WHO: Sikap Cepat Puas Mudahkan Penularan Virus Corona

Kasus COVID-19 tertinggi di seluruh dunia terjadi pada Juni

Jenewa, IDN Times - Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menilai, sikap cepat puas adalah ancaman terbesar bagi upaya mengakhiri pandemik COVID-19. Dalam konferensi pers virtual pada Senin (8/6), Tedros mengatakan kepuasan yang muncul bisa memudahkan penularan virus corona.

Apalagi, ketika jumlah kasus COVID-19 di seluruh dunia masih menunjukkan peningkatan, sejumlah negara memutuskan untuk melonggarkan aturan, atau bahkan tak menerapkan langkah-langkah penting sesuai anjuran WHO. Seperti dilaporkan CNBC, Tedros menyinggung pentingnya tetap waspada, paling tidak memakai masker saat keluar rumah.

1. Kasus COVID-19 tertinggi di dunia tercatat pada awal Juni 2020

WHO: Sikap Cepat Puas Mudahkan Penularan Virus CoronaPenumpang tiba di Bandara Heathrow saat Inggris mengumumkan karantina selama 14 hari untuk kedatangan internasional untuk menekan penyebaran virus corona di London, Britain, pada 8 Juni 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Tobuy Melville

Dalam beberapa waktu terakhir, episentrum virus corona berpindah dari Eropa ke kawasan Amerika Serikat dan Asia Selatan. Negara-negara seperti Amerika, Brasil, dan Peru terus mencatatkan jumlah kasus COVID-19 yang signifikan. Tedros menyebut hampir 75 persen kasus baru muncul di 10 negara kawasan-kawasan tersebut.

"Saya bisa katakan sekarang epidemik di Amerika Tengah dan Latin adalah yang situasi yang paling kompleks yang kita hadapi secara global," kata Dr Mike Ryan, Direktur Eksekutif Program Darurat WHO dalam kesempatan yang sama.

Tedros juga mengingatkan, awal Juni ini seluruh dunia mencatatkan kasus positif harian tertinggi sejak awal pandemik. Maka, walau beberapa negara mengalami kemajuan, tapi mayoritas orang masih rentan untuk tertular virus corona, apalagi ketika terlalu cepat ada keputusan melonggarkan aturan.

"Di negara-negara itu, ancaman terbesarnya sekarang adalah sikap cepat puas," tutur Tedros. "Kami terus mendorong surveilans aktif untuk memastikan virus tak muncul lagi, terutama ketika perkumpulan massal dalam berbagai bentuk mulai berlanjut di sejumlah negara."

Baca Juga: Pakar: Kasus COVID-19 di Indonesia  Lebih Baik dari Amerika Serikat

2. Seluruh negara diminta jangan lengah dan mengambil kebijakan berdasarkan ilmu pengetahuan serta rasa solidaritas

WHO: Sikap Cepat Puas Mudahkan Penularan Virus CoronaJemaat misa di Gereja Saint John Berchmans saat pemerintah memberikan kelonggaran aturan di Brussels, Belgia, pada 8 Juni 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Yves Herman

Berdasarkan kurva kasus global yang dibuat John Hopkins University, situasi secara umum di seluruh dunia memang memburuk, meski pandemik telah berlangsung sejak Januari. Tedros mengimbau seluruh negara agar tetap waspada, dan benar-benar memakai pertimbangan ilmu pengetahuan serta solidaritas dalam mengambil kebijakan.

"Lebih dari enam bulan memasuki pandemik, ini bukan waktunya bagi negara mana pun untuk melepaskan kaki dari pedal," tegas Tedros, merujuk kepada mengendornya upaya negara-negara memerangi virus corona. "Ini saatnya semua negara terus bekerja keras memakai dasar ilmu pengetahuan, solusi, dan solidaritas."

3. Selandia Baru jadi negara pertama yang mengklaim bebas virus corona

WHO: Sikap Cepat Puas Mudahkan Penularan Virus CoronaPerdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern memberikan pengarahan respons COVID-19 di Wellington, Selandia Baru, pada 14 Maret 2020. Foto diambil dari media sosial. instagram.com/jacindaardern

Sementara, pada hari yang sama, pemerintah Selandia Baru mengklaim negaranya bebas virus corona, setelah 17 hari berturut-turut tidak menemukan kasus baru COVID-19. Pasien yang tertular virus corona dan dirawat di rumah sakit pun semuanya sudah sembuh. 

Seperti data yang dihimpun John Hopkins University, Selandia Baru terakhir kali mengonfirmasi ada satu kasus COVID-19 adalah pada 22 Mei lalu. Sebelum itu, sejak 17 April hingga 21 Mei, jumlah pasien yang terinfeksi virus corona per hari hanya satu digit, bahkan beberapa kali tak ada laporan kasus baru.

Selandia Baru pertama kali mengonfirmasi kasus COVID-19 pada 28 Februari. Jumlah kasus pada awal kurang dari 20, tetapi secara gradual bertambah. Negara itu mencapai puncak pandemik antara Maret hingga April, dengan angka penularan harian tertinggi adalah 89 kasus. Sampai kini, total ada 1.504 kasus dan 22 kematian.

"Meski kita berada di posisi lebih aman, lebih kuat, masih tidak ada jalan mudah untuk kembali ke kehidupan sebelum COVID-19. Tapi determinasi dan fokus yang kita miliki terhadap respons kesehatan kita akan dimasukkan ke dalam pembangunan perekonomian kembali," kata Perdana Menteri Jacinda Ardern, seperti dikutip BBC.

"Walau pekerjaan belum berakhir, tak ada yang bisa mengelak ini adalah suatu tahapan perkembangan. Jadi, saya bisa mengakhirinya dengan ucapan yang sangat sederhana,'Terima kasih, Selandia Baru'," imbuh Ardern.

Baca Juga: 17 Hari Tanpa Kasus, Selandia Baru Klaim Sebagai Negara Bebas COVID-19

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya