International Women's Day: Berlin Tetapkan 8 Maret jadi Hari Libur

Bagaimana cara kamu peringati International Women's Day?

Berlin, IDN Times - International Women's Day atau Hari Perempuan Internasional diperingati setiap tanggal 8 Maret. Cara memperingatinya pun beragam. Kota Berlin di Jerman, misalnya, menjadikan hari ini sebagai hari libur.

Keputusan tersebut sudah diwacanakan sejak tahun 2018 lalu. Baru pada Januari 2019, parlemen Berlin secara resmi membuat International Women's Day sebagai hari di mana baik perempuan maupun laki-laki diizinkan untuk menghabiskan waktu dengan teman, pasangan, maupun keluarga.

1. Pemerintah Berlin menyebut langkah ini sebagai simbol kemajuan untuk kesetaraan perempuan

International Women's Day: Berlin Tetapkan 8 Maret jadi Hari Liburunsplash.com/Omar Sotillo Franco

Ide untuk menjadikan 8 Maret sebagai hari libur datang dari Wali Kota Berlin Michael Muller. Pada Desember 2018, proposal Muller itu mendapatkan dukungan dari koalisi Partai Sosial Demokrat (SPD), Die Linke (partai kiri), serta sejumlah Partai Hijau.

"Komitmen terhadap hak dan kesetaraan perempuan adalah bagian dari DNA Partai Hijau. Kami senang bahwa kini mayoritas di parlemen Berlin menyetujui inisiatif Hari Perempuan," ujar Nina Stahr, ketua partai, seperti dilansir dari Deustche Welle.

Baca Juga: Perempuan Pegiat UMKM, Sang Tulang Punggung Ekonomi Nasional

2. Tak ingin sekadar libur, Berlin berharap masyarakat tetap memaknai hak dan kesetaraan perempuan

International Women's Day: Berlin Tetapkan 8 Maret jadi Hari Liburunsplash.com/Ann Danilina

Berlin sendiri merupakan satu-satunya dari 16 negara bagian di Jerman yang meresmikan International Women's Day sebagai hari libur. Para pendukung keputusan ini pun mengharapkan agar masyarakat tak sekadar menghentikan pekerjaan mereka untuk sehari.

"Ini penting bagi kita bahwa hari tersebut tetap berarti politik. Selama hak dan perwakilan setara tidak bisa dicapai secara total, kami Partai Hijau tak hanya akan merayakan 8 Maret, tapi juga turun ke jalan dan berjuang demi masyarakat yang lebih adil," kata Stahr.

3. Muncul kekhawatiran ini akan memengaruhi perekonomian Berlin

International Women's Day: Berlin Tetapkan 8 Maret jadi Hari Liburunsplash.com/Elevate

Tak semua pihak serta-merta memberikan dukungan terhadap keputusan pemerintah Berlin. Dibanding yang lain, ibukota Jerman ini memiliki hari libur umum paling sedikit. International Women's Day sendiri adalah hari libur ke-10 di Berlin.

Bagi Kamar Dagang dan Industri Berlin, menjadikan 8 Maret sebagai hari libur melahirkan kekhawatiran terhadap perekonomian yang diprediksi akan turun sebesar 0,3 persen. Bukan hanya karena Berlin adalah ibukota negara, tapi juga disebabkan oleh status sebagai kota terpadat di mana jutaan orang bekerja.

Baca Juga: Hey, Ladies! Ingin Diperlakukan Setara? Tinggallah di Negara Ini

4. Jerman tidak selalu progresif dalam hal kesetaraan gender

International Women's Day: Berlin Tetapkan 8 Maret jadi Hari Liburunsplash.com/rawpixel

Derya Caglar, juru bicara SPD untuk urusan kebijakan kesetaraan gender, menegaskan keputusan Berlin adalah "sebuah tanda besar bahwa kami sedang membuat kemajuan di jalan menuju kesetaraan antara laki-laki dan perempuan". 

Hanya saja, Jerman kerap dikritik sebagai negara dengan peringkat kesetaraan gender yang berada di bawah rata-rata Uni Eropa. Salah satunya adalah soal diskriminasi penghasilan. Kantor Statistik Federal Jerman melaporkan pada 2017 perempuan di negara itu digaji 21 persen lebih sedikit dari laki-laki.

Di Uni Eropa, Jerman memiliki status sebagai negara dengan diskriminasi gaji terburuk kedua setelah Inggris. Ini cukup mengagetkan mengingat dalam lebih dari satu dekade Jerman dipimpin oleh seorang perempuan.

5. Berbagai usaha dilakukan untuk membuat kemajuan

International Women's Day: Berlin Tetapkan 8 Maret jadi Hari Liburunsplash.com/rawpixel

Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah Jerman mengesahkan undang-undang pada 2016 yang mewajibkan perusahaan menunjuk setidaknya 30 persen perempuan sebagai anggota dewan penasihat. Kemudian, setahun setelahnya, ada peraturan tentang transparansi gaji. Namun, hasilnya masih diperdebatkan.

Menurut studi yang dikutip Bloomberg, hanya satu dari delapan orang yang mau menanyakan soal transparansi kepada tempat mereka bekerja. Sepertiga dari mereka mengaku khawatir terhadap konsekuensi negatif yang akan diterima bila melakukan ini.

Hal ini terjadi karena dalam peraturan tersebut perusahaan hanya diwajibkan transparan soal gaji ketika ada karyawan yang meminta dan mereka harus melakukannya lewat pengadilan. Oleh karena itu, banyak yang kemudian memilih diam daripada harus membuat keributan.

Baca Juga: Survei: Perempuan Dinilai "Bossy" Jika Minta Naik Gaji

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya