnalis mengaku “kewalahan” dengan informasi yang harus diproses setiap hari. Lebih dari 40 persen berkata meski kewalahan, tapi masih bisa mengontrolnya. Hanya tujuh persen yang berpendapat semuanya “di bawah kendali” mereka.

“Mustahil mengetahui segalanya yang masuk ke ruang redaksi—dan bahkan lebih sulit ketika Anda harus di lapangan (di mana Anda seharusnya sebagai seorang wartawan)—dan terus menatap layar telepon Anda (yang mana tidak seharusnya Anda lakukan) yang baterainya cepat mati dan tak terlibat dengan [apa yang terjadi di] dunia seperti selayaknya,” kata seorang responden.

“Jelas banyak hal campur aduk yang membuat jurnalis kewalahan saat ini—siklus berita 24/7, amplifikasi atau urgensi yang ditambahkan media sosial, tekanan intens untuk memproduksi cerita secara besar-besaran untuk menghasilkan traffic yang akan menghasilkan pendapatan dari iklan, usaha mendiskreditkan jurnalisme dengan menyebutnya ‘berita palsu’,” tutur Direktur Pelaksana News Integrity Initiative (NII) di CUNY Graduate School of Journalism, Molly de Aguiar, seperti dikutip journalism.co.uk.

5. Empati melahirkan risiko stress, terutama jika tak ada sistem pendukung yang baik

Bombardir Berita Negatif Kikis Empati Jurnalis dan Kepedulian Publik Ilustrasi kerja jurnalistik. IDN Times/Arief Rahmat

American Press Institute sendiri menyadari bahwa tendensi jurnalis untuk mengesampingkan empati bisa muncul dari keengganan untuk berkorban perasaan, apalagi jika yang diliput adalah peristiwa kekerasan atau cerita intens.

Ini yang dialami fotografer San Antonio Express-News, Lisa Krantz, setelah bertahun-tahun meliput seorang laki-laki obesitas yang berusaha menurunkan berat badannya. Sebelum cerita itu dipublikasikan, laki-laki tersebut meninggal dunia dan Krantz merasa sangat bersalah karena tak bisa menolongnya.

“Saya menghabiskan separuh Karir saya untuk tidak menangis,” kata Krantz kepada American Press Institute. “Kami sangat terlibat secara emosional dan mental dalam cerita-cerita yang kami kerjakan sampai saya bingung bagaimana mendeskripsikannya,” tambahnya. Ia mengaku beruntung editornya bisa memberi dorongan positif untuk bergerak maju.

6. Semakin banyak orang menghindari berita karena juga merasa lelah

Bombardir Berita Negatif Kikis Empati Jurnalis dan Kepedulian Publik Infografis jumlah orang yang menghindari konsumsi berita pada 2019. IDN Times/Arief Rahmat

Rupanya bukan jurnalis saja yang kewalahan. Berdasarkan survei YouGov dan Reuters Institute pada 2019, hampir sepertiga responden (32 persen) di 38 negara yang berada di Amerika, Afrika, Eropa dan Asia mengaku mereka sengaja secara aktif menghindari berita.

Angka ini meningkat tiga poin dibandingkan pada 2017 ketika pertanyaan yang sama diajukan. Penyebabnya adalah dunia menjadi tempat yang semakin menyedihkan atau karena pemberitaan media yang cenderung negatif terus-menerus atau campuran keduanya.

Di saat yang sama, 28 persen orang menilai mereka terlalu dibombardir banyak berita dengan perspektif berbeda sehingga terasa melelahkan dan membingungkan. Di Inggris, 58 persen orang menghindari berita sebab berakibat buruk terhadap suasana hati, sedangkan 40 persen merasa tak berdaya untuk mengubah keadaan.

”Berita adalah sesuatu yang sangat negatif dan punya dampak terhadap setiap orang yang menontonnya. Tidak pernah ada berita positif atau membahagiakan," kata seorang responden yang mengaku sengaja sering menghindari menonton atau membaca berita.

7. Perlu ada pendekatan baru terhadap profesi jurnalis dan produk jurnalistik itu sendiri

Bombardir Berita Negatif Kikis Empati Jurnalis dan Kepedulian Publik Ilustrasi kerja jurnalistik. IDN Times/Arief Rahmat

Dengan kompleksitas kerja jurnalistik, sudah sewajarnya manajemen menghapus stereotip merugikan bahwa profesi jurnalis secara otomatis bersinonim dengan ketangguhan di mana rasa kewalahan, stres hingga trauma dipandang sebagai stigma atau kelemahan. Untung tak semua organisasi media gagal merespons fakta ini.

Thomson Reuters, salah satu organisasi berita terbesar di dunia, misalnya, memiliki program pencegahan dan pemulihan trauma global dan unit kesehatan mental serta kesejahteraan hidup bagi anggota redaksinya di seluruh dunia. Jurnalis yang mentalnya stabil akan lebih mudah memperlihatkan empati dalam peliputan dan menyelesaikan tugas lebih baik.

Di saat yang sama, sedikit organisasi media bereksperimen dengan penyajian berita melalui cara non-tradisional untuk menanggapi kelelahan publik dalam mengonsumsi informasi. Mereka memilih cara yang lebih inklusif, punya arti, dan tak mengeksploitasi kecepatan, melainkan fokus pada pemahaman terhadap suatu isu.

Ini diadopsi oleh Vox Media yang fokus pada format menjelaskan suatu peristiwa kompleks secara kontekstual. Sedangkan BBC World Hacks mengambil jalur jurnalisme berbasis solusi yang mengamati dan mencari tahu apakah sebuah masalah yang nyata di dunia bisa diselesaikan dengan cara-cara tertentu.

Baca Juga: Indeks Kebebasan Pers Merosot, Jurnalis Indonesia Tidak Dilindungi?

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya