Politik Burkini Prancis: Persatuan Berarti Keseragaman?

Prancis menilai burkini tak sesuai prinsip sekularisme

Paris, IDN Times -  Penutupan dua kolam renang di Grenoble, Prancis, pada Kamis (27/6) menjadi pembicaraan hangat. Ini karena otoritas berwenang Prancis melakukannya usai beberapa perempuan Muslim lokal berenang dengan memakai burkini untuk menentang aturan yang mengharamkan model pakaian tersebut di ruang publik.

Wali kota setempat mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa para penjaga kolam yang meminta tempat itu ditutup beralasan "mereka berada di sana untuk menjaga keamanan dan tak bisa melakukannya ketika mereka harus mengkhawatirkan soal pengunjung". Mereka menyebut burkini melahirkan kekacauan di antara masyarakat.

Ini mengingatkan pada insiden memalukan pada 2016 ketika sejumlah polisi mendatangi seorang perempuan yang berjemur di Pantai Nice. Mereka memaksa perempuan tersebut untuk melepas burkininya di hadapan para pengunjung pantai. Ia mendapatkan denda karena menurut aturan dirinya tidak memakai "pakaian yang menghormati moral dan sekularisme".

1. Prancis melarang perempuan memakai burkini sejak 2016

Politik Burkini Prancis: Persatuan Berarti Keseragaman?unsplash.com/Callum Galloway

Sepotong kain bernama burkini (gabungan burqa dan bikini) itu rupanya bukan sesuatu yang dianggap banal oleh pemerintah Prancis layaknya kostum renang atau berjemur lainnya. Burkini secara spesifik diyakini mengandung makna berbahaya bagi keutuhan bangsa sehingga pada pertengahan 2016 pemerintah Cannes mengeluarkan dekrit untuk melarangnya.

Dikutip dari L'Obs, Wali Kota Cannes saat itu, David Lisnard, menyatakan burkini sebagai "pakaian pantai yang mendemonstrasikan suatu afiliasi keagamaan, di saat Prancis dan tempat-tempat beribadah kini menjadi target serangan teroris, yang sangat mungkin menciptakan risiko gangguan terhadap ketertiban umum yang penting untuk dicegah". Posisi ini diikuti oleh Prancis secara umum.

2. Pelarangan itu mendapatkan tantangan dari kelompok HAM sipil

Politik Burkini Prancis: Persatuan Berarti Keseragaman?IDN Times/Muhammad Arief

Menurut salah satu perkumpulan kolektif melawan Islamofobia di Prancis (CCIF), pelarangan oleh Pemerintah Kota Cannes itu "ilegal, diskriminatif dan tidak konstitusional" sehingga menggugatnya ke pengadilan. Kuasa hukum CCIF, Sefan Guez Guez, berargumen bahwa tidak ada undang-undang di Prancis yang melarang burkini.

Namun, hakim menolak mengabulkan tuntutan CCIF agar pelarangan itu dihapuskan. Pada 2011, pemerintah Prancis mengharamkan siapa pun menggunakan burqa dengan penutup wajah di tempat umum. Keputusan ini juga mendapat afirmasi oleh Pengadilan HAM Uni Eropa tiga tahun setelahnya. Pengadilan membantah langkah Prancis sebagai pelanggaran hak beragama.

3. Prancis menegaskan alasannya ada prinsip sekularisme

Politik Burkini Prancis: Persatuan Berarti Keseragaman?ANTARA FOTO/REUTERS/Piroschka van de Wouw

Di meja hijau, hakim memutuskan menggunakan Pasal 1 dalam konstitusi Prancis yang menyebutkan negara tersebut merupakan "republik sekuler" yang otomatis melarang siapa saja memakai simbol keyakinan beragama mereka untuk menghindari peraturan umum yang mengurusi hubungan antara pemerintah dan individu.

Sekularisme versi Prancis, laïcité, pertama kali diformalkan dalam hukum pada 1905 setelah Paris menolak campur tangan Gereja Katolik Roma dalam urusan pemerintahan. Namun, sekularisme Prancis tak hanya perkara pemisahan agama dan politik. Laïcité tergolong kontradiktif karena memerintahkan negara menghormati kebebasan, tapi di saat bersamaan mengharapkan rakyat menganut nilai yang sama.

Usai insiden Minggu kemarin, Eric Ciotti, politisi sayap kanan Prancis, mengatakan dalam sebuah cuitan bahwa burkini "tak mempunyai tempat di Prancis di mana perempuan sejajar dengan laki-laki". Ciotti, dan banyak politisi Prancis lainnya, percaya bahwa burkini merupakan simbol tekanan dan kekerasan terhadap perempuan.

Dengan logika berpikir ini, mereka otomatis yakin pelarangan burkini sesuai dengan konstitusi Prancis. Apalagi masyarakat Prancis mengklaim patuh pada apa yang mereka sebut sebagai vivre ensemble atau situasi ketika kelompok-kelompok berbeda hidup bersama secara damai dalam masyarakat yang plural.

4. Pencetus burkini tak sepakat dengan klaim Prancis

Politik Burkini Prancis: Persatuan Berarti Keseragaman?IDN Times/Muhammad Arief

Dalam konstitusi Prancis juga disebutkan bahwa pemerintah "wajib memastikan kesetaraan di antara seluruh warga negaranya di hadapan hukum tanpa membedakan asal, ras atau agama". Pemerintah juga dibebani mandat untuk "menghormati semua keyakinan".

Menurut Aheda Zanetti, prinsip-prinsip ini yang ia coba dukung ketika mendesain burkini untuk pertama kalinya pada 2004. Perempuan Muslim Australia tersebut menuliskan kolom di The Guardian begitu Prancis melarang burkini. Zanetti menegaskan keberadaan burkini adalah untuk "memberikan kebebasan kepada perempuan, bukan merampasnya".

Ini kontras dengan anggapan politisi Prancis (mayoritas laki-laki, berkulit putih, dan non-Muslim) yang berkeyakinan teguh bahwa burkini membatasi perempuan atau bahkan merepresentasikan ekstremisme Islam.

"Siapa pun bisa memakainya, Kristen, Yahudi, Hindu. Ini hanya selembar kain yang cocok dipakai orang sederhana, atau seseorang yang punya kanker kulit, atau ibu baru yang tak mau memakai bikin, ini tidak menyimbolkan Islam," tulisnya. Setahun usai pelarangan burkini, Zanetti mengatakan kepada Reuters keputusan Prancis itu justru menguntungkan bisnisnya.

Penjualan burkini Zanetti melonjak dari 200 per bulan menjadi 2.000 dan mayoritas pesanan datang dari Eropa. Sebanyak 40 persen pemesan adalah non-Muslim yang memiliki kanker kulit, perempuan yang ingin melindungi tubuhnya dari paparan sinar matahari, serta ibu-ibu baru yang ingin menutupi garis halus pada badannya. "Ini semua tentang hak perempuan. Ini semua tentang pilihan," tegasnya.

Baca Juga: Kontroversi Larangan Pakai Burkinis di Pantai Perancis Bagi Wanita Muslim

5. Persatuan bagi Prancis berarti memaksakan keseragaman

Politik Burkini Prancis: Persatuan Berarti Keseragaman?unsplash.com/Pierre Herman

Sekularisme Prancis yang ketat mengedepankan persatuan kolektif di atas keinginan individual. Persatuan tersebut dicapai dengan memaksakan keseragaman. Maka tak heran ketika Institut Montaigne menilai laïcité sebagai konsep sekularisme yang intoleran dan sulit dipahami bagi orang luar Prancis.

David Rothkop menulis di Foreign Policy tentang imperialisme budaya sebagai hasil dari penempatan satu nilai, keyakinan, perilaku khusus di atas lainnya yang dianggap lebih inferior. Imperialis mendikte struktur dalam keseluruhan sistem yang menindas kelompok minoritas.

Inilah persatuan yang selama bertahun-tahun ditunjukkan oleh Prancis di mana keberagaman diyakini mengancam persatuan bangsa. Keseragaman yang dibentuk oleh kelompok mayoritas menjadi visi terakhir—bahwa untuk menjadi warga Prancis seutuhnya berarti seluruh individu harus memenuhi prasyarat yang berlaku.

Dalam kasus ini, mereka wajib melucuti identitas personal sebagai Muslim yang ingin berpakaian tertutup tapi masih ingin beraktivitas tanpa batasan sebagaimana warga lainnya. Ini kontradiktif juga terhadap klaim Prancis bahwa negaranya menyetarakan perempuan dan laki-laki.

Pelarangan burkini tak ubahnya cara pemerintah mengontrol apa yang boleh dan tidak boleh dipakai oleh perempuan. Seperti kata Zanetti bahwa burkini memberikan kebebasan kepada perempuan. "Mereka ingin merampasnya? Jadi siapa yang lebih baik, Taliban atau para politisi Prancis? Mereka sama buruknya."

Baca Juga: Pengadilan Tinggi Perancis Tolak Usul Pelarangan Burkini dari Kepala Daerah!

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya