WEF Davos: Jambore Orang Kaya Dunia untuk Diskusikan Kesenjangan

WEF dikritik sebagai acara penuh kemunafikan

Jakarta, IDN Times - Setiap tahun, di bulan Januari yang dingin, ribuan orang kaya dunia terbang dari berbagai penjuru untuk menuju satu titik di pegunungan Swiss: Davos. Banyak yang menaiki pesawat komersial, tak sedikit yang memilih pesawat jet pribadi atau sewaan. Di Davos pada musim ini, status menjadi hal yang sangat penting.

Berjudul World Economic Forum (WEF), pertemuan tersebut memasuki tahun ke-50 saat ini. Selama setengah abad, WEF mendiskusikan tentang bagaimana membuat dunia lebih adil, tanpa kesenjangan, dan pada tahun ini, berkesinambungan secara ekonomi serta lingkungan. Pertanyaan yang muncul setiap tahun juga masih sama, apakah WEF sudah membuat dunia lebih baik?

Baca Juga: Presiden Trump dan Aktivis Iklim Greta Thunberg Hadir di WEF 2020

1. Biaya mengikuti WEF tidak murah dan peserta dibeda-bedakan berdasarkan lencana yang dipakai

WEF Davos: Jambore Orang Kaya Dunia untuk Diskusikan KesenjanganWEF 2020, Davos-Klosters, Swiss, 21 Januari 2020 (IDN Times/Uni Lubis)

WEF seperti jambore dalam Pramuka. Bedanya, para orang kaya di Davos tak bisa menginap di dalam tenda karena cuaca dingin. Saat ini suhu mencapai minus enam derajat. Berdasarkan pencarian di situs booking.com, harga satu kamar paling murah dengan fasilitas biasa adalah Rp4,9 juta per malam. WEF berlangsung sejak 21 sampai 24 Januari.

Apalagi harga tiket pesawat tidak kecil. Penerbangan sekali jalan dengan maskapai Garuda Indonesia dari Jakarta menuju Jenewa atau Zurich untuk kelas ekonomi, paling murah Rp12 juta. Seseorang juga tidak bisa otomatis masuk ke dalam lokasi acara tanpa lencana. Jangan salah, panitia WEF pun membeda-bedakan lencana para peserta.

2. Peserta WEF dikategorikan dengan lencana. Lencana tertinggi punya stiker hologram

WEF Davos: Jambore Orang Kaya Dunia untuk Diskusikan KesenjanganWEF 2020, Davos-Klosters, Swiss, 21 Januari 2020 (IDN Times/Uni Lubis)

Situs resmi WEF menginformasikan, akan ada hampir 3.000 peserta dari 117 negara yang hadir tahun ini. Di antaranya adalah 119 miliarder dan 53 kepala negara, salah satunya adalah Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Peserta sebanyak itu dikategorikan secara berbeda berdasarkan lencana.

Dilansir dari Reuters, lencana tertinggi punya stiker hologram dan dipakai oleh presiden, perdana menteri, menteri keuangan, menteri perdagangan atau utusan-utusan mereka. Lencana ini berarti eksklusif.

Individu yang memakainya berhak mengikuti Informal Gathering of World Economic Leaders (IGWEL). Di sini mereka bisa secara terbuka membicarakan suatu isu, meski tidak ada jaminan bahwa mereka akan keluar ruangan dengan solusi brilian.

Ada sembilan lencana lainnya untuk menandai peserta. Misalnya, lencana dengan warna putih dan biru menunjukkan dia sebagai delegasi resmi atau dengan kata lain mendapatkan undangan. Sementara lencana putih dengan garis dan bulatan biru artinya "Mitra Strategis" yang membayar uang dalam jumlah besar agar mendapatkan akses.

3. Biaya keanggotaan per tahun mencapai ratusan juta rupiah

WEF Davos: Jambore Orang Kaya Dunia untuk Diskusikan KesenjanganWEF 2020, Davos-Klosters, Swiss, 21 Januari 2020 (IDN Times/Uni Lubis)

Seorang Kepala Desa Pengadangan di Lombok Timur akan sangat sulit mengikuti WEF jika tidak diundang. Ini lantaran biaya keanggotaannya sangat fantastis. Dilansir dari CNBC, seseorang perlu merogoh kocek sebesar Rp820 juta sampai Rp8,2 miliar per tahun. Masing-masing biaya bergantung kepada akses yang akan didapat.

Lalu, ada biaya tambahan jika ingin menyelenggarakan sebuah pesta di tengah pertemuan untuk kepentingan berjejaring. Menurut Business Insider, ini adalah pemandangan lumrah selama WEF berlangsung, ketika sekelompok orang diundang ke beberapa pesta.

Biaya pesta per tamu di Davos kurang lebih Rp2,9 juta. Tinggal dikalikan saja ingin mengundang berapa tamu.

4. WEF dikritik sebagai forum elite yang tak paham realita dunia

WEF Davos: Jambore Orang Kaya Dunia untuk Diskusikan KesenjanganWEF 2020, Davos-Klosters, Swiss, 21 Januari 2020 (IDN Times/Uni Lubis)

Meski dengan biaya tidak murah, buktinya WEF tak pernah sepi peminat. Tahun ini banyak yang resah soal krisis iklim, bahkan Laporan Risiko Global yang dirilis WEF minggu lalu, menunjukkan persoalan lingkungan adalah satu-satunya yang dianggap paling mungkin terjadi dengan dampak masif pada 2020.

Ironisnya, banyak yang berbondong-bondong datang ke Davos dengan pesawat jet untuk mendengarkan panelis berbicara soal perubahan iklim. Salah satu yang paling dinantikan adalah Greta Thunberg.

Pada 2019, Foreign Policy menilai "Davos semakin sering mendemonstrasikan betapa tidak nyambungnya para peserta elite mereka—dan terus-menerus begitu—dari realita globalisasi".

5. WEF mengundang orang paling berkuasa yang terang-terangan menolak perubahan iklim

WEF Davos: Jambore Orang Kaya Dunia untuk Diskusikan KesenjanganSebuah jalan dengan papan penunjuk menuju Davos, Swiss, yang menjadi tempat pertemuan World Economic Forum pada 21 Januari 2020. IDN Times/Uni Lubis

Setelah 50 tahun, WEF masih dilihat sebagai forum yang memberi panggung kepada orang-orang yang menciptakan masalah dunia itu sendiri. Contoh saja Trump, seseorang yang percaya perubahan iklim adalah hoaks, berbicara di hari pertama WEF. Ia menyindir Thunberg yang hadir di antara audiens sebagai "nabi hari kiamat".

Dilansir BBC, Trump pun mengajak peserta WEF menolak "prediksi kiamat" dan menegaskan Amerika Serikat akan membela perekonomiannya. Data yang dirilis WEF sendiri pada 2019 lalu memperlihatkan Amerika Serikat jadi negara kedua di dunia yang memproduksi emisi gas karbondioksida terbesar setelah Tiongkok.

Padahal, sebelumnya Thunberg mengkritik di depan para peserta konferensi bahwa para pemimpin dunia "pada dasarnya tidak melakukan apa pun" untuk merespons perubahan iklim. Ia kemudian menuntut penghentian pemakaian dan subsidi seluruh bahan bakar energi fosil saat ini juga.

6. Sejarawan Belanda kritik WEF yang dianggap penuh kemunafikan

WEF Davos: Jambore Orang Kaya Dunia untuk Diskusikan KesenjanganInfografik WEF Davos (IDN Times/Arief Rahmat)

Sementara itu, The New York Times memakai komentar jurnalis sekaligus sejarawan Belanda, Rutger Bregman, untuk menyoroti masalah yang ada pada WEF. Bregman diundang di salah satu panel pada tahun lalu saat berbicara tentang globalisasi dan kesenjangan ekonomi. Tahun ini, ia tak mendapat undangan itu.

Video yang berisi cuplikan sesinya viral di media sosial pada hari pertama WEF kemarin. "1.500 jet pribadi terbang ke sini untuk mendengar Sir David Attenborough berbicara soal bagaimana, Anda tahu, kita menghancurkan planet ini," kata Bregman. Attenborough adalah sejarawan Ilmu Alam Inggris sekaligus aktivis perubahan iklim. 

"Saya dengar orang berbicara tentang partisipasi dan keadilan dan kesetaraan dan transparansi, tapi kemudian, maksud saya, hampir tak ada yang bertanya tentang isu sebenarnya dari penghindaran pajak, kan? Dan soal orang-orang kaya yang tak membayar pajak mereka."

"Maksud saya, ini rasanya seperti saya sedang ada di dalam konferensi para pemadam kebakaran, tapi tak ada satu pun yang boleh bicara soal air," tambahnya.

Dengan komentarnya itu, Bregman sekaligus menunjukkan bahwa WEF penuh dengan kemunafikan.

7. Pengamat lainnya berpendapat WEF memberikan kesempatan langka bagi pebisnis dan kepala negara

WEF Davos: Jambore Orang Kaya Dunia untuk Diskusikan KesenjanganWEF 2020, Davos-Klosters, Swiss, 21 Januari 2020 (IDN Times/Uni Lubis)

Ketika diluncurkan pertama kali oleh Klaus Schwab pada 1971, WEF mengklaim bertujuan untuk meningkatkan situasi dunia. Hingga setengah abad kemudian, tidak ada yang mengukur seberapa sukses WEF dalam mewujudkan tujuan itu.

Apalagi mengingat para politisi dan penguasa globalisasi yang hadir selama ini memperlihatkan gestur lain, mulai dari bos Goldman Sachs, Mark Zuckerberg sampai Presiden Brazil Jair Bolsonaro yang terkenal sangat anti-kritik. Davos adalah "sebuah reuni keluarga bagi orang-orang yang merusak dunia modern", ujar Anand Giridharadas, editor majalah TIME.

Tidak semua berpendapat WEF sia-sia. Profesor dari Universitas Stockholm, Christina Garsten dan Adrienne Sorbom, menyebut WEF memberikan kesempatan langka bagi para pebisnis untuk bertemu dengan kepala negara. Sesuatu yang sulit terjadi di forum seperti PBB.

"Berhadapan dengan apa yang dianggap sebagai institusi pemerintahan global yang menunjukkan malfungsi dan pembuatan kebijakan internasional yang buntu, WEF mempersembahkan dirinya sebagai sebuah alternatif," tulis keduanya dalam buku tentang Davos. Setelah bertemu, menurut Garsten dan Sorbom, "mungkin muncul ide-ide bagus" untuk memperbaiki dunia.

https://www.youtube.com/embed/mxF_rFwmlLw

Baca Juga: Greta Thunberg Tuding Pemimpin Dunia Tak Becus Atasi Perubahan Iklim

Topik:

  • Anata Siregar
  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya