Lambatnya Iran dan Italia Merespons Virus Corona Berakibat Fatal

Indonesia diharap lebih pro-aktif agar tak terlambat

Roma, IDN Times - Italia dan Iran kini menjadi dua negara di luar Tiongkok dengan jumlah kasus dan kematian akibat virus corona baru atau COVID-19 terbesar di dunia.

Di Italia, ada 79 kematian dengan lebih dari 2.000 kasus per Rabu (4/3). Sedangkan di Iran, ada 77 kematian dan lebih dari 2.300 kasus dalam periode yang sama.

Pertanyaan muncul mengenai melonjaknya level wabah COVID-19 di kedua negara tersebut ketika Tiongkok dilaporkan mengalami perlambatan. Secara global, ada hampir 3.200 orang yang meninggal akibat virus tersebut. Jumlah kasusnya sendiri sudah melampaui 90.000 kasus di seluruh dunia.

1. Iran lalai sehingga terlambat dalam merespons wabah

Lambatnya Iran dan Italia Merespons Virus Corona Berakibat FatalSeorang wanita Iran memakai masker pelindung untuk mencegah tertular virus corona, saat berjalan di jalan di Tehran, Iran, pada 25 Februari 2020. (ANTARA FOTO/WANA (West Asia News Agency)/Nazanin Tabatabaee via REUTERS)

Dua kasus COVID-19 pertama di Iran dikonfirmasi pada 19 Februari. Pasien adalah warga kota suci Qom yang menjadi tujuan para peziarah Syiah. Menurut kantor berita ISNA, tak lama kemudian pemerintah melaporkan keduanya meninggal.

Namun, sampai dua minggu kemudian, pemerintah kota dan pusat menolak mengambil langkah untuk mengantisipasi penyebaran seperti memberi imbauan karantina atau penutupan kota. Bahkan, berbagai situs suci tetap dibuka dan dikunjungi oleh orang-orang yang ingin beribadah.

Perwakilan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei di Qom, Mohammad Saeedi, mengatakan keputusan tidak menutup makam-makam suci karena menganggapnya sebagai "tempat menyembuhkan diri" dan "berarti orang-orang harus datang ke sini untuk sembuh dari penyakit-penyakit spiritual dan fisik".

Dalam beberapa hari terakhir, malah beredar video peziarah yang menjilat makam suci Imam Reza di Kota Masshad. Ia berkata, "Aku tidak peduli apa yang terjadi." Peziarah lainnya juga melakukan hal tersebut. "Berhenti bermain-main dengan kepercayaan orang, virus corona tidak ada apa-apanya di tempat suci Syiah," ujarnya.

Baca Juga: Cegah Penularan COVID-19, Iran Bebaskan Sementara 54 Ribu Tahanan

2. Muncul beragam laporan upaya pembungkaman oleh otoritas Iran

Lambatnya Iran dan Italia Merespons Virus Corona Berakibat FatalPemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei tiba untuk memberikan suara di tempat pemungutan suara dalam pemilihan parlemen di Tehran, Iran, pada 21 Februari 2020. ANTARA FOTO/Official Khamenei website/Handout via REUTERS

Dua minggu lalu, pemerintah Iran mengklaim COVID-19 tidak menjadi ancaman.

"Saya tak mau mengatakan ini tidak penting tapi mari jangan melebih-lebihkan...virus corona tidak akan berdampak kepada negara ini untuk waktu lama dan akan segera menghilang," tutur Khamenei, seperti dikutip The Guardian.

Dilansir dari BBC, Wakil Menteri Kesehatan yang kini terinfeksi COVID-19, Iraj Harirchi, justru terang-terangan menyebut karantina sebagai metode "Zaman Batu". Upaya terkoordinasi pemerintah Iran untuk menggampangkan potensi risiko COVID-19 dibarengi dengan aksi-aksi pembungkaman.

Muncul laporan banyak dokter dan suster yang diperingatkan oleh petugas keamanan Iran agar tutup mulut meski mengetahui ada kasus COVID-19. Beberapa pejabat menutupi dampak sebenarnya dari wabah ini karena ketakutan akan dijadikan sebagai alat eksploitasi oleh musuh.

Menurut The New York Times, petugas keamanan ditempatkan di masing-masing rumah sakit untuk memastikan pekerja medis tidak mengungkap informasi perihal kelangkaan alat kesehatan, pasien atau kematian terkait COVID-19. Seorang perawat mengaku petugas menyebut penyebaran informasi sama dengan "ancaman terhadap keamanan nasional" dan "menakut-nakuti publik".

"Semakin pejabat pemerintah takut untuk menakut-nakuti masyarakat, semakin virus akan menyebar dan negara akan kian lumpuh," kata seorang dokter di Provinsi Khuzestan yang menangani pasien COVID-19 kepada Fortune. Ia pun meyakini jumlah kasus akan bertambah dalam beberapa waktu mendatang.

Sanksi dari Amerika Serikat juga diduga berdampak terhadap ketersediaan alat-alat medis, termasuk untuk melakukan tes COVID-19, kepada warga Iran. Teheran mengatakan banyak perusahaan asing takut mengimpor barang ke Iran karena takut dengan sanksi. Sedangkan Washington membantahnya karena sanksi tak berlaku saat situasi kemanusiaan terjadi.

Muncul petisi di situs change.org untuk meminta Direktur WHO Tedros Ghebreyesus membantu penghapusan sanksi.

"Kemampuan orang Iran di luar negeri untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada sesama warga negaranya terhambat secara signifikan dan menjadi mustahil pada situasi ini kecuali ada jalur perbankan yang dibuat untuk pengiriman donasi." Petisi ini sudah ditandatangani lebih dari 40.000 orang.

3. Italia diduga abai dalam mengidentifikasi kasus pertama

Lambatnya Iran dan Italia Merespons Virus Corona Berakibat FatalWarga menggunakan masker pelindung saat berjalan di Colosseum di Roma, Italia, pada 25 Februari 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Remo Casilli

Pertanyaan tentang bagaimana pemerintah Italia merespons COVID-19 juga mengemuka, apalagi setelah media-media setempat fokus pada laporan abainya petugas medis dalam mengidentifikasi kasus pertama. Perdana Menteri Giuseppe Conte bahkan ikut menyalahkan pihak rumah sakit.

Ia menilai mereka turut berkontribusi dalam menyebarkan virus karena gagal melakukan prosedur seharusnya. Seperti dilaporkan The Guardian, pasien itu adalah laki-laki di Codogno, Lombardy, yang memeriksakan diri ke dokter pada 14 Februari karena merasa tak enak badan. Dokternya, yang kini juga terinfeksi COVID-19, hanya memberinya obat flu.

Tak kunjung membaik, ia kembali ke rumah sakit pada 16 dan 18 Februari tanpa dites apa pun karena dianggap tak pernah ke Tiongkok atau melakukan kontak dengan orang Tiongkok. Pada 19 Februari, ia mengalami sesak napas dan mengunjungi rumah sakit lagi. Baru keesokan harinya, laki-laki itu dites dan ternyata positif terinfeksi.

"Di semua departemen gawat darurat di seluruh dunia, dokter harus selalu mengingat yang namanya pencegahan universal untuk mempertimbangkan setiap pasien, kapan pun atau di mana pun, sebagai orang yang berpotensi menyebarkan penyakit," kata pakar dan anggota WHO di Italia, Walter Ricciardi.

4. Pemerintah melakukan tes besar-besaran

Lambatnya Iran dan Italia Merespons Virus Corona Berakibat FatalWisatawan memakai masker pelindung berjalan di Lapangan Saint Mark di Venesia, saat negara tersebut berjuang melawan COVID-19 di Venesia, Italia, pada 27 Februari 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Manuel Silvestri

Sejak Pasien 1 diisolasi, pemerintah mulai melacak dengan siapa saja ia berinteraksi. Istrinya yang sedang hamil mengaku ingat suaminya pernah melakukan kontak dengan temannya yang baru kembali dari Shanghai. Setelah pelacakan dan pemeriksaan, mereka masuk ke karantina.

Kurang dari seminggu, Lombardy yang jadi area paling terdampak COVID-19 melakukan tes terhadap kurang lebih 4.100 warganya.

"Kami menemukan semua pasien ini sekarang karena kami mulai mencari mereka," kata virologis Italia, Ilaria Capua, seperti dikutip The Local Italia. "Kami mulai bertanya kepada diri sendiri apakah masalah pernapasan serius seperti flu disebabkan virus corona atau bukan," lanjutnya lagi..

Di saat bersamaan, Uni Eropa tidak melakukan penutupan perbatasan di Zona Schengen, walau ada laporan otoritas melakukan pemeriksaan di beberapa moda transportasi antar-negara.

Komisioner Uni Eropa bidang Kesehatan dan Keamanan Pangan, Stella Kyriakides, menyebut alasannya adalah karena WHO tidak menyarankan adanya pembatasan perjalanan atau penutupan perbatasan di Eropa. Jika ada pun, Kyriakides menilai ini harus dilaksanakan "secara proporsional dan terkoordinasi" dengan seluruh anggota Uni Eropa.

Baca Juga: Angka Kematian Akibat Virus Corona di Italia dan Iran Bertambah

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya