Boris Johnson Masuk ICU Akibat COVID-19, Muncul Ketidakpastian Politik
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
London, IDN Times - Kondisi kesehatan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dikabarkan memburuk akibat positif COVID-19 sehingga harus masuk ke ruang unit perawatan intensif (ICU) pada Senin (7/4). Ia pun menunjuk Menteri Luar Negeri Dominic Raab untuk mewakilinya pada beberapa kesempatan.
Situasi ini menimbulkan ketidakpastian politik apalagi konstitusi Inggris tidak mengatur tentang siapa yang akan menjadi pelaksana tugas sementara jika kesehatan Boris terus menurun atau ia tidak bisa melakukan komunikasi secara terus-menerus karena harus menjalani perawatan intensif.
1. Raab adalah politisi Partai Konservatif yang sangat pro-Brexit
Sejauh ini, yang publik tahu adalah sosok Raab tidak terlalu jauh berbeda dengan Boris. Ia merupakan politisi Partai Konservatif yang sangat mendukung Brexit. Pada 2010, ia terpilih untuk masuk berkantor di Westminster sebagai anggota parlemen. Lima tahun kemudian, ketika David Cameron menjadi penghuni Downing Street 10, Raab ditunjuk sebagai anggota kabinet.
Saat Theresa May terpilih sebagai Perdana Menteri, Raab menduduki jabatan sebagai Menteri Brexit. Akan tetapi, waktu May gagal bernegosiasi dengan Uni Eropa, Raab memilih mundur sebagai bentuk protes. Berdasarkan spektrum politik, Boris lebih liberal secara sosial dibandingkan Raab, tapi ini tak melunturkan loyalitasnya kepada politisi 55 tahun itu.
Baca Juga: Tak Juga Pulih Usai Isolasi Mandiri, PM Inggris Dibawa ke Rumah Sakit
2. Belum jelas seberapa luas tanggung jawab yang harus diemban Raab
Walau masuk ICU, Boris disebut masih mampu menjalankan komando. Akan tetapi, publik masih belum mengetahui sampai mana kewenangan yang diberikan kepada Raab. Ini karena sistem pemerintahan Inggris berbeda, misalnya dengan Amerika Serikat atau Indonesia, yang langsung mengamanahkan tugas kepada pemegang Wakil Presiden.
Editor’s picks
Posisi Deputi Perdana Menteri pun sudah kosong di Inggris sejak beberapa tahun terakhir. Raab sendiri mencoba meyakinkan masyarakat bahwa Boris masih memimpin jalanannya pemerintahan. "Urusan pemerintah akan berlanjut dan Perdana Menteri berada di tangan yang aman bersama tim brilian di Rumah Sakit St. Thomas," kata Raab, seperti dikutip The Telegraph.
"Fokus pemerintah adalah terus memastikan arahan Perdana Menteri, seluruh rencana untuk memastikan bahwa kita bisa mengalahkan virus corona dan sukses melawan tantangan ini akan dijalankan," tambahnya. Ia menolak mengungkap apakah pengambilan keputusan penting seperti soal keamanan nasional diserahkan juga kepadanya atau masih tergantung kepada Boris.
3. Kompetisi antar menteri diprediksi terjadi jika skenario terburuk menimpa Boris
Tidak ada yang bisa menjamin bahwa Boris akan sembuh dari penyakitnya. Skenario terburuk adalah kematian. Seandainya ini yang terjadi, tak ada bagian konstitusi Inggris yang menyebutkan secara gamblang siapa yang layak segera mengambil alih posisi kepemimpinan.
Apalagi parlemen Inggris menekankan pada tanggung jawab kolektif, bukan ketegasan peran seperti dalam sistem politik federal dan republik. Partai Konservatif yang memimpin Inggris harus menunjuk satu orang untuk mengisi posisi permanen, tapi harus dengan persetujuan dari Ratu Elizabeth. Proses ini dipastikan akan berlangsung cukup lama.
Yang membuat kondisi rumit adalah tak ada posisi Perdana Menteri sementara di Inggris. Dalam situasi mendesak, umumnya ada tiga menteri teratas yang bisa dipilih yaitu Menteri Luar Negeri, Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri. Sayangnya, urutannya tidak jelas sehingga diyakini akan ada kompetisi antar menteri dalam tubuh partai apabila Boris tak bisa lagi menjadi Perdana Menteri.
Dr Catherine Haddon, pakar ilmu pemerintahan di Institute for Government Inggris, mengatakan kepada The Telegraph bahwa ada pula kemungkinan bagi anggota kabinet untuk berbagi tanggung jawab, misalnya dalam bidang intelijen yang sangat sensitif.
"MI5 melapor kepada Menteri Dalam Negeri, MI6 dan GCHQ melapor kepada Menteri Luar Negeri, jadi masih masih jalur komunikasi," jelasnya. Ia merujuk kepada lembaga-lembaga intelijen Inggris. "Perdana Menteri tetap memegang otoritas utama, tapi itu tak berarti dia satu-satunya yang berurusan dengan mereka," tambah Haddon.
Baca Juga: Kondisi Memburuk karena COVID-19, PM Inggris Boris Johnson Masuk ICU