9 Perusahaan Farmasi Janji Bikin Vaksin COVID-19 Tanpa Ada Intervensi

Mereka berjanji akan mengedepankan etika dan sains

Jakarta, IDN Times - Sembilan perusahaan farmasi pada 8 September 2020 mengikat kesepakatan bahwa dalam pembuatan vaksin COVID-19, mereka tidak akan terpengaruh bila ada yang intervensi. Perusahaan farmasi itu berjanji akan berpegang teguh kepada etika dan sains dalam mengembangkan vaksin COVID-19. Selain itu, perusahaan farmasi akan mengikuti panduan dari badan yang mengeluarkan aturan seperti Badan Administrasi Obat dan Makanan (FDA). 

"Kami percaya janji ini akan membantu meyakinkan publik dalam proses pembuatan vaksin COVID-19, tetap diawasi dan dievaluasi secara ketat, sebelum akhirnya diberi izin edar," demikian isi kesepakatan tertulis yang dikutip harian The New York Times pada Rabu, 9 September 2020. 

Sembilan perusahaan farmasi yang ikut terlibat dalam kesepakatan itu yakni AstraZeneca, BioNTech, GlaxoSmithKline, Janssen Pharmaceutical Companies of Johnson & Johnson, Merck, Moderna, Novavax, Pfizer, dan Sanofi.

Laman Vox melaporkan dengan adanya kesepakatan tertulis ini menandakan mereka sesungguhnya khawatir akan ada campur tangan politik dalam proses pembuatan vaksin corona. Campur tangan unsur politis tersebut kemungkinan besar akan mendesak agar pengembangan vaksin segera rampung meski kualitasnya belum tentu baik. 

"Bila ada kecurigaan bahwa intrik politik ikut terlibat dalam proses pembuatan vaksin, maka proses itu akan menjadi lebih sulit," tutur pengajar di Fakultas Kedokteran, John Hopkins, Jonathan Zenilman. 

Apakah kekhawatiran perusahaan farmasi ini dikaitkan dengan momen jelang Pemilihan Presiden AS pada 3 November 2020 mendatang?

1. Badan federal AS mengindikasikan vaksin COVID-19 bisa dibagikan bulan Oktober, padahal uji klinis tahap 3 belum dimulai

9 Perusahaan Farmasi Janji Bikin Vaksin COVID-19 Tanpa Ada IntervensiInfografik Perkembangan Vaksin COVID-19 di Dunia (IDN Times/Arief Rahmat)

Proses pembuatan vaksin COVID-19 memasuki momen yang menegangkan. Sebab, di saat vaksin belum ditemukan, jumlah manusia yang terpapar COVID-19 semakin bertambah. 

Dikutip dari laman World O Meter per 10 September 2020, sudah ada 28 juta manusia di seluruh dunia yang telah terpapar COVID-19. Sebanyak 908 ribu pasien di antaranya meninggal akibat penyakit yang disebabkan oleh virus Sars-CoV-2 itu. 

Sejauh ini sudah ada lebih dari 200 bakal vaksin COVID-19 yang tengah dikembangkan. Sebanyak sembilan bakal vaksin tengah memasuki uji klinis tahap ketiga, di mana perlu uji klinis terhadap ribuan manusia sebelum diberi izin edar. 

Tetapi, perusahaan farmasi menjadi tidak tenang bekerja, lantaran tekanan politik semakin tinggi. Berdasarkan dokumen yang dibuat oleh CDC AS pada 27 Agustus 2020 lalu, rumah sakit diminta sudah bersiap-siap untuk melakukan imunisasi massal pada akhir Oktober mendatang. 

"Semua prosedur harus disiapkan untuk bisa mengidentifikasi populasi yang kritis untuk bisa diberikan vaksin COVID-19 ketika vaksin nantinya sudah tersedia dan disetuji BPOM AS," demikian isi salah satu dokumen CDC AS seperti dikutip laman Vox pada 9 September 2020 lalu. 

Namun, pada kenyataannya vaksin COVID-19 baru mulai diuji klinis tahap ketiga. Butuh waktu cukup lama untuk dilakukan pengujian ke populasi manusia yang lebih besar. Uji klinis tahap ketiga dinilai sangat penting sebab para ilmuwan bisa mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi oleh vaksin yang tak muncul di tahap satu dan dua. 

Apalagi jumlah vaksin yang akan didistribusikan jauh lebih besar dibandingkan jumlah obat, lantaran yang mengonsumsi vaksin termasuk individu yang sehat. 

Baca Juga: Trump Perintahkan agar Vaksin COVID-19 Dibagikan 2 Hari Jelang Pemilu

2. BPOM AS diduga menyalahgunakan kewenangannya untuk mengeluarkan izin darurat edar vaksin COVID-19

9 Perusahaan Farmasi Janji Bikin Vaksin COVID-19 Tanpa Ada IntervensiIlustrasi imunisasi vaksin COVID-19 (IDN Times/Arief Rahmat)

Para ilmuwan khawatir BPOM AS telah menyalahgunakan kewenangannya karena ikut mendukung dokumen yang ditulis oleh CDC. Sebab, meski vaksin COVID-19 sulit rampung dikembangkan pada Oktober mendatang, BPOM AS memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin edar darurat. 

Artinya, vaksin COVID-19 bisa diedarkan ke publik tanpa harus menyelesaikan uji klinis tahap ketiga. Komisioner BPOM AS, Stephen Hahn, mengatakan instansinya terbuka terhadap ide agar uji klinis tahap ketiga dilewati saja. Tetapi, perusahaan farmasi yang harus bertindak. 

"Itu semua bergantung kepada pihak sponsor (perusahaan pengembang vaksin) yang mengajukan persetujuan (agar vaksin bisa diedarkan) dan kami akan membuat penyesuaian untuk pengajuan tersebut," ujar Hahn kepada harian Financial Times pada 30 Agustus 2020 lalu. 

BPOM AS pun tak mempermasalahkan bila pengajuan izin edar dilayangkan sebelum uji klinis tahap ketiga selesai. "Bila ada hal yang tidak sesuai, maka akan kami hentikan," tutur dia lagi. 

3. Izin darurat edar vaksin COVID-19 juga harus didukung bukti vaksin aman dan efektif

9 Perusahaan Farmasi Janji Bikin Vaksin COVID-19 Tanpa Ada IntervensiIlustrasi vaksin COVID-19 buatan Sinovac (Dokumentasi Sinovac)

Sementara, menurut Direktur Pusat Edukasi Vaksin di RS Anak Philadelphia, Paul Offit, izin darurat peredaran vaksin pun tetap perlu didukung buki bahwa vaksin tersebut aman bila dikonsumsi manusia. Ada standar yang tetap harus dipatuhi. 

"Bila Anda memberikan izin terhadap sebuah vaksin, maka Anda harus bisa membuktikan vaksin tersebut aman dan efektif. Namun, bila Anda hanya ingin agar vaksin segera diedarkan menggunakan celah izin darurat, maka tak perlu terbukti apakah vaksin itu efektif," ungkap Offit. 

Sebab, dalam panduan BPOM AS yang bertuliskan "mungkin efektif" yang dapat diartikan kurang efektif, bisa menimbulkan berbagai macam interpretasi. Selain itu, vaksin yang ingin diedarkan dengan menggunakan celah izin darurat, juga harus terbukti efektif usai dikonsumsi lebih dari 50 persen individu. 

BPOM AS mencontohkan bila vaksin COVID-19 sudah disuntikan ke 100 orang, maka untuk memperoleh izin edar darurat, 50 orang harus terbukti merasakan kemanjurannya.  "Harus didukung dengan bukti yang ada bahwa sebuah vaksin efektif," ungkap penasihat ilmuwan untuk program Operation Warp Speed, Moncef Slaoui.

Baca Juga: Ini Perbedaan Vaksin Merah Putih vs Vaksin Sinovac

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya