Perdebatan Sengit Soal Etika Iklan Politik di Internet

Google dan Facebook terima ratusan miliar dari iklan politik

Arena perlombaan kampanye politik di Amerika Serikat semakin meluas dengan mencakup ranah internet. Setidaknya ini terjadi sejak Barack Obama, yang sempat disebut calon presiden (capres) media sosial karena pemanfaatan Twitter dan Facebook secara masif, dan terus berlanjut sampai menjelang Pilpres 2020.

Seperti dilaporkan Bloomberg, kandidat petahana Donald Trump menggelontorkan dana yang diduga sampai US$1 juta atau sekitar Rp14 miliar untuk iklan politik di platform video terbesar di dunia, YouTube. Iklan itu akan dipasang awal November sampai hari pemilihan di bulan tersebut.

1. Lahir kekhawatiran soal dampak teknologi terhadap kualitas demokrasi

Perdebatan Sengit Soal Etika Iklan Politik di InternetPendukung Afrika-Amerika, termasuk Terrence Williams, Angela Stanton dan Diamond and Silk, berdoa dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Ruang Kabinet Gedung Putih di Washington, Amerika Serikat, pada 27 Februari 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Leah Millis

Mau bagaimana pun, kita telah memasuki era digital yang sarat dengan kemajuan teknologi. Walau TV masih diminati, tapi internet menjadi area baru yang diperebutkan oleh banyak orang dengan kepentingan masing-masing. Internet, dan media sosial tentu saja, telah menjadi bagian dari denyut nadi pelajar sampai Donald Trump.

Survei Pew Research yang dirilis pada bulan ini menunjukkan sebagian besar orang mengaku khawatir dengan keperkasaan teknologi terhadap demokrasi. Sebanyak 49 persen percaya teknologi akan melemahkan aspek-aspek inti dari demokrasi dalam satu dekade mendatang, 33 persen optimistis teknologi akan menguatkan, sedangkan 18 persen menilai tak ada perubahan yang signifikan.

Baca Juga: Twitter Akan Berhenti Terima Iklan Politik Mulai November, Kenapa?

2. Iklan politik digital dengan target mikro jadi perdebatan

Perdebatan Sengit Soal Etika Iklan Politik di InternetSeorang pengunjuk rasa berusaha mengambil mikrofon dari calon presiden AS 2020 Partai Demokrat Senator Bernie Sanders saat acara kampanye di Carson City, Nevada, Amerika Serikat, pada 16 Februari 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Eric Thayer

Marc Roternberg, Direktur Eksekutif Electronic Privacy Information Center, adalah salah satu yang pesimis dengan masa depan demokrasi dalam konteks kemajuan teknologi. “Naif untuk percaya bahwa teknologi akan menguatkan institusi demokrasi,” ujarnya kepada Pew Research.

“Ini jadi jelas seiring dengan perusahaan teknologi yang hampir membuat diri mereka kebal hukum dan aturan demokratis yang mendikte bisnis lain di area seperti iklan politik, perlindungan privasi, liabilitas produk dan transparansi,” tambahnya.

Dalam hal iklan politik, politikus, media dan publik di Barat memperdebatkannya dengan cukup panas. Raksasa teknologi Google yang memiliki YouTube mengklaim membatasi iklan yang menargetkan pemilih berdasarkan kecenderungan politik atau catatan pemilih umum.

Google juga mengklaim membatasi iklan politik target mikro yang menyasar usia, jenis kelamin dan lokasi sampai level kode pos. Sedangkan iklan yang menargetkan audiens berbasis perilaku membaca dan menonton mereka tetap diperbolehkan.

Pertanyaan yang belum terjawab, entah sampai kapan, adalah apakah garis yang ditarik oleh Google sudah tepat dan siapa yang berhak untuk memutuskannya?

3. Facebook jadi sasaran karena kebijakan iklan politiknya

Perdebatan Sengit Soal Etika Iklan Politik di InternetBakal calon presiden Amerika Serikat 2020 Demokrat Senator Elizabeth Warren menyapa pendukung dalam sebuah reli di Des Moines, Iowa, Amerika Serikat, pada 3 Februari 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Rick Wilking

Keputusan Google itu dirilis di tengah tidak berhentinya kritikan terhadap goliath teknologi lainnya yaitu Facebook. Kembali ke dua tahun lalu, Facebook kedapatan terlibat skandal penyalahgunaan data hingga 80 juta pengguna.

Adalah Cambridge Analytica, perusahaan data dari Inggris, yang memakai data-data itu untuk iklan target mikro berdasarkan pesanan tim sukses Donald Trump. Mozilla menuding Facebook hanya mengeluarkan omong kosong karena masih menerima iklan politik, walau berisi informasi yang salah sekalipun.

Salah satu petinggi Facebook, Sheryl Sandberg, mengklaim pihaknya tak perlu menghentikan iklan politik sebab Facebook bersikap transparan. Lewat situs resminya, Mozilla mengumumkan bersama 37 organisasi sipil bahwa pada tahun lalu telah merumuskan seperti apa transparansi iklan yang efektif.

Arsip API (Application Programming Interface) yang dirilis Facebook, kata Mozilla, “hanya memenuhi dua dari minimum lima panduan para pakar” dan ada “daftar panjang bugs serta kelemahan yang membuat API hampir tak berguna”.

4. Penolakan iklan politik oleh Twitter pun dipersoalkan

Perdebatan Sengit Soal Etika Iklan Politik di InternetCalon presiden Amerika Serikat 2020 dari partai Demokrat berpose bersama diatas panggung pada malam debat kandidat presiden AS 2020 Partai Demokrat di Manchester, New Hampshire, Amerika Serikat, pada 7 Februari 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Brian Snyder

Di waktu yang hampir bersamaan, CEO Twitter Jack Dorsey mengumumkan media sosialnya melarang semua jenis iklan politik. Awalnya, banyak yang bersorak. Beberapa saat kemudian, kesadaran soal kompleksitas ranah media sosial muncul.

Tak sedikit yang bertanya apa definisi iklan politik dan bagaimana dengan konten berisi isu tertentu seperti perubahan iklim? Twitter mendefinisikan iklan politik sebagai “konten berisi referensi terhadap kandidat, partai politik, terpilih maupun ditunjuk oleh pemerintah, pemilu, referendum, surat suara, legislasi, regulasi, perintah, maupun hasil yudisial”.

Twitter masih mengizinkan iklan soal isu ekonomi, sosial dan lingkungan, asal tidak menyinggung kandidat atau mendorong kepada hasil politik tertentu.

Niam Yaraghi dari Brookings Institute menilai, ”Mempertimbangkan peran pemerintah dalam masyarakat modern, sulit memisahkan aktivitas pemilihan umum dari advokasi berbasis isu. Layanan kesehatan, pendidikan, bisnis, hiburan dan agama, semuanya bertautan dengan politik.”

5. Pelarangan iklan politik dianggap berdampak negatif kepada kandidat tanpa dana melimpah

Perdebatan Sengit Soal Etika Iklan Politik di InternetBakal calon presiden Amerika Serikat 2020 Demokrat Senator Bernie Sanders dan mantan wakil presiden Joe Biden berpartisipasi dalam debat kepresidenan 2020 Demokrat yang ke-10 di Gaillard Center di Charleston, South Carolina, Amerika Serikat,pada 25 Februari 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Jonathan Ernst

Yaraghi juga melihat keputusan Twitter malah akan merugikan demokrasi itu sendiri.

“Dengan biaya rendah dan presisi tinggi, teknologi target mikro dengan cepat menjadi kebutuhan bisnis dan politik. Ini memungkinkan kandidat dengan kemampuan finansial terbatas untuk menyampaikan pesan mereka kepada audiens spesifik dengan biaya rendah dibandingkan jalur komunikasi konvensional,” tulisnya.

Pendapat Yaraghi ada benarnya. Alexandria Ocasio-Cortez, anggota Kongres Amerika Serikat termuda, menjadi sangat populer berkat media sosial mulai dari Twitter, Facebook hingga Instagram.

Politikus Partai Demokrat dari New York City itu menolak sumbangan dari korporasi dan konglomerat, lalu hanya mengandalkan donasi dari warga sipil. Dengan kemahiran a la millennial dalam bermedia sosial, ia sanggup mengomunikasikan visi dan misinya lewat cara lebih efisien.

6. Monopoli internet membuat iklan politik berada di area abu-abu

Perdebatan Sengit Soal Etika Iklan Politik di InternetPresiden Amerika Serikat Donald Trump mengadakan konferensi pers mengenai wabah virus corona di Gedung Putih di Washington, Amerika Serikat, pada 26 Februari 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Carlos Barria

Apa yang menjadikan iklan politik di Twitter, YouTube, Facebook atau Instagram sebuah perdebatan sengit adalah praktik monopoli. Mark Zuckerberg memiliki Facebook dan Instagram, Google sebagai mesin pencarian nomor satu mempunyai YouTube yang juga adalah platform video nomor satu. Twitter menjadi tempat di mana Donald Trump banyak menghabiskan waktunya.

Data pengguna yang berjumlah miliaran menjadi senjata bagi para raksasa teknologi itu untuk meraup keuntungan, di banyak waktu tanpa sepengetahuan mereka. Ini yang terjadi pada Pilpres Amerika Serikat 2016 ketika Cambridge Analytica menyalahgunakan data pengguna Facebook setelah dibayar oleh tim sukses Donald Trump.

Recode menjelaskan dengan detil bagaimana iklan target mikro ini sukses. Misalnya lewat Google yang memiliki “Customer Match” di mana tim sukses kandidat mencocokkan profil online dengan data pemilih yang mereka punya, kemudian secara spesifik menargetkan iklan politik kepada orang tersebut. Di Facebook, fitur ini bernama “Custom Audiences”.

Dalam praktiknya, pemilih dengan perilaku online yang gemar mengklik konten tentang kepemilikan senjata atau isu imigrasi kemungkinan besar bisa ditarget oleh Partai Republik yang akan menjejalinya dengan informasi (atau disinformasi) yang semakin membuatnya yakin untuk memilih kandidat dari partai itu.

7. Uang dari iklan politik yang mengalir ke Facebook dan Google sangat besar

Perdebatan Sengit Soal Etika Iklan Politik di InternetBakal calon presiden Amerika Serikat 2020 Demokrat Senator Bernie Sanders melambaikan tangan dengan istrinya Jane dalam sebuah reli di Denver, Colorado, Amerika Serikat, pada 16 Februari 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Rick Wilking

Dengan monopoli dan kekuatan sebesar itu dalam memengaruhi keputusan pemilih, tak heran bila banyak yang mempertanyakan apakah etis bagi perusahaan teknologi menerima uang dari iklan politik? Twitter sendiri bukan pemain besar dalam iklan politik.

Dari laporan yang dirilis tahun lalu, Jack Dorsey mengatakan pihaknya hanya menerima kurang dari Rp43 miliar ketika Amerika Serikat melangsungkan Pemilu Sela pada 2018. Kandidat Presiden yang per 2019 paling banyak beriklan di Twitter adalah Kamala Harris. Itu juga hanya sebesar Rp14 juta.

Lain halnya dengan Facebook dan Google. Menurut 2020campaigntracker.com, Donald Trump memuncaki dana iklan politik di Facebook yaitu sebesar Rp225 miliar sejak Januari hingga Oktober 2019.

Tujuh kandidat lainnya juga menggelontorkan dana di platform itu dengan nilai paling rendah yaitu Rp40 miliar. Facebook juga mengungkap kelompok yang berhubungan dengan Rusia beriklan untuk memengaruhi politik Amerika Serikat. Mereka membayar Rp1,4 miliar dan Facebook menerimanya.

Sedangkan dari laporan Google yang dikutip CNBC, komite kampanye Donald Trump adalah pengiklan politik terbesar di mesin pencarian tersebut dengan membayar Rp118 miliar. Di urutan berikutnya adalah kelompok yang mendukung Partai Republik dan masing-masing membayar Rp74 miliar serta Rp59 miliar.

Perdebatan ini takkan usai meski pemerintah di berbagai negara membuat aturan main yang akan membatasi apa yang boleh dan tak boleh dilakukan penguasa internet. Namun, satu yang seharusnya menjadi pedoman, internet adalah ruang publik di mana monopoli, baik dari korporasi maupun pemerintah, semestinya menjadi sesuatu yang diharamkan.

Baca artikel menarik lainnya di IDN App, unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb

Baca Juga: Trump Beli Iklan Kampanye Pilpres di Halaman Depan YouTube

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya