Enggan Korbankan Ekonomi, Jepang Masih Galau Terapkan Lockdown

Sudah ada lebih dari 5.000 kasus COVID-19 di Negeri Sakura

Tokyo, IDN Times - Pemerintah Jepang dianggap galau dalam menerapkan status darurat virus corona di 7 wilayah yang baru diumumkan pada Selasa (7/4). Sehari sebelumnya, jumlah kasus positif COVID-19 yang dilaporkan di Tokyo adalah sebanyak 1.116.

Gubernur Tokyo Yuriko Koike pun sudah beberapa kali sebelumnya dilaporkan mendesak Perdana Menteri Shinzo Abe untuk mengetatkan peraturan demi memutus mata rantai penyebaran virus corona. Sampai kini, ada lebih dari 5.500 kasus COVID-19 dan 99 kematian di seluruh negeri.

Meski status darurat telah berlaku di Tokyo, Osaka, dan 5 kawasan padat penduduk lainnya, pada realitanya masih banyak warga yang beraktivitas dan bekerja seperti biasa. Jepang pun dikritik terlambat dalam mengeluarkan kebijakan yang bisa menekan angka penularan.

1. Pemerintah pusat mengandalkan kesadaran warga

Pengumuman status darurat tidak memberikan kewenangan bagi pemerintah pusat untuk menghukum warga yang tetap melakukan kegiatan tidak penting di luar rumah. Ini ditegaskan oleh Abe dalam sebuah konferensi pers.

"Deklarasi [status darurat] tak berarti kami akan memberlakukan lockdown yang sama seperti negara-negara lain," ujarnya, seperti dikutip Kyodo News.

Sehari usai ada status darurat, warga di Tokyo dan Osaka membagikan situasi yang tidak terlihat berbeda dibanding waktu-waktu sebelumnya. Lewat media sosial, mereka memperlihatkan foto-foto di mana stasiun bawah tanah di ibu kota masih ramai, bahkan dipadati, oleh warga yang bekerja. 

Abe berulang kali mengatakan ia tak punya basis legal untuk memberlakukan lockdown. Oleh karena itu, ia mengaku lebih menekankan kepada kesadaran publik sendiri.

"Untuk meringankan tekanan perlu adanya transformasi dalam perilaku masyarakat," kata dia, seperti dikutip The Guardian.

"Mencegah lonjakan kasus, menyelamatkan orang dalam kondisi serius dan melindungi Anda serta orang yang Anda sayangi bergantung pada bagaimana kita mengubah kebiasaan kita," tambahnya.

Alhasil, pemerintah hanya bisa meminta dan menganjurkan, tapi tidak memberi hukuman kecuali bagi yang sengaja menimbun alat-alat medis.

Baca Juga: Cegah COVID-19, Kampus di Jepang Gelar Wisuda Virtual Pakai Robot

2. Pemerintah pusat dan daerah berbeda pandangan mengenai perkembangan kondisi di Jepang

Pernyataan Abe dilaporkan kontras dengan keinginan Gubernur Tokyo, Yuriko Koike. Media Jepang menyebut Yuriko ingin ada ketegasan mengenai jenis-jenis usaha apa saja yang harus dibatasi. Pembatasan mau pun penutupan juga bersifat permintaan, bukan perintah, karena pemerintah merasa tak punya wewenang untuk memaksa.

Tokyo berencana membagi usaha menjadi tiga kategori. Pertama, yang akan diminta pemerintah untuk menghentikan operasi sementara waktu. Kedua, yang diminta untuk menghentikan aktivitas sementara berdasarkan situasi yang terjadi. Ketiga, yang tetap bisa beroperasi sembari mengambil langkah-langkah untuk menekan penyebaran virus.

Bioskop, klub malam, dan kampus masuk ke kategori pertama, sedangkan tempat-tempat pelayanan publik serta sekolah masuk ke kategori kedua. Kemudian, sarana transportasi publik, institusi kesehatan, supermarket, hotel dan bank masuk ke kategori ketiga. Abe pun menilai, jika kedua pihak saling sepakat, untuk merujuk kepada pemerintah dan pelaku usaha.

Namun, para praktiknya tetap ada kejanggalan. Seorang warga negara Amerika Serikat bernama Jeffrey J. Hall, membagikan foto saat ia diwajibkan mengantre di gedung Biro Imigrasi Tokyo pada Rabu (8/4) karena visanya yang diperbarui tak bisa dikirimkan lewat pos. Antrean pun memanjang dan tampak masing-masing orang berdiri berdekatan.

3. Pemerintah pusat tidak mau mengorbankan perekonomian dengan mendeklarasikan lockdown

Mari Yamaguchi, seorang wartawan Jepang di AFP, menjelaskan bahwa keputusan pemerintah untuk tak menerapkan lockdown berhubungan dengan sejarah dan perekonomian.

"Sejarah Jepang soal represi di bawah pemerintahan fasis sebelum dan selama Perang Dunia II membuat publik cemas terhadap pemerintahan yang melampaui batas," tulisnya di The Diplomat.

"Konstitusi pasca-perang Jepang mengatur soal perlindungan yang ketat terhadap kebebasan sipil. Pemerintahan Abe merasa enggan untuk menimbulkan risiko dampak ekonomi yang parah akibat dari penerapan langkah-langkah yang ekstrem," jelasnya.

Menurut logika pemerintah pusat, lebih baik memohon kesadaran publik dibanding menerapkan lockdown yang berarti mengorbankan perekonomian.

Mengutip Reuters, bank sentral Jepang pun sudah mengumumkan bahwa pandemik COVID-19 ini berakibat pada tingkat ketidakpastian ekonomi yang sangat tinggi di negara itu. Di daerah, situasi ekonomi yang terjadi adalah yang terburuk sejak krisis finansial global pada 2008 hingga 2010 lalu.

Baca Juga: Diskriminasi Warga Jepang di Bali, Dikaitkan Pembawa COVID-19

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya