Warga Filipina Protes RUU Antiterorisme saat Hari Kemerdekaan

Aktivis menilai RUU itu sebagai bencana HAM

Manila, IDN Times - Filipina memperingati Hari Kemerdekaan ke-122 pada Jumat (12/6), tetapi lebih dari 1.000 orang punya cara lain untuk merayakannya. Mereka memilih turun ke jalan dan memprotes RUU Antiterorisme yang baru saja diloloskan oleh Kongres.

Saat ini, RUU yang disebut demonstran sebagai RUU Teror tersebut menunggu tanda tangan Presiden Rodrigo Duterte untuk disahkan. Seperti dilaporkan Rappler, masyarakat yang menolak adanya aturan baru itu memenuhi beberapa lokasi di ibu kota, termasuk jalanan dan kampus-kampus, sambil terlihat memakai masker.

1. RUU Antiterorisme dipercaya akan semakin membatasi hak masyarakat

Sejak disepakati di Kongres, para aktivis HAM di Filipina mengingatkan bahwa ketika disahkan, aturan tersebut akan memberangus banyak hak-hak dasar masyarakat yang salah satunya adalah kebebasan berekspresi. Mereka menggarisbawahi potensi penangkapan terhadap individu maupun kelompok tanpa surat izin.

Targetnya bisa siapa saja, termasuk orang-orang yang dianggap melawan pemerintah. "Sepertinya kita akan kehilangan hak-hak dasar kita karena RUU Antiterorisme ini, terutama hak kita untuk mengungkapkan kekhawatiran terhadap pemerintah," kata seorang demonstran, Ofelia Cantor, kepada Reuters.

Baca Juga: Izin Tidak Terbit, Stasiun TV Terbesar Filipina Dipaksa Stop Siaran

2. Beberapa anggota Kongres yang menolak RUU Antiterorisme menyuarakan pendapat mereka

Tidak hanya di jalanan, media sosial pun turut diwarnai dengan beragam protes terhadap RUU Antiterorisme yang baru itu. Warganet menggaungkan tagar "Buang RUU Teror" dan "Aktivis Bukan Teroris". Sejumlah anggota Kongres yang menolak RUU tersebut juga bersuara.

Salah satunya adalah Senator Leila de Lima yang menilai jika disahkan dan berlaku, aturan itu "akan semakin mempersenjatai hukum untuk membungkam kritik dan menghambat aktivisme" padahal di saat yang sama "menutupi kebrutalan, korupsi dan ketidakbecusan" negara.

Seorang anggota DPR bernama Ferdinand Gaite mengingatkan Duterte pada Hari Kemerdekaan ini bahwa ia bisa bernasib sama dengan para penjajah yang menjajah Filipina. Ia juga merujuk kepada diktator Ferdinand Marcos yang berkuasa sejak 1965 sampai 1986. Kekuasaannya berakhir usai terjadi gelombang protes dari warga sipil dan Kongres.

"Masyarakat berjuang untuk merebut kemerdekaan mereka dan mengalahkan penjajah. Masyarakat siap melakukannya lagi dan Duterte akan bernasib sama jika terus mengejar mimpi-mimpi kediktatoranya," kata Gaite.

3. Human Rights Watch menilai RUU itu sebagai "bencana HAM"

Kekhawatiran tak hanya dirasakan masyarakat biasa, tetapi juga disuarakan oleh Human Rights Watch yang menyebut RUU itu sebagai "bencana HAM".

"Aturan itu akan membuka pintu kepada penangkapan-penangkapan sewenang-wenang dan pemberian hukuman penjara dalam jangka waktu lama terhadap orang atau perwakilan organisasi yang membuat presiden tidak senang," kata Phil Robertson, Deputi Direktur Human Rights Watch di Asia.

Persoalan utama dari RUU itu, antara lain, adalah definisi teroris yang sangat luas -- mulai dari kategori terorisme sebenarnya yaitu "terlibat dalam aksi yang bertujuan menyebabkan kematian atau luka fisik serius" sampai "menciptakan atmosfer atau menyebarkan pesan berisi ketakutan".

Di dalamnya juga disebutkan aksi terorisme adalah yang "mengajak orang lain melakukannya melalui perkataan, tulisan, emblem, spanduk atau alat lain untuk tujuan yang sama". Ini sangat berbahaya bagi kebebasan pers dan berekspresi di masyarakat. 

Bagi siapa pun yang dilabeli teroris, otoritas bisa menangkap tanpa surat izin dan menahannya hingga 24 hari tanpa proses hukum. Hukuman maksimal adalah kurungan seumur hidup tanpa ada peluang pembebasan bersyarat.

Baca Juga: Amandemen UU Antiteror di Swedia Dinilai Melanggar Konstitusi

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya