Selain Amerika Serikat, Tiga Negara Ini Resah atas Propaganda Rusia

Perang informasi semakin mudah karena media sosial

Jakarta, IDN Times - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang penggunaan propaganda Rusia oleh tim sukses tertentu menuai polemik. Pihak Badan Pemenangan Nasional (BPN) selaku tim kampanye pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno membantah hal itu.

Propaganda dimaknai sebagai penggunaan informasi yang sangat selektif dan menipu untuk tujuan membujuk target dan membangkitkan respons emosional, bukan rasional. Mediumnya bisa beragam, termasuk internet. Global Risk Report 2019 memasukkan serangan siber seperti ini ke dalam salah satu bentuk ancaman.

Sementara itu, setidaknya ada tiga negara lain (selain Amerika Serikat) yang resah sebab kehadiran perang informasi yang disebut berpusat di Kremlin itu sangat terasa. Ketiga negara itu adalah Ukraina, Finlandia dan Filipina.

1. Propaganda Rusia awalnya mencuat saat dan pasca Pilpres AS 2016

Selain Amerika Serikat, Tiga Negara Ini Resah atas Propaganda RusiaANTARA FOTO/REUTERS/Carlos Barria

Pengetahuan publik secara umum tentang penyebaran disinformasi oleh Rusia dimulai dari Pilpres Amerika Serikat pada 2016 lalu. Salah satunya diungkap oleh Young Mie Kim, seorang profesor Ilmu Jurnalistik di University of Wisconsin-Madison.

Dalam wawancara dengan Wired, Kim menjelaskan ia mulai menelusuri iklan-iklan politik di Facebook sejak kampanye Pilpres. Kim dan rekan-rekannya menemukan 122 grup mencurigakan yang membeli iklan politik dengan isu sensitif seperti imigrasi dan hak LGBT di Facebook.

Setahun kemudian, House Intelligence Committee--komite DPR Amerika Serikat yang menginvestigasi dugaan intervensi Rusia terhadap Pilpres 2016--merilis daftar grup yang berhubungan dengan Internet Research Agency (IRA).

Daftar itu diserahkan oleh Facebook yang tengah mendapatkan sorotan karena dianggap abai dalam mengatasi penyebaran hoaks. Kim mencocokkan datanya dengan daftar itu. Ia menemukan satu dari enam grup mencurigakan yang didatanya berkaitan dengan IRA.

2. Internet Research Agency merupakan pabrik troll online yang bermarkas di St. Petersburg, Rusia

Selain Amerika Serikat, Tiga Negara Ini Resah atas Propaganda RusiaANTARA FOTO/Sputnik/Alexei Nikolsky/Kremlin via REUTERS

Bagi para pengamat komunikasi siber, nama IRA tidak asing lagi. Pakar seperti Darren L. Linvill dan Patrick L. Warren mempublikasikan hasil riset mereka tentang pabrik troll asal St. Petersburg itu di situs resmi European Centre for Press and Media Freedom pada pertengahan 2018 lalu.

Dalam jurnal berjudul Troll Factories: The Internet Research Agency and State-Sponsored Agenda Building, keduanya membedah apa yang dilakukan IRA. Memakai hampir 4000 username Twitter yang dirilis House Intelligence Committee karena berasosiasi dengan IRA, Linvill dan Warren mengumpulkan jutaan cuitan dari akun-akun itu.

Mereka mengidentifikasi dan membagi ke dalam lima kategori. Misalnya, ada troll yang aktif menyebarkan isu-isu sayap kanan dan mendukung pencalonan Trump. Ada juga troll yang khusus memecah-belah pendukung Hillary Clinton dan Bernie Sanders di mana keduanya berasal dari Demokrat.

Berikutnya adalah akun-akun yang berpura-pura sebagai agregator berita asal Amerika Serikat. Kategori selanjutnya adalah akun yang spesifik berperang tagar. Terakhir adalah akun yang menyebarkan ketakutan. Semua dilakukan secara sistematis dan terorganisir. Linvill dan Warren menyebutnya "peperangan politik yang terindustrialisasi".

Baca Juga: Jokowi Sindir Soal Politik Propaganda Rusia, Ini Jawaban Prabowo

3. Ukraina sudah pernah merasakan jadi target propaganda Rusia

Selain Amerika Serikat, Tiga Negara Ini Resah atas Propaganda RusiaANTARA FOTO/Sputnik/Ekaterina Shtukina/Pool via REUTERS

Tak hanya Amerika Serikat, Ukraina pun tak luput dari propaganda Rusia. Jolanta Darczewska, seorang analis politik dari Polandia, menerangkan apa yang dilakukan Rusia adalah spetspropaganda atau propaganda khusus. Ini jadi mata pelajaran di Russian Military Institute of Foreign Languages pada akhir Perang Dunia II.

Laporan Chatham House berjudul Civil Society Under Russia’s Threat: Building Resilience in Ukraine, Belarus and Moldova menjabarkan bagaimana upaya Kremlin untuk memengaruhi politik domestik Ukraina sejak peristiwa Euromaidan pada 2013.

Saat itu, ratusan ribu rakyat Ukraina ingin negaranya bergabung dengan Uni Eropa. Rusia menghalangi itu dengan menyebarkan propaganda, misalnya, tentang identitas Ukraina sebagai pecahan Uni Soviet dan bagaimana negara itu bergantung kepada Kremlin.

Propaganda semakin menjadi ketika pecah konflik Ukraina dan Rusia menganeksasi Crimea. Moscow mengklaim kehadiran militernya adalah untuk melindungi warga Rusia di wilayah itu. Karena geram dengan propaganda itu, Ukraina membubarkan 460 organisasi mulai dari LSM yang didanai Rusia hingga stasiun televisi pro-Kremlin.

4. IRA juga terindikasi melakukan infiltrasi ke media sosial warga Filipina

Selain Amerika Serikat, Tiga Negara Ini Resah atas Propaganda Rusiaunsplash.com/Dlanor S

Kehadiran IRA juga dirasakan di Asia Tenggara. Pada pertengahan Januari lalu, Rappler Filipina mempublikasikan "kaitan antara ekosistem disinformasi di Filipina dan Internet Research Agency (IRA) yang berbasis di St. Petersburg, sebuah pabrik troll yang disponsori negara".

Salah satu temuannya adalah nama Adam Garrie yang disebut sebagai "pakar geopolitik". Garrie tak hanya menulis untuk sejumlah situs penyebar klaim tak benar, tapi komentarnya juga dikutip oleh media-media yang berhubungan dengan Iran dan Rusia. Misalnya, RT atau Russia Today yang didanai oleh Kremlin.

Rappler menemukan Garrie pertama kali menulis untuk situs The Daily Sentry yang dibuat pada 2018 tanpa diketahui siapa pemiliknya. Media pro-Duterte, The Manila Times yang bosnya adalah oleh orang kepercayaan si presiden, juga mengutip pernyataan Garrie.

Ketika Facebook menghapus sejumlah akun penyebar hoaks pada Januari, Rappler menghubungi perwakilan platform tersebut untuk mengonfirmasi bahwa The Daily Sentry termasuk salah satunya.

5. Pejabat Finlandia lebih percaya diri terhadap serangan disinformasi dari Rusia

Selain Amerika Serikat, Tiga Negara Ini Resah atas Propaganda Rusiaunsplash.com/Con Karampelas

Tak seperti Filipina yang pemerintahnya terindikasi justru terlibat penyebaran propaganda Rusia, pejabat-pejabat Finlandia malah mencoba memberantasnya dengan tenang. Jesikka Aro, jurnalis Finlandia yang sejak 2014 menyelidiki troll pro-Rusia, mengatakan salah satu alasan Putin menyerang negaranya adalah karena kedekatan Finlandia dengan NATO.

Cara tradisional yang dipakai Rusia adalah dengan merilis situs media, Sputnik, yang menyasar warga di Finlandia, Swedia, Norwedia dan Denmark. Dengan menggunakan bahasa nasional masing-masing negara target, Sputnik menyebut beritanya bersifat alternatif.

"Faktanya, ini biasanya berarti 'pro-Rusia, 'mengandung teori konspirasi' dan 'anti-Barat. Artikel yang kritis terhadap rezim Putin tak pernah dipublikasi," tulis Aro dalam jurnalnya, The Cyberspace War: Propaganda and Trolling as Warfare Tools. Karena tak laku, setahun kemudian, Sputnik menutup situsnya.

"Hal ini sangat nyata. Senyata perang sesungguhnya. Tapi, warga Finlandia sangat cepat dalam menyadarinya dan segera keluar dari masalah tersebut," kata Jed Willard yang pernah direkrut pemerintah Finlandia untuk membantu mengidentifikasi disinformasi kepada Foreign Policy.

Imunitas warga Finlandia dilatar belakangi oleh pendidikan. Markku Mantila, salah satu pejabat tinggi, mengatakan,"Tak ada yang merugikan publik sejauh ini. Orang Finlandia sangat berpendidikan tinggi, dan karena itu, kami sangat tangguh melawan upaya-upaya tersebut."

Baca Juga: Media AS: Bungkam Pengkritik, Arab Saudi "Ternak" Pasukan Troll Online

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya