Jika Memungkinkan, Pemimpin Hong Kong Mengaku Pilih Mundur

Carrie Lam menyebut ia harus melayani dua tuan sekaligus

Hong Kong, IDN Times - Pemimpin Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, mengaku memilih mundur dari jabatannya jika ini memungkinkan. Pernyataan Lam tersebut diketahui melalui rekaman suara yang bocor ke publik Senin malam (2/9). Lam, yang mengisi posisi itu sejak 1 Juli 2017, mengatakannya dalam sebuah pertemuan dengan kelompok pebisnis pada minggu lalu.

Menurut Reuters yang mendapatkan rekaman suara itu, Lam mengaku dirinya telah menyebabkan "malapetaka tak termaafkan" dengan memulai wacana pemberlakuan Rancangan Undang-undang (RUU) Ekstradisi yang kemudian menyulut krisis politik di Hong Kong. Demonstrasi di kota itu sudah berlangsung hampir tiga bulan.

1. Lam mengaku pilihannya sangat terbatas

Jika Memungkinkan, Pemimpin Hong Kong Mengaku Pilih MundurCarrie Lam keluar dari balik pembatas polisi yang mengelilingi kantornya untuk bertemu dengan pembuat petisi di Hong Kong pada 13 Agustus 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Thomas Peter

Pertemuan itu sendiri berlangsung tertutup dan tidak diketahui terjadi di mana. Saat itu, Lam mengatakan pilihannya kini "sangat terbatas" untuk menyelesaikan situasi di Hong Kong yang, menurutnya, telah menjadi "persoalan keamanan nasional dan kedaulatan" bagi Tiongkok.

Dengan naiknya level krisis ke tingkat nasional yaitu menyangkut kepentingan nasional Tiongkok, Lam berpendapat "ruang politik untuk bermanuver" bagi dirinya "sangat, sangat terbatas". Ia berujar, "Jika saya punya sebuah pilihan, hal pertama [yang akan saya lakukan] adalah mundur, membuat sebuah permintaan maaf yang mendalam."

2. Lam beranggapan ia melayani dua tuan sekaligus

Jika Memungkinkan, Pemimpin Hong Kong Mengaku Pilih MundurCarrie Lam saat konferensi pers di Hong Kong pada 13 Agustus 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Thomas Peter

Posisi seorang Pemimpin Eksekutif menurut konstitusi, kata Lam, "sayangnya mengharuskannya untuk melayani dua tuan" sekaligus yaitu pemerintah pusat di Beijing dan rakyat di Hong Kong. Berdasarkan sumber yang dikutip Reuters, meski Lam mengaku kepada masyarakatnya bahwa RUU Ekstradisi telah mati pada awal Juli lalu, tapi Tiongkok menolak proposal itu.

"Masih ada keraguan tentang ketulusan atau kekhawatiran apakah pemerintah akan memulai lagi proses itu di Dewan Legislatif. Jadi, saya tekankan lagi bahwa tidak ada rencana seperti itu. RUU itu sudah mati," kata Lam waktu itu, seperti dilansir dari AFP. Walau begitu, demonstrasi tetap berlanjut dengan tuntutan-tuntutan lainnya.

Baca Juga: Pemerintah Hong Kong Sematkan Label 'Radikal' kepada Demonstran

3. Beijing dikhawatirkan akan ikut campur, meski Lam membantahnya

Jika Memungkinkan, Pemimpin Hong Kong Mengaku Pilih MundurSejumlah jeep terlihat disiagakan di pangkalan militer Shek Kong basis Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) di Hong Kong pada 29 Agustus 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Staff

Lahir kegelisahan di antara demonstran bahwa pemerintah Tiongkok akan melakukan intervensi dengan menerjunkan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) serta kepolisian nasional ke Hong Kong. Lam sendiri mengatakan bahwa Beijing "sama sekali tidak punya rencana" untuk mengambil langkah ini.

Sebelumnya, dalam kolom di media milik Departemen Hubungan Masyarakat Partai Komunis, China Daily, dituliskan bahwa ketika status darurat diterapkan oleh pemerintah Hong Kong, maka, "Beijing akan bisa mengirimkan polisi atau pasukan huru-hara bersenjata" ke sana. 

Menurut media propaganda pemerintah tersebut, pasukan dari Tiongkok daratan disebutkan "punya perlengkapan dan telah terlatih secara lebih baik untuk menghadapi situasi huru-hara dan kekerasan dibandingkan pasukan Hong Kong".

Alasannya adalah karena mereka bukan warga Hong Kong sehingga "bisa mengatasi pengunjuk rasa secara efisien dan tanpa perasaan" mengingat "tak ada rintangan psikologis".

4. Kantor pemerintah Hong Kong menolak berkomentar

Jika Memungkinkan, Pemimpin Hong Kong Mengaku Pilih MundurDemonstran membakar barikade di sebuah jalan di Hong Kong pada 31 Agustus 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Anushree Fadnavis

Juru bicara Lam sendiri membenarkan bahwa bosnya memang menghadiri pertemuan tertutup itu pada minggu lalu. Akan tetapi, ia menolak untuk memberi tanggapan ketika ditanya oleh media. "Kami tidak ada dalam posisi untuk berkomentar soal apa yang Pemimpin Eksekutif telah katakan di acara tersebut," katanya.

Pada akhir Juli lalu, juru bicara Kantor Urusan Hong Kong dan Makau yang merupakan perwakilan Beijing mengatakan dalam konferensi pers bahwa Tiongkok mendukung Lam serta "memahami dan menghormati keputusan" untuk menghentikan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Ekstradisi.

5. Muncul lima tuntutan dari demonstran

Jika Memungkinkan, Pemimpin Hong Kong Mengaku Pilih MundurSeorang demonstran Hong Kong ditahan oleh polisi saat aksi protes pada 31 Agustus 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Kai Pfaffenbach

Menurut para pengunjuk rasa, demonstrasi yang masih bertahan hingga saat ini tidak akan berhenti kecuali pemerintah Hong Kong memenuhi lima tuntutan mereka. Selain meminta Lam untuk mundur, tuntutan-tuntutan tersebut adalah:

1. Pencabut RUU Ekstradisi sepenuhnya

2. Pemerintah mencabut penggunaan kata "kerusuhan" dalam kaitannya dengan aksi demonstrasi

3. Pembebasan para pengunjuk rasa tanpa syarat dan pencabutan segala tuduhan terhadap mereka

4. Penyelidikan independen terhadap perilaku kepolisian sepanjang demonstrasi berlangsung

5. Implementasi hak suara universal yang sebenar-benarnya.

Baca Juga: Asosiasi Penyedia Layanan Internet Hong Kong Tolak Pemblokiran Akses

Topik:

Berita Terkini Lainnya