Saat Pandemik COVID-19, Agama dan Sains Bisa Saling Melengkapi

Ajaran agama digabung dengan bukti ilmiah soal virus corona

Jakarta, IDN Times - Salah satu tantangan dalam memutus mata rantai penyebaran virus corona adalah sikap banyak umat beragama yang menolak untuk berhenti beribadah massal. Misalnya di Florida, Amerika Serikat, di mana seorang pastor Rodney Howard-Browne nekad berencana menggelar misa Paskah padahal sudah dilarang oleh pemerintah.

Seperti dilaporkan NBC News, ia menyebut dirinya sebagai korban dari "pemerintah tiran" dan menuding otoritas setempat melanggar kebebasan beragama. Browne kemudian ditangkap polisi karena tidak memedulikan perintah menghentikan kegiatan ibadah massal. Dia sendiri sempat berniat menggugat kepala kepolisian yang memerintahkan penangkapan tersebut.

1. Keinginan beribadah secara beramai-ramai sebaiknya ditahan selama pandemik COVID-19

Saat Pandemik COVID-19, Agama dan Sains Bisa Saling MelengkapiSalat Jumat di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. IDN Times/Tunggul Damarjati

Contoh kasus lainnya adalah seorang camat di Kota Parepare, Sulawesi Selatan dilaporkan sendiri oleh warganya. Ia dituding melakukan penistaan agama karena membubarkan salat Jumat di Masjid Ar-Rahma pada 17 April lalu. Tujuan pembubaran itu adalah untuk menegakkan perintah tidak berkerumun agar masyarakat terhindar dari virus corona.

Dalam diskusi virtual yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) pada Kamis malam (30/4), Imam Besar Masjid Istiqlal Prof KH Nasaruddin Umar menegaskan pada saat pandemik COVID-19, sebaiknya masyarakat beribadah sendiri di rumah. "Yang terbaik adalah beribadah di masjid. Tetapi, menurut fatwa, jangan mengunjungi masjid selama COVID-19," tegasnya.

"Lebih baik tinggal di rumah dan beribadah di rumah bersama keluarga." Nasaruddin menggarisbawahi "menolak bahaya lebih penting daripada mengejar pahala". Dengan kata lain, sia-sia saja memaksakan diri untuk ke masjid dan mengikuti ibadah massal, tapi akhirnya justru mengancam keselamatan sendiri dan keluarga.

Baca Juga: Camat di Parepare Dilapor ke Polisi usai Larang Salat Jumat di Masjid

2. Ajaran agama tidak harus berlawanan dengan bukti ilmiah

Saat Pandemik COVID-19, Agama dan Sains Bisa Saling MelengkapiUntuk mengurangi penyebaran virus corona, pengurus gereja menyiarkan secara daring ibadah Jumat Agung di Gereja Katolik Santa Maria Pekanbaru, Riau, pada 10 April 2020. ANTARA FOTO/Rony Muharrman

Berbagai otoritas kesehatan di seluruh dunia, mulai dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Wabah Amerika Serikat (CDC) hingga Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan soal pentingnya tinggal di rumah selama penyebaran virus corona masih terjadi.

Ini tidak hanya krusial untuk menekan laju virus, tapi juga membantu para petugas medis yang sudah kewalahan menangani pasien. Hingga kini, ada lebih dari tiga juta orang di dunia terinfeksi virus corona. Sebanyak lebih dari 230.000 meninggal dunia. 

Dr. Mohamed Elsanousi, Direktur Eksekutif Network for Religious and Traditional Peacemakers yang bermarkas di Washington DC, menilai ajaran agama tidak mesti bertentangan dengan bukti ilmiah. Di sini peran para pemuka agama sangat penting untuk menyampaikan pesan kepada umat mereka.

"Para pemimpin agama harus mengikuti bukti-bukti ilmiah, pedoman WHO, untuk mengatasi masalah tersebut," ujarnya, dalam diskusi virtual yang dilangsungkan oleh FPCI. Menurutnya, Islam menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, maka orang muslim harus mendengarkan mereka yang memang ahli di bidang masing-masing.

"Kita menghubungkannya [bukti ilmiah] dengan teologi. Dalam tradisi kami sebagai muslim, kami sangat menghormati orang-orang dengan ilmu pengetahuan," tegasnya. Elsanousi melihat perlunya para tokoh religius untuk menuruti apa kata pakar kesehatan dan menyampaikannya kepada umat masing-masing dengan mengaitkan pada nilai-nilai agama agar mudah diterima.

3. Paus Fransiskus meminta umat Katolik agar mematuhi instruksi pemerintah

Saat Pandemik COVID-19, Agama dan Sains Bisa Saling MelengkapiSejumlah umat Hindu mengikuti ritual upacara Caru Antha Septa di kawasan Catur Muka, Denpasar, Bali, pada 29 April 2020. Ritual tersebut dilakukan untuk memohon berakhirnya wabah COVID-19 dan keselamatan masyarakat dunia. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf

Itu juga yang dilakukan oleh pemimpin Gereja Katolik Roma Paus Fransiskus. Saat beberapa uskup Italia memprotes pemerintah karena tak menginformasikan kapan aktivitas ibadah di gereja boleh dilakukan kembali, Paus Fransiskus mencoba menengahi dengan meminta semua umat Katolik bersikap "bijaksana dan patuh" kepada aturan yang ada.

"Saat kita mulai memiliki protokol untuk keluar dari karantina, mari kita berdoa agar Tuhan memberikan umatnya, kita semua, rahmat berupa kebijaksanaan dan kepatuhan terhadap protokol-protokol tersebut supaya pandemik tidak kembali," kata Paus Fransiskus, seperti dikutip AP.

Pemerintah Italia sendiri berencana untuk perlahan melonggarkan lockdown nasional yang dimulai pada awal Maret lalu. Meski kemungkinan besar beberapa bisnis dan agenda olahraga akan diizinkan kembali mulai 4 Mei mendatang, tapi Perdana Menteri Giuseppe Conte belum mengungkap kapan umat Katolik bisa mengikuti misa di gereja lagi.

Baca Juga: Dubes RI: Eksodus Jadi Penyebab Kasus COVID-19 Melonjak di Italia 

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya