Situasi Tak Menentu, Warga Hong Kong Berniat Hijrah ke Luar Negeri

Mereka khawatir dengan sikap Cina yang anti-demokrasi

Hong Kong, IDN Times - Semakin banyak warga Hong Kong yang tidak puas dengan situasi di daerah mereka dan berniat untuk pindah ke luar negeri. Alasannya pun beragam. Namun, yang paling membuat mereka resah adalah sikap pemerintah Cina. Sejak diserahkan oleh Inggris pada 1997, Beijing menerapkan "one country, two systems" kepada Hong Kong.

Pulau tersebut mendapatkan status wilayah administrasi khusus dari pemimpin Cina kala itu, Jiang Zemin. Hong Kong meneruskan sistem kapitalisnya dan dijanjikan untuk bisa memilih pemimpinnya sendiri. Akan tetapi, lebih dari dua dekade berselang, warga Hong Kong masih belum bisa menggunakan hak pilihnya karena pemimpin eksekutif ditentukan oleh Komite Pemilihan yang ditengarai mendapat pengaruh dari Beijing.

Baca Juga: "One Country, Two Systems" Jadi Alasan Hong Kong Beda dengan Cina

1. Jumlah warga usia produktif yang ingin meninggalkan Hong Kong kian banyak

Situasi Tak Menentu, Warga Hong Kong Berniat Hijrah ke Luar NegeriANTARA FOTO/REUTERS/Tyrone Siu

Berdasarkan sebuah survei yang dilakukan oleh Universitas Cina di Hong Kong pada 2018, sebanyak 34 persen warga Hong Kong mengaku ingin hijrah ke luar negeri jika memiliki kesempatan. Dilansir dari Asian Nikkei, jumlah ini meningkat sebanyak 5,5 persen dibandingkan setahun sebelumnya.

Kemudian, 16,2 persen berkata tak hanya sekadar niat, melainkan sudah membuat rencana untuk pindah. Sebanyak 51 persen di antaranya berusia produktif yaitu mulai dari 18 hingga 30 tahun. Dari angka itu, 47,9 persen sudah mengantongi gelar sarjana.

2. Situasi politik jadi alasan utama

Situasi Tak Menentu, Warga Hong Kong Berniat Hijrah ke Luar NegeriANTARA FOTO/REUTERS/Athit Perawongmetha

Salah satu alasan utama mengapa mereka ingin tinggal di luar negeri berkaitan dengan situasi politik di Hong Kong. Setidaknya sejak 2012, Hong Kong kerap diwarnai oleh demonstrasi besar-besaran untuk melawan kebijakan pemerintah yang diyakini sangat kental dengan pengaruh Cina.

Menurut survei yang sama, sebanyak 25,7 persen warga mengaku terlalu banyak pertikaian politik di Hong Kong sehingga membuat mereka merasa tidak aman. Lalu, ada 17,4 persen warga yang menganggap sistem politik di Hong Kong tak demokratis sehingga memengaruhi keleluasaan mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Sebanyak 14,9 persen mengaku tidak puas terhadap pemerintah di Beijing. Kemudian, alasan-alasan lainnya adalah semakin tingginya tingkat kepadatan penduduk dan meroketnya biaya hidup serta harga properti-properti yang bersifat fundamental seperti tempat tinggal pribadi. 

3. Demonstrasi terkini kian meyakinkan warga untuk hengkang

Situasi Tak Menentu, Warga Hong Kong Berniat Hijrah ke Luar NegeriANTARA FOTO/REUTERS/Tyrone Siu

Walau ratusan ribu hingga jutaan warga Hong Kong turun ke jalan dalam demonstrasi berskala masif sepanjang dua minggu terakhir, rupanya tak sedikit juga yang mengaku lebih baik pindah ke negara lain daripada tetap tinggal. Salah satunya adalah Edward. Ia menolak menyebutkan nama keluarganya untuk alasan keamanan.

Laki-laki 23 tahun itu berkata kepada AFP bahwa ia sedang berpikiran untuk pindah ke Australia dalam beberapa tahun ke depan. Edward yang kini menuntut ilmu di Taipei merasa tak ada jaminan kebebasan di Hong Kong karena hingga saat ini pemerintahan yang dipimpin Carrie Lam tidak membatalkan RUU Ekstradisi.

Jika lolos, Beijing bisa meminta Hong Kong untuk mengirim individu yang dianggap melanggar hukum ke Cina. "Hukum ekstradisi Cina membuatku mempercepat rencanaku untuk pindah," tuturnya.

4. Terjadi lonjakan permintaan layanan konsultasi imigrasi di Hong Kong

Situasi Tak Menentu, Warga Hong Kong Berniat Hijrah ke Luar NegeriANTARA FOTO/REUTERS/Tyrone Siu

Sinyal bahwa semakin banyak warga Hong Kong yang ingin menetap di luar negeri bisa juga dilihat dari melonjaknya klien agensi penyedia layanan konsultasi imigrasi di pulau itu. Misalnya, seperti pengakuan Willis Fu dari Goldmax yang dikutip oleh The Guardian. Tahun ini perusahaannya menerima pertanyaan mengenai kepindahan ke luar negeri dua kali lebih banyak dibanding tahun 2018.

Selain itu, jumlah formulir asesmen yang diberikan warga kepada Goldmax biasanya adalah sekitar 30 sampai 40 per minggu pada Maret dan April. Ini kemudian melonjak sampai 70 per pekan pada Juni ketika demonstrasi berlangsung. Formulir itu sendiri menjadi ukuran seberapa serius seseorang untuk hijrah ke negara lain.

5. Lonjakan juga terjadi pada dua momentum besar sebelumnya

Situasi Tak Menentu, Warga Hong Kong Berniat Hijrah ke Luar NegeriANTARA FOTO/REUTERS/Athit Perawongmetha

Faktor finansial memang tidak bisa disepelekan ketika membicarakan alasan mengapa warga Hong Kong tidak betah tinggal di kotanya. Hanya saja, alasan politik kian jelas ketika mendengar pengakuan John Hu, seorang laki-laki yang berprofesi sebagai seorang konsultan migrasi.

Level emigrasi, kata Hu kepada AFP, melonjak pada dua momen sebelumnya. Pertama, menjelang penyerahan Hong Kong dari Kerajaan Inggris ke Cina pada 1997. Kedua, setelah Gerakan Payung (Umbrella Movement) menemui kegagalannya pada 2014. RUU Ekstradisi akhirnya menyebabkan terjadinya "gelombang ketiga".

Salah satu tokoh demonstrasi Hong Kong, Joshua Wong yang berusia 22 tahun, mengungkap rencananya untuk melakukan demonstrasi pada Rabu (26/6) menjelang pertemuan G20 di Osaka, Jepang. Cina sendiri menegaskan bahwa Hong Kong adalah "masalah internal" dan "tidak boleh ada negara lain yang berhak mengintervensi".

Melalui Twitter, Wong mencuitkan,"Saya mengajak masyarakat untuk bergabung dalam protes yang diorganisir oleh Front Hak Asasi Manusia Sipil pada Rabu ini menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Osaka, untuk mendorong Beijing agar memperlunak pendiriannya dan mencabut amandemen terhadap Hukum Penyerahan Pelanggar Tindak Pidana di Hong Kong."

Baca Juga: Cina Tolak Bahas Masalah Hong Kong pada Pertemuan G20

Topik:

Berita Terkini Lainnya