Greenpeace Minta ASEAN Tolak Jadi Tempat Sampah Negara Maju

Malaysia dan Thailand menilai sampah bisa menguntungkan

Bangkok, IDN Times - Organisasi pecinta lingkungan hidup, Greenpeace di Asia Tenggara, melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung Kementerian Luar Negeri Thailand untuk meminta pemerintah ASEAN menolak menjadi tempat sampah negara maju.

Aksi tersebut dilakukan pada Kamis waktu setempat (20/6) menjelang Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN (KTT ASEAN) yang akan berlangsung hingga akhir pekan ini. Greenpeace menilai sekarang saatnya ASEAN untuk bersikap tegas setelah selama beberapa tahun terakhir menerima sampah-sampah kiriman dari negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman. 

1. Jika diteruskan, Greenpeace menyebut ada ancaman terhadap kesehatan

Greenpeace Minta ASEAN Tolak Jadi Tempat Sampah Negara MajuANTARA FOTO/REUTERS/Soe Zeya Tun

Tema KTT ASEAN ke-34 ini adalah "Memajukan Kemitraan Untuk Keberlanjutan" dan akan dipimpin oleh Thailand. Greenpeace dan sejumlah advokat HAM dari Malaysia, Filipina serta Thailand berpendapat tema itu relevan dengan persoalan sampah di ASEAN saat ini.

Seperti disampaikan lewat situs Greenpeace, mereka menantang para pemimpin ASEAN untuk menetapkan kebijakan regional yang berani dan visioner demi menghentikan aliran sampah plastik dari negara-negara lain ke dalam wilayah.

"Sampah plastik dan elektronik diperdagangkan menggunakan celah-celah di dalam regulasi di bawah kedok 'daur ulang' dan 'perbaikan' material mentah. Bagaimana pun juga, banyak sampah yang diimpor itu berakhir di lahan terbuka atau dibakar di lokasi ilegal, sehingga mengancam warga serta lingkungan hidup," kata Direktur Greenpeace Filipina, Lea Guerrero.

2. Greenpeace menilai risikonya tidak sepadan dengan keuntungan material yang diambil industri

Greenpeace Minta ASEAN Tolak Jadi Tempat Sampah Negara MajuANTARA FOTO/REUTERS/Soe Zeya Tun

Pendapat serupa juga diberikan oleh Direktur Ekologi dan Perbaikan Thailand, Penchom Saetang, yang menolak impor sampah ke ASEAN dengan alasan daur ulang atau perbaikan. Menurutnya, keuntungan material yang didapat tidak sepadan dengan risiko yang harus ditanggung makhluk hidup.

"Meski sekilas para pemimpin kita mungkin mempertimbangkan ini sebagai kesempatan bagi perkembangan industrial, harga yang harus kita bayar untuk kerugian kesehatan, air minum bersih dan tanah untuk tempat tinggal tidak bisa dihitung," ucapnya.

"Jika pemimpin ASEAN menerima tanggung jawab untuk mengembangkan keamanan berkelanjutan dan ekonomi hijau yang sejalan dengan komitmen regional kita terhadap Agenda 2030 untuk 'tidak meninggalkan siapapun', maka menerima sampah plastik serta elektronik dari luar negeri atas nama pembangunan harus segera diakhiri."

Baca Juga: Buruk Bagi Lingkungan, Inggris Ingin Kurangi Limbah Pakaian

3. Impor plastik ke Thailand meningkat dalam beberapa tahun terakhir

Greenpeace Minta ASEAN Tolak Jadi Tempat Sampah Negara MajuANTARA FOTO/REUTERS/Soe Zeya Tun

Greenpeace juga menyebut bahwa sejak 2017 hingga 2018, ada peningkatan impor sampah dari beberapa negara maju ke Thailand. Pada 2017, jumlahnya mencapai 152.244 ton. Setahun kemudian, ada 481.381 sampah yang masuk ke negara tersebut.

Berdasarkan kuantitas, Jepang jadi eksportir sampah terbesar dengan 173.371 ton. Disusul kemudian oleh Hong Kong dengan 99,932 ton, dan Amerika Serikat dengan 84.462 ton. Dilansir dari khaosodenglish.com, pemerintah Thailand memberikan pengecualian pajak kepada pengimpor sampah legal.

Namun, tidak semuanya sesuai aturan. Ada juga yang mengimpor sampah secara ilegal. Misalnya, pada 2018, ada 2.100 kontainer sampah plastik dan 85 kontainer sampah elektronik yang disita oleh pihak berwajib. Penchom pun menuntut pemerintahnya segera melarang impor sampah-sampah tersebut.

4. Malaysia juga menerima sampah dari Amerika Serikat dan Korea Selatan

Greenpeace Minta ASEAN Tolak Jadi Tempat Sampah Negara MajuANTARA FOTO/REUTERS/Soe Zeya Tun

Selain Thailand, negara lain di ASEAN yang juga menjadi tempat sampah adalah Malaysia dan Filipina. Seperti dilaporkan Reuters, pada 2018 lalu tumpukan sampah memenuhi jalanan di Pulau Indah, Malaysia. Sampah-sampah itu berasal dari Amerika Serikat, Inggris, Korea Selatan dan Spanyol.

Di wilayah itu, ada sejumlah pabrik daur ulang plastik ilegal yang berdiri dalam beberapa bulan terakhir. Bau pembakaran sampah plastik dari sejumlah pabrik daur ulang membuat penduduk sangat tergganggu. Ini karena Malaysia telah jadi negara tujuan favorit negara-negara maju.

Menteri Energi, Teknologi, Sains, Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup Malaysia, Yeo Bee Yin, mengatakan pemerintah sebenarnya tak mau negaranya jadi "tempat sampah" negara-negara maju. Akan tetapi, Menteri Perumahan yang mengawasi manajemen sampah, Zuraida Kamaruddin, menolak melewatkan bisnis sampah yang ia yakini bernilai miliaran dolar.

5. Semua berawal ketika Cina menolak impor sampah pada 2018

Greenpeace Minta ASEAN Tolak Jadi Tempat Sampah Negara MajuANTARA FOTO/REUTERS/Soe Zeya Tun

Banjir sampah plastik dan elektronik di ASEAN bermula pada 2018 di Cina. Beijing menyetop hampir seluruh impor sampah-sampah tersebut dari berbagai negara maju. Tujuannya adalah untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup dan kualitas udara di sana. Menurut pakar, ini membuat negara-negara maju yang selama ini mengeskpor sampah mereka ke Cina kebingungan.

"Rasanya seperti ada gempa bumi," ujar Direktur Jenderal Biro Daur Ulang Internasional asal Brussels, Arnaud Brunet, kepada South China Morning Post. "Cina dulu jadi pasar terbesar untuk daur ulang. Keputusannya menciptakan kejutan besar di pasar global." Akhirnya, negara seperti Thailand dan Malaysia berebut menjadi pengganti.

Pelaku impor sampah Cina pun merelokasi bisnis mereka ke ASEAN. Namun, prosesnya tidak mulus. Bukan hanya karena industri ini relatif baru di ASEAN, tapi juga disebabkan oleh tidak adanya manajemen sampah yang memadai. Greenpeace pun meminta pemerintah negara maju ikut bertindak.

Salah satunya untuk memaksa raksasa manufaktur menggunakan lebih sedikit plastik. Aktivis Greenpeace Jerman, Santen, berkata kepada Deustche Welle,"Perusahaan seperti Nestle atau Unilever membanjiri Asia Tenggara dengan apa yang disebut sebagai rasio produk harian, memakai kantong sekali pakai--menyadari bahwa tak ada pembuangan sampah yang tepat."

Baca Juga: Beruang Kutub Kelaparan dan Berkeliaran di Kota Industri Rusia

Topik:

Berita Terkini Lainnya