Virus Corona Jadi Ujian Politik dan Diplomatik Tiongkok 

Mengingatkan pada Uni Soviet saat bencana Chernobyl

Jakarta, IDN Times - Membaca kembali alur waktu menyeruaknya wabah penyakit virus corona tipe baru atau Covid-19 di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok, mengingatkan pada bencana nuklir Chernobyl yang terjadi pada 26 April 1986. Beberapa saat setelah reaktor nuklir meledak, regu pemadam kebakaran berusaha memadamkan api, tanpa perlengkapan yang melindungi dari paparan radiasi.

Dalam kurang lebih 24 jam, warga masih tidak tahu apa yang mereka sedang hadapi sehingga kehidupan berjalan seperti biasa. Selama setidaknya dua hari, Uni Soviet bungkam soal insiden berbahaya itu. Usai dipaksa berbicara oleh Eropa, Kremlin mengakui ada kecelakaan di salah satu reaktor nuklirnya.

Namun, ketika bencana bersiap menerkam, pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev tetap mengizinkan parade Hari Buruh di Moscow dan Kiev. Ini untuk mengesankan bahwa tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Dalam beberapa bulan pertama, puluhan orang tewas. Studi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2005 menyebut, hingga 9.000 orang meninggal dunia karena kanker yang diakibatkan radiasi Chernobyl.

1. Tiongkok menyepelekan level risiko virus corona

Virus Corona Jadi Ujian Politik dan Diplomatik Tiongkok Presiden Tiongkok Xi Jinping mengikuti upacara sambutan di Balai Agung Rakyat, di Beijing, Tiongkok, pada 25 Oktober 2019. (ANTARA FOTO/REUTERS/Jason Lee)

Chernobyl jadi bencana nuklir terburuk sepanjang sejarah, dan dunia mengingat upaya Uni Soviet untuk menutupi tragedi itu. Bukan hanya supaya menjaga citra negara kuat di tengah Perang Dingin dengan Barat, tapi juga disinyalir karena Moscow memang tak menilai situasi tersebut berbahaya.

Keadaan yang mirip terjadi di Wuhan pada minggu-minggu awal Januari 2020 setelah wabah virus corona menyebar. Ada sejumlah agenda besar yang tetap diselenggarakan di kota itu, mulai dari pertemuan Kongres Rakyat ke-14, makan bersama untuk merayakan Tahun Baru yang dihadiri lebih dari 40.000 keluarga, sampai pembagian 200.000 tiket wisata gratis ke Wuhan.

Pakar senior penyakit menular Tiongkok, Xu Jianguo, mengatakan kepada koran Hong Kong pada 5 Januari bahwa tidak ada bukti virus bisa bertransmisi antar manusia. Pada 12 Januari, organisasi kesehatan dunia (WHO) mengulangi pernyataan Xu. Saat itu, sudah ada satu pasien meninggal dan 41 kasus yang dikonfirmasi.

WHO pun dicurigai mengikuti kemauan Tiongkok, karena organisasi itu sangat mengandalkan sokongan dana Beijing. Usai menilai “agak terlalu dini” untuk mengumumkan status darurat global, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus bertemu Presiden Xi Jinping di Beijing. Mantan politikus Ethiopia itu memuji Tiongkok yang ia sebut “transparan” dan “serius” dalam menangani wabah.

2. Xi sempat menghilang seperti ditelan bumi

Virus Corona Jadi Ujian Politik dan Diplomatik Tiongkok Seorang pekerja menggunakan jas hujan plastik dengan masker wajah dan kacamata pelindung saat menyortir uang kertas yuan di sebuah bank, di tengah merebaknya wabah virus corona di negara tersebut, di Taiyuan, provinsi Shanxi, Tiongkok, pada 24 Februari 2020. ANTARA FOTO/cnsphoto via REUTERS

Xi butuh waktu lama untuk tampil di depan publik. Ini tidak lazim mengingat ia adalah orang nomor satu di Tiongkok yang dinilai hampir sama kuatnya dengan Mao Zedong, dan kebutuhan untuk selalu muncul di media adalah hal yang lumrah.

Baru pada 20 Januari, saat ada tiga pasien meninggal dan Wuhan mencatatkan 201 kasus, Xi hadir memberikan pernyataan resmi. Pada hari itu juga, Tiongkok mengumumkan virus corona bisa bertransmisi antar manusia.

“Wabah virus corona baru yang terjadi di Wuhan dan beberapa tempat lainnya harus ditanggapi serius,” kata Xi, seperti dikutip Associated Press.

Ironisnya, saat berpidato di acara Dewan Negara di Beijing pada tiga hari setelahnya, Xi sama sekali tak menyinggung soal virus mematikan itu. Padahal, WHO melaporkan ada 571 kasus di Tiongkok, dan sisanya di Jepang, Thailand, Amerika Serikat, serta Korea Selatan. Semua baru kembali dari Wuhan. Pada saat yang sama, ada 17 pasien tewas di Provinsi Hubei.

Xi justru memberikan panggung kepada orang nomor dua, yaitu Premier Li Keqiang, untuk memimpin tanggap darurat. Pada 27 Januari, ia jadi pejabat top pertama yang mengunjungi Wuhan.

Ini terjadi di tengah tuduhan bahwa pemerintah setempat lamban dalam merespons wabah virus corona. Media-media Barat mengutip sejumlah warga yang mengaku rumah sakit kewalahan menerima pasien, hingga ada pembiaran saat pemeriksaan kesehatan.

3. Persepsi terhadap Xi memburuk dalam penanganan virus corona

Virus Corona Jadi Ujian Politik dan Diplomatik Tiongkok Seorang pria memakai masker pelindung mengendarai sepeda di jalan utama di Wuhan, pusat terjadinya penularan virus corona baru, provinsi Hubei, Tiongkok, pada 20 Februari 2020. (ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer)

Bagi pemimpin bertangan besi, opini publik adalah hal yang krusial, terutama dari dunia internasional. Pada saat krisis, Xi ingin menunjukkan Tiongkok menguasai situasi. Tetapi, caranya memunculkan keraguan.

Pada 15 Februari, Beijing merilis transkrip pertemuan antara Xi dengan anggota Komite Tetap Biro Politik (Politburo) yang berlangsung pada 7 Januari melalui Xinhua. Komite itu merupakan badan pembuat keputusan tertinggi di Tiongkok.

Rapat mereka biasanya berjalan tertutup. Publikasi transkrip pun dipandang dengan rasa skeptis. Dalam rapat, Xi memberi pengarahan langsung terkait respons terhadap virus corona. Namun, seperti yang ditulis sebelumnya, sejak 7 Januari sampai saat Xi tampil di depan publik, hampir tidak ada alarm waspada yang berbunyi.

Pemeriksaan penumpang di Bandara Wuhan baru dilakukan pada 14 Januari. Sedangkan, Kota Wuhan baru diputuskan ditutup dan penduduk menjalani karantina pada 23 Januari, sesuai persetujuan Xi. Agenda partai dan publik juga masih berjalan. Dua pertanyaan pun muncul.

Pertama, apakah Xi, pemimpin yang selama ini dianggap paling tahu segala hal di Tiongkok, tidak paham situasi sebenarnya sampai terlambat bertindak? Atau kedua, sejak awal dia tahu tentang wabah virus corona, tapi memilih menyepelekan? Keduanya sama-sama membuat Xi tampak tidak kompeten.

Baca Juga: Turki dan Pakistan Tutup Perbatasan dengan Iran karena Virus Corona

4. Xi mencoba memulihkan nama baiknya dengan memecat pejabat daerah

Virus Corona Jadi Ujian Politik dan Diplomatik Tiongkok Warga menggunakan masker dan kacamata pelindung saat berjalan di jalan sempit dekat trotoar Qianmen, akibat mewabahnya virus corona di negara tersebut, di Beijing, Tiongkok, pada 18 Februari 2020. (ANTARA FOTO/REUTERS/Tingshu Wang)

Citra pemerintah Tiongkok kian tercoreng setelah Li Wenliang meninggal akibat virus corona pada 7 Februari. Li merupakan salah satu dokter yang pertama kali memberitahu soal virus corona pertama kali pada 30 Desember. Aparat justru menuduh dia menyebarkan hoaks dan memintanya mengakui telah membuat pernyataan keliru.

Kematian Li membuat publik Tiongkok yang tidak puas dengan pemerintah selama penyebaran virus semakin geram. Percakapan soal Li yang dianggap pahlawan sempat menjadi trending topic di media sosial populer Tiongkok, Weibo, pada malam ia meninggal. Warganet menuntut adanya kebebasan berbicara, apalagi saat krisis penyakit menular terjadi.

Reaksi publik ini adalah hal langka di Tiongkok. Untuk mengesankan Beijing melakukan yang terbaik, Xi memecat empat pejabat di Provinsi Hubei. Beberapa lainnya mendapatkan peringatan atau posisi mereka diturunkan. Namun, pakar melihatnya sebagai cara Xi untuk mencari kambing hitam.

“Jika situasinya membaik, dia [Xi] akan mengambil pujian. Jika memburuk, kesalahan akan diletakkan kepada Li Keqiang,” kata Willy Lam, profesor di Universitas Tiongkok di Hong Kong, kepada The Guardian. Dalam wawancara dengan media pemerintah CCTV pada akhir Januari, Wali Kota Wuhan Zhou Xianwang mengaku pihaknya memang tidak sigap.

“Kami tidak memberikan informasi secara tepat waktu dan tak menggunakan informasi yang efektif, untuk meningkatkan kerja kami,” kata Zhou. Tetapi, ia memberi sinyal tak mau disalahkan sendirian. “Saya harap publik mengerti ini adalah penyakit menular dan informasi yang relevan harus diberikan sesuai dengan aturan,” lanjut dia.

Zhou mengindikasikan semua informasi harus mendapat persetujuan dari pemerintah pusat, yang tak lain adalah Xi. Dia menuturkan, “Sebagai pemerintah lokal, kami hanya bisa memberikan informasi setelah mendapatkan izin.” Dengan kata lain, Xi sulit mengelak dari tudingan bahwa ia adalah orang yang paling harus bertanggung jawab.

5. Penyensoran informasi oleh pemerintah memaksa warga memutar otak

Virus Corona Jadi Ujian Politik dan Diplomatik Tiongkok Infografis linimasa penyebaran virus corona atau COVID-19. (IDN Times/Arief Rahmat)

Kematian Li membuat publik semakin menyoroti sikap represif Beijing terhadap kritik. Salah satunya menyatakan kepada The New York Times ada ratusan orang yang membangkang dengan membuat arsip berisi foto, video, dan informasi virus corona yang diunggah warganet, kemudian dihapus pemerintah.

“Kami tak tahu apa informasi dan kapan otoritas akan menyensornya, jadi kami berusaha lebih cepat dari mereka,” ujar seorang warga dalam kondisi anonim karena alasan keamanan. Video amatir yang mereka simpan di Github, misalnya, memperlihatkan warga frustrasi karena kotanya ditutup. Video lain menunjukkan warga berdesak-desakan di dalam rumah sakit.

Sementara, melalui konferensi video dengan anggota Partai Komunis pada 23 Februari, Xi mengatakan “asesmen epidemi oleh Komite Pusat akurat, semua kerja tepat waktu, dan langkah-langkah yang diadopsi terbukti efektif.” Xi melanjutkan dengan mengklaim ini karena rezim politik di Tiongkok.

“Efektivitas kerja pencegahan dan pengendalian sekali lagi memperlihatkan keuntungan signifikan dari kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok dan sistem sosialis dengan karakteristik Tiongkok,” tambah Xi, seperti dikutip media pemerintah, Xinhua.

6. Tiongkok protes terhadap respons Amerika Serikat

Virus Corona Jadi Ujian Politik dan Diplomatik Tiongkok Anggota keamanan memakai masker di pos pemeriksaan di Jembatan Sungai Yangtze Jiujiang saat negeri tersebut sedang terjadi penularan virus corona baru di Jiujang, provinsi Jiangxi, Tiongkok, pada 4 Februari 2020. (ANTARA FOTO/REUTERS/Thomas Peter)

Upaya Beijing mengendalikan narasi adalah termasuk dengan memprotes Amerika Serikat. Pada akhir Januari lalu, setelah organisasi kesehatan dunia (WHO) menetapkan status darurat kesehatan global, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengedarkan travel warning ke Tiongkok.

Washington juga meningkatkan peringatan ke level yang sama dengan Afganistan dan Irak, di mana keduanya adalah negara konflik, sehingga ada risiko keamanan yang tinggi. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Hua Chunying menilai Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan dan sikap yang “tidak faktual dan tidak tepat.”

Apalagi, menurut Beijing, ini terjadi ketika Tiongkok sedang berjuang melawan wabah “dengan keterbukaan, transparansi, dan rasa tanggung jawab tinggi,” termasuk dengan menginformasikan semua perkembangan kepada Amerika Serikat.

“Seorang teman yang hadir saat dibutuhkan adalah teman sejati. Banyak negara menawarkan dukungan dalam berbagai bentuk kepada Tiongkok. Sebaliknya, kalimat dan sikap pejabat Amerika Serikat tertentu tidak faktual dan tidak tepat. Ketika WHO merekomendasikan jangan memberlakukan pembatasan perjalanan, Amerika Serikat terburu-buru melawan itu. Jelas bukan suatu langkah dengan niat baik,” kata Hua, seperti dikutip dari situs resmi Kedutaan Besar Tiongkok.

7. Tiongkok berusaha meyakinkan dunia, semuanya ada dalam kendali

Virus Corona Jadi Ujian Politik dan Diplomatik Tiongkok Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi (tengah), Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Lopez (ki) dan Menteri Luar Negeri Laos Saleumxay Kommasith menghadiri konferensi pers setelah pertemuan ASEAN dan Tiongkok tentang penularan virus corona baru, di Vientiane, Laos, pada 20 Februari 2020. (ANTARA FOTO/REUTERS/Phoonsab Thevongsa)

Pasukan diplomatik juga dikerahkan untuk meyakinkan negara-negara lain bahwa Tiongkok, dengan bantuan komunitas internasional, mampu mengatasi wabah virus corona. Menteri Luar Negeri Wang Yi menegaskan kepada rekannya dari Prancis, Jean-Yves Le Drian, bahwa “prioritas utama” bagi “semua anggota pemerintahan di segala level” adalah untuk mengontrol wabah.

Usai menghadiri Pertemuan Istimewa Menteri Luar ASEAN-Tiongkok pada 20 Februari, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Hua Chunying menyebut ASEAN “mengapresiasi langkah-langkah tegas yang diambil Tiongkok dalam cara terbuka, transparan dan bertanggung jawab.” Hua juga berkata ASEAN “percaya terhadap kemenangan awal [Tiongkok] melawan epidemi.”

Sedangkan, dalam pernyataan bersama yang diunggah di situs resmi ASEAN, tidak ditemukan kata-kata “terbuka,” “transparan,” maupun “bertanggung jawab.” ASEAN juga belum mengakui Tiongkok telah menunjukkan kemenangan awal, melainkan hanya mengungkapkan “kepercayaan penuh terhadap kemampuan Tiongkok untuk berhasil dalam mengatasi epidemi ini.”

Sementara, di tengah usaha Beijing mempertahankan citra sebagai kekuatan dunia, sebanyak 2.663 orang meninggal dunia, di mana mayoritas warga Tiongkok. Secara global, kasus virus corona mencapai 80.000. Kerja sama internasional sangat diperlukan, begitu juga dengan dorongan agar Tiongkok tidak membungkam kritik soal penanganan wabah, terutama dari warganya sendiri.

Baca Juga: Pemerintah Akan Evakuasi WNI dari Kapal Pesiar World Dream Rabu Besok

Topik:

  • Rochmanudin
  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya