Amnesty International: Negara Kaya Memborong dan Menumpuk Vaksin COVID

Negara-negara miskin diprediksi tak lagi dapat vaksin COVID

Jakarta, IDN Times - Hampir semua vaksin COVID-19 yang kemanjurannya menjanjikan sudah diborong dan bahkan ditumpuk oleh negara-negara kaya. Hal itu merupakan laporan yang disampaikan oleh Amnesty International dan beberapa organisasi lainnya yang tergabung dalam Aliansi Vaksin Rakyat (PAV). 

Stasiun berita BBC, Rabu, 9 Desember 2020 melaporkan hasil analisa aliansi menunjukkan negara-negara kaya sudah membeli lebih dari cukup stok vaksin COVID-19. Bahkan, mereka bisa melakukan tiga kali vaksinasi ke seluruh penduduknya. 

Sebagai contoh Kanada. Pemerintahnya telah memesan stok vaksin untuk semua warganya dan bahkan vaksinasi bisa dilakukan hingga lima kali. Aliansi itu menyebut negara kaya itu memang hanya mewakili 14 persen jumlah populasi di seluruh dunia. Tetapi, mereka sudah memborong 53 persen dari semua vaksin menjanjikan yang ada saat ini. 

Fakta ini mengkhawatirkan karena negara-negara dengan berpendapatan rendah tidak akan mampu memberikan vaksin bagi semua warganya. Menurut penghitungan Aliansi Vaksin Rakyat, negara berpendapatan rendah hanya mampu melakukan vaksinasi terhadap 1 dari 10 warga mereka. 

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memang sudah melakukan berbagai upaya agar semua negara bisa memperoleh vaksin COVID-19. Salah satunya melalui komitmen yang diberi nama COVAX. Apakah langkah dengan membentuk COVAX tak cukup untuk mengamankan distribusi vaksin secara merata ke negara lain?

1. Bila mengandalkan platform COVAX saja maka tak menjamin semua negara dapat vaksin COVID-19

Amnesty International: Negara Kaya Memborong dan Menumpuk Vaksin COVIDData mengenai negara dan jenis vaksin COVID-19 yang dipesan (IDN Times/Sukma Shakti)

Menurut Aliansi Vaksin Rakyat (PAV), bila hanya mengandalkan COVAX saja maka masih akan ada negara yang tidak memperoleh vaksin COVID-19. Dengan bergabung di platform COVAX, maka WHO menjanjikan semua anggota akan memperoleh vaksin dengan jumlah maksimal 20 persen dari total jumlah penduduk di negara tersebut. 

Alih-alih mengandalkan platform COVAX semata, PAV mendorong perusahaan farmasi membagikan teknologi mereka ke negara lain agar dosis vaksin bisa diproduksi lebih banyak. 

"Seharusnya tidak ada satu pun yang dihalangi untuk memperoleh vaksin penyelamat hidup hanya karena negara yang mereka tempati atau jumlah uang yang mereka miliki," ujar Manajer Kebijakan Oxfam, Anna Marriott yang dikutip stasiun berita BBC. 

Marriott mewanti-wanti situasi ini tidak akan berubah kecuali dilakukan perubahan yang dramatis. "Miliaran penduduk dunia terancam tidak akan memperoleh vaksin yang efektif dan aman selama bertahun-tahun mendatang," tutur dia lagi. 

Baca Juga: WHO Janjikan Vaksin COVID-19 untuk Indonesia dengan Harga Subsidi

2. Aliansi Vaksin Rakyat (PAV) dorong perusahaan farmasi bersedia membagi teknologinya dan diserahkan ke WHO

Amnesty International: Negara Kaya Memborong dan Menumpuk Vaksin COVIDIlustrasi markas WHO di Jenewa, Swiss (www.who.int)

PAV kemudian mendorong agar lebih banyak perusahaan farmasinya yang bersedia membagi teknologinya dan properti intelektualnya agar bisa memproduksi vaksin COVID-19 lebih banyak. Sehingga, siapa pun yang membutuhkan maka vaksin itu bisa tersedia. 

PAV menyarankan teknologi dan properti intelektual perusahaan farmasi agar diserahkan ke WHO saja. Mereka nanti yang akan menentukan teknologi itu diserahkan kepada siapa. 

Salah satu perusahaan farmasi, AstraZeneca, yang menggandeng Universitas Oxford telah berkomitmen agar tak akan mengkomersialisasikan vaksin mereka. Mereka akan telah berjanji akan mengalokasikan 64 persen dosis vaksin COVID-19 bagi negara miskin dan berkembang. Menurut AstraZeneca, vaksin mereka lebih mudah untuk diakses karena bisa disimpan di lemari pendingin dengan suhu normal. 

Namun, menurut perwakilan dari PAV, satu perusahaan farmasi saja tidak akan cukup untuk memasok kebutuhan vaksin COVID-19 di seluruh dunia. 

Vaksin buatan Pfizer dan BioNTech telah memperoleh izin darurat dari otoritas di Inggris pekan lalu. Proses vaksinasi bagi kelompok rentan sudah dimulai di Inggris pada pekan ini. Kemungkinan vaksin tersebut juga segera memperoleh izin serupa dari otoritas berwenang di AS dan Uni Eropa. Artinya, ada peluang negara miskin juga memperoleh vaksin buatan Pfizer dan BioNTech.

Sedangkan, vaksin buatan AstraZeneca dan Moderna juga tengah menunggu izin dari otoritas kesehatan di negara lain. 

3. Sebanyak 6,4 miliar dosis vaksin COVID-19 sudah dibeli oleh negara-negara maju

Amnesty International: Negara Kaya Memborong dan Menumpuk Vaksin COVIDPerburuan vaksin oleh negara-negara di dunia (IDN Times/Sukma Shakti)

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Duke University di Carolina Utara, Amerika Serikat memperkirakan 6,4 miliar kandidat dosis vaksin COVID-19 sudah dibeli. Sedangkan, 3,2 miliar dosis lainnya sedang dalam proses negosiasi atau dipesan sambil menunggu bila ada perubahan dari kesepakatan itu. 

Di satu sisi menurut asisten peneliti kesehatan publik global di London School of Economics and Political Science, Clare Wenham, sudah menjadi hal yang lumrah dengan melakukan pemesanan di awal kepada perusahaan farmasi. Meskipun vaksin tersebut belum tersedia. 

Dana pemesanan itu, kata Wenham, bisa dimanfaatkan untuk pengembangan produk dan mendanai uji klinis. Namun, di sisi lain, siapapun yang bisa membayar lebih banyak di awal, akan ditempatkan di nomor antrean terdepan dalam pemesanan vaksin COVID-19. 

Hasil penelitian Duke University juga menunjukkan mayoritas dosis vaksin sudah dibeli oleh negara-negara kaya. Sementara, negara dengan pendapatan rendah telah melakukan negosiasi untuk pembelian vaksin dalam jumlah besar. Negara lainnya yang memiliki infrastruktur bersedia menjadi tuan rumah uji klinis seperti yang dilakukan oleh Brasil dan Meksiko. Negara yang bersedia menjadi tuan rumah memiliki peluang lebih besar untuk membeli kandidat vaksin dari perusahaan farmasi tersebut. 

Sebagai contoh Institut Serum India, telah berkomitmen untuk menyimpan separuh dari produksi vaksinnya untuk kebutuhan di dalam negeri. Indonesia memilih bermitra dengan Sinovac Biotech, Brasil memilih bermitra untuk melakukan uji klinis dengan AstraZeneca. 

Baca Juga: Muncul Petisi Mendesak agar Vaksin COVID-19 Gratis, Ini Alasannya

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya