Tempat-Tempat ‘Tak Lazim’ untuk Suarakan Konflik Israel-Palestina 

Dari stadion bola hingga panggung musik jadi ajang aktivisme

Tel Aviv, IDN Times - Bagi musisi internasional, tampil atau tidak tampil di Israel adalah sesuatu yang cukup berisiko. Sebut saja penyanyi asal Selandia Baru, Lorde, yang pada musim panas tahun lalu semestinya melakoni konser di Tel Aviv. Ini melahirkan protes dari banyak kalangan, tak terkecuali para penggemarnya di Negeri Kiwi.

Penyanyi yang terkenal dengan lagu "Royals" tersebut akhirnya membatalkan konsernya. Keputuskan ini pun berakhir dengan kontroversi. Pengadilan Israel menuntut penggemar Lorde yang menulis surat kepadanya untuk mengurungkan konser itu denda sebesar USD 11.700 atau sekitar Rp169 juta atas kerugian artistik yang diakibatkan.

1. Madonna baru saja menciptakan kontroversinya sendiri di Tel Aviv

Jika Lorde pilih membatalkan konsernya di Israel, lain halnya dengan megabintang Madonna. Pada Sabtu malam (18/5), perempuan 60 tahun tersebut tampil di acara kontes menyanyi Eurovision yang digelar di Tel Aviv. Ia tak hanya membawakan lagu hitsnya seperti Like A Prayer, tapi juga menyampaikan pesan politik.

Berduet dengan rapper Amerika Serikat, Quavo, Madonna menyanyikan lagu barunya yang berjudul "Future". Di bagian akhir, dua penari muncul dengan masing-masing memakai bendera Israel dan Palestina pada bagian belakang baju mereka. Aksi ini ditambah dramatis ketika mendengar lirik lagunya:

"Not everyone is coming to the future / Not everyone is learning from the past… Come give hope / Come give life / Only get one, so we gotta live it right… Come make peace."

Intinya adalah bahwa hidup hanya sekali sehingga sekarang saatnya menjalaninya dengan benar dengan menciptakan perdamaian. Madonna dan Quavo pun mengakhiri penampilan dengan menghilang di bagian belakang panggung. Setelahnya, muncul tulisan "Wake Up" di layar yang berarti "Bangun".

Baca Juga: Menlu Retno: Pemukiman Ilegal Israel di Palestina Harus Dihentikan

2. Grup BDS Spanyol memprotes diundangnya rapper Yahudi ke sebuah festival musik

Tempat-Tempat ‘Tak Lazim’ untuk Suarakan Konflik Israel-Palestina instagram.com/matisyahu

Menteri Kebudayaan Israel Miri Regev pun bersuara usai Madonna tampil. Dilansir dari The Guardian, ia mengkritik dikibarkannya bendera Palestina di ajang Eurovision. "Itu adalah sebuah kesalahan. Politik dan acara budaya tak seharusnya dicampur-campur, dengan segala hormat kepada Madonna," ucapnya.

Sementara itu, pada 2015, seorang musisi Yahudi asal Israel bernama Matisyahu pernah batal tampil di Festival Rototom SunSplash, Spanyol. Panitia menghapus namanya dari daftar bintang tamu atas desakan kelompok Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) yang pro-Palestina.

Ini karena mereka menilai Matisyahu sebagai orang yang mendukung pendudukan Israel di Palestina. Matisyahu sendiri menolak menegaskan posisinya dalam konflik ini kepada panitia.

Namun, tak lama kemudian, Rototom SunSplash menganulir keputusan tersebut dan akhirnya Matisyahu tetap tampil. Saat di atas panggung, ia tak bisa menghindar dari pemandangan sekelompok orang di barisan penonton yang mengibarkan bendera Palestina.

3. Pendukung Celtic juga turut menyuarakan soal konflik Israel-Palestina

https://www.youtube.com/embed/-W2yoALo9OE

Penggemar sepak bola tak ketinggalan menunjukkan dukungan mereka terhadap Palestina. Contohnya adalah fans klub Skotlandia, Celtic, ketika menghadapi tim Israel, Hapoel Be'er Sheva ketika melakoni babak kualifikasi Liga Champions pada 17 Agustus 2016.

Beberapa waktu sebelum pengumuman bahwa mereka akan menjamu Hapoel di Parkhead, sejumlah anggota Green Brigade berniat menjadikan pertandingan itu sebagai ajang protes damai. Hasilnya adalah sekitar 100 suporter mengibarkan bendera Palestina. Salah satu politisi top Israel Michael Oren mengatakan kepada Herald Scotland bahwa aksi itu "menyedihkan".

Badan sepak bola Eropa sendiri punya aturan soal ini. Mereka melarang "gestur, kalimat, benda, atau hal apapun yang bisa menjadi penyalur pesan yang tak tepat untuk sebuah acara olahraga, khususnya pesan yang bersifat politis, ideologis, relijious, menyinggung atau provokatif".

Karena regulasi tersebut UEFA pun menjatuhkan denda kepada Celtic sebesar kurang lebih Rp158 juta. Sedangkan para fans yang mengibarkan bendera Palestina dikenai denda sebesar Rp161 juta.

Itu bukan kali pertama Celtic dihukum. Pada 2014, fans Celtic harus membayar Rp294 juta kepada UEFA karena aksi yang sama, namun saat menyambangi KR Reykjavik di Islandia saat kualifikasi Liga Champions.

Tempat-Tempat ‘Tak Lazim’ untuk Suarakan Konflik Israel-Palestina IDN Times/Sukma Shakti

4. Fans Persis Solo pernah memeragakan koreografi bendera Palestina

https://www.youtube.com/embed/nPaw4jqM6Uo

Kedekatan emosional dengan Palestina pun dirasakan oleh fans Persis Solo. Saat pertandingan uji coba timnas Indonesia kontra Malaysia di stadion Manahan Solo pada 6 September 2016, ratusan Pasoepati memperlihatkan koreografi bertuliskan "GARUDA" yang kemudian berganti gambar bendera Palestina.

Pasoepati sendiri menolak apa yang terjadi ini dikaitkan dengan politik. Menurut mereka, apa yang ditunjukkan ini adalah soal solidaritas kepada warga Palestina dan sudah semestinya ada dalam sepak bola. Artinya, menyuarakan suatu sikap empati kepada orang-orang yang terpisah jarak ratusan ribu kilometer pun bisa dilakukan dari dalam stadion.

5. Aktivisme di panggung musik dan stadion bola berpotensi menarik perhatian yang lebih besar

Tempat-Tempat ‘Tak Lazim’ untuk Suarakan Konflik Israel-Palestina instagram.com/ultras_celtic_

John Gerdy, eksekutif direktur organisasi non-profit Music For Everyone, menilai musik punya keunggulan sebagai medium menyampaikan pesan sosial dan politik. "Ketika orang-orang dari ras, bahasa dan budaya yang berbeda bisa berbagi dan menikmati musik bersama, ini membuka kemungkinan untuk menjembatani jurang budaya," tulis Gerdy di blog pribadinya.

Ini juga menunjukkan bahwa musisi tidak hanya sekadar peduli pada uang dan popularitas. Begitu juga dengan fans sepak bola yang tidak melulu jadi konsumen pasif seperti yang pernah diingatkan oleh Anthony King dalam bukunya The End of the Terraces: The Transformation of English Football in the 1990s.

Ia melihat "kepentingan kapitalis semakin punya pengaruh politik dan ekonomi atas individu yang kian bergeser dari identitas sebagai warga negara menjadi sekadar konsumen suatu korporasi". Green Brigade dan Pasoepati merupakan bukti keadaan sebaliknya.

Green Brigade sendiri menyatakan dalam rilis bahwa pengibaran bendera Palestina didasari oleh kesadaran soal "dampak positif solidaritas internasional terhadap mereka yang tinggal di penjara terbuka di Wilayah Pendudukan". Dengan kata lain, setidaknya dari tempat tak lazim itu orang-orang yang menghadapi ketidakadilan tahu mereka tidak sendirian.

Baca Juga: OKI Akui Yerusalem Timur sebagai Ibu Kota Palestina

Topik:

  • Dwi Agustiar
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya