Dinilai Berlebihan, Warga Protes Kebijakan Lockdown di Xinjiang

Ada laporan pintu warga disegel dengan linggis dari luar

Jakarta, IDN Times - Warga Xinjiang memprotes kebijakan lockdown yang mereka anggap sudah berlebihan. Mereka mengungkapkan keluhan dan rasa frustrasi kepada pemerintah melalui media sosial setelah ada laporan sejumlah kasus kasus lokal.

Melansir AFP, klaster terbaru di wilayah berpenduduk mayoritas Muslim itu muncul pada pertengahan Juli lalu. Sampai kini, Xinjiang melaporkan sebanyak 902 kasus. Pemerintah Tiongkok sendiri menggunakan lockdown sebagai salah satu cara untuk mengurung penyebaran virus.

1. Warga mengaku hidup dalam kondisi yang buruk selama lockdown

Dinilai Berlebihan, Warga Protes Kebijakan Lockdown di XinjiangIlustrasi sekolah di daerah Xinjiang, Tiongkok (IDN Times/Uni Lubis)

Karena ketatnya pembatasan yang diterapkan pemerintah, warga pun mengungkapkan protes lewat media sosial. Ratusan orang menggunakan forum di internet untuk mengeluhkan berbagai kondisi yang mereka alami. Beberapa mengaku dipaksa untuk tinggal di dalam rumah.

Namun, keluhan-keluhan mereka di forum tersebut ternyata dihapus oleh otoritas Tiongkok yang sangat ketat dalam menyensor internet. Kemudian, mereka beralih menggunakan Weibo yang merupakan media sosial buatan Tiongkok dan mirip Twitter.

Beberapa bahkan mengunggah foto-foto yang memperlihatkan pintu depan rumah mereka disegel memakai linggis. Pekerja sosial juga mengunci rumah-rumah mereka dengan gembok. Ini membuat warga merasa mereka seperti dikurung paksa, apalagi saat sudah tidak ada kasus lagi.

"Mengapa prefektur yang tidak ada kasus dilarang mengakhiri lockdown?," protes seorang warga.

"Mengapa Anda perlu untuk memberlakukan lockdown ke seluruh Xinjiang?," tambahnya.

Unggahan ini pun mendapatkan ribuan likes.

Baca Juga: Ada 6 Kasus COVID-19 Baru, Xinjiang Kembali Lockdown

2. Pemerintah tidak mau terbuka soal penyebaran virus corona di Xinjiang

Dinilai Berlebihan, Warga Protes Kebijakan Lockdown di XinjiangRuang kelas di Xinjiang, Tiongkok. IDN Times/Uni Lubis

Foto-foto lain yang beredar di platform Weibo dan WeChat menunjukkan beberapa orang diborgol di gerbang masuk perumahan warga. Menurut laporan, itu adalah bentuk hukuman karena mereka berusaha meninggalkan rumah ketika lockdown masih berlaku.

Warga lainnya mengatakan bahwa lockdown membuat harga barang-barang melonjak.

"Pintu-pintu disegel, ini membawa ketidaknyamanan luar biasa kepada orang-orang yang bekerja dan kehidupan warga. Harga barang sehari-hari meningkat...banyak barang yang saya beli sudah kedaluwarsa," tulis seorang warganet.

Ada juga pengakuan warga yang mengatakan otoritas setempat memaksa mereka mengonsumsi obat-obatan setiap hari dan mewajibkan mereka mendokumentasikannya lewat video.

Pemerintah Tiongkok pun enggan memberikan informasi detail mengenai lockdown di Xinjiang dan berapa lama. Padahal, di wilayah lain, pemerintah selalu memberikan kejelasan. Ini juga yang dikeluhkan oleh warga Xinjiang yang sudah sensitif dengan laporan upaya pemerintah untuk membatasi pergerakan orang-orang Muslim.

3. Lainnya frustrasi karena tak bisa meninggalkan Xinjiang

Dinilai Berlebihan, Warga Protes Kebijakan Lockdown di XinjiangPresiden Tiongkok Xi Jinping mengunjungi Rumah Sakit Huoshenshan di Wuhan, pusat penyebaran virus COVID-19, provinsi Hubei, Tiongkok, pada 10 Maret 2020. ANTARA FOTO/Xie Huanchi/Xinhua via REUTERS

Bukan hanya warga lokal yang protes dengan kebijakan lockdown pemerintah. Mahasiswa, turis, pengusaha serta pekerja migran yang kebetulan ada di Xinjiang ketika lockdown dimulai sampai kini tidak bisa meninggalkan daerah yang berlokasi di sebelah barat laut Tiongkok itu.

"Saya melakukan tiga tes nucleic acid, tapi pekerja masyarakat tak mengizinkan saya pergi dari sini," ujar seorang warganet.

Mereka juga tidak tahu kapan bisa keluar dari Xinjiang. Pemerintah sendiri mengatakan situasi masih rumit dan parah sehingga perlu berhati-hati dalam mengambil langkah.

Pada Juli lalu, pemerintah mengumumkan Urumqi yang merupakan ibu kota Xinjiang berada dalam mode perang. Beberapa mengkritiknya sebagai dalih bagi otoritas untuk mengekang warga karena alasan politik. Kelompok HAM melaporkan ada sekitar satu juga Muslim Uighur dan minoritas lainnya yang dipaksa masuk kamp khusus sebab mereka dituduh terpapar paham ekstremis.

Baca Juga: AS Jatuhkan Sanksi kepada Tiongkok karena Masalah Xinjiang

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya