Eks PM Mahathir: Malaysia Harus Rebut Kembali Singapura dan Riau

Malaysia sudah berhak atas kedaulatan Sipadan dan Ligitan

Jakarta, IDN Times - Eks Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad tiba-tiba mendorong agar Negeri Jiran itu mengklaim kembali Singapura dan Kepulauan Riau menjadi bagian wilayah mereka. Sebab, dulu dua daerah daratan itu merupakan milik Kerajaan Johor. Hal itu disampaikan Mahathir di dalam Kongres Survival Melayu di Selangor pada Minggu, 19 Juni 2022 lalu. 

"Hingga saat ini tidak ada tuntutan apapun dari Singapura. Kita malah menunjukkan apresiasi dari kepemimpin negara baru ini yang disebut Singapura," ungkap Mahathir di kongres tersebut dan dikutip dari harian Singapura, The Straits Times

Ia kembali mengkritisi pemerintahnya sendiri yang bangga berhasil memperoleh kedaulatan di Pulau Sipadan dan Ligitan, tetapi malah mengalah dan menyerahkan wilayah Pedra Bianca ke Negeri Singa. Area itu dulu disebut oleh Malaysia sebagai Pulau Batu Puteh dan menjadi teritori sengketa antara Singapura dan Malaysia. Namun, Mahkamah Internasional (MI) di Belanda pada 2008 lalu menyatakan Pedra Bianca milik Negeri Singa.

"Kita seharusnya meminta kembali tidak hanya Pedra Bianca atau Pulau Batu Puteh dikembalikan kepada kita, tetapi juga area Singapura dan Kepulauan Riau. Sebab, teritori itu bagian dari Tanah Melayu," tutur dia yang disambut tepuk tangan luas dari hadirin di kongres tersebut.

Mengapa tiba-tiba eks PM Mahathir tiba-tiba menyampaikan pernyataan bernada nasionalis tersebut?

Baca Juga: Mahathir Mohamad: Surya Paloh Sudah Lebih Maju

1. Mahathir diduga ingin menyindir Sultan Johor

Eks PM Mahathir: Malaysia Harus Rebut Kembali Singapura dan Riauinstagram.com/chedetofficial

Pernyataan kontroversial itu disampaikan oleh Mahathir diduga untuk menyindir Sultan Johor, Sultan Ibrahim. Sebab, sebelumnya, area Singapura dan Kepulauan Riau di masa lalu di bawah kekuasaan Kerajaan Johor.

Hubungan Mahathir dengan Kesultanan Johor memang kerap diwarnai cekcok. Bahkan, ketika Mahathir masih menjabat sebagai Perdana Menteri, ia sering terlibat lempar pernyataan di ruang publik dengan Sultan Johor dan Putra Mahkota. 

Pidato Mahathir tersebut kemudian rentan membentuk persepsi yang keliru lantaran ditulis oleh Harian Straits Times tanpa konteks yang jelas. Belum lagi pidato tersebut disiarkan secara langsung di platform media sosial. 

Di dalam pidatonya, Mahathir menyebut bahwa area Tanah Melayu membentang luas dari  Isthmus of Kra di bagian selatan Thailand hingga Kepulauan Riau, dan Singapura. Kini area Tanah Melayu hanya dibatasi di Semenanjung Malaysia saja. 

"Saya membayangkan apakah Semenanjung Malaysia juga akan menjadi milik orang lain di masa depan," kata dia. 

Baca Juga: Mahathir Mohamad Puji Kepemimpinan Jokowi 

2. Mahathir sindir sebagian tanah di Malaysia tak lagi dimiliki oleh warga pribumi

Eks PM Mahathir: Malaysia Harus Rebut Kembali Singapura dan RiauMantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. instagram.com/chedetofficial

Di dalam pidatonya pada Minggu kemarin, Mahathir juga sempat menyinggung mayoritas tanah di Malaysia sudah tak lagi dimiliki oleh warga pribumi atau orang asli di Negeri Jiran. Hal itu dipicu mayoritas warga Malaysia miskin sehingga terpaksa harus menjual tanahnya. 

"Bila kita melakukan kesalahan, maka kesalahan ini harus diperbaiki agar tanah ini tetap menjadi milik warga Malaysia," ujarnya. 

Menilik ke belakang ketika Pedra Branca diputuskan masuk ke wilayah kedaulatan Singapura, Malaysia sempat protes. Mereka sempat mengajukan banding ke Mahkamah Internasional pada 2017 lalu. Tetapi, ketika Mahathir kembali menjabat sebagai PM pada 2018 lalu, Malaysia juga mengumumkan tak lagi melanjutkan proses banding itu. 

3. Indonesia sangat kecewa ketika kehilangan Sipadan dan Ligitan

Eks PM Mahathir: Malaysia Harus Rebut Kembali Singapura dan RiauPulau Sipadan (unsplash.com/Johnny Chen)

Sementara, Indonesia sangat terpukul dengan keputusan Mahkamah Internasional (MI) pada 2003 lalu yang mengumumkan bahwa kedaulatan Pulau Sipadan dan Ligitan berada di bawah Malaysia. Dalam proses voting di MI, 16 hakim memihak kepada Malaysia. Sedangkan, hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. 

Dari 17 hakim yang menyidangkan proses sengketa dua pulau itu, 15 di antaranya merupakan hakim tetap dari MI. Satu hakim pilihan dari Malaysia dan satu hakim sisanya dipilih oleh Indonesia. 

"Pemerintah Indonesia menerima keputusan akhir Mahkamah Internasional (MI), dan saya sungguh berharap bahwa keputusan MI dalam masalah ini dapat menutup satu babak dalam sejarah bilateral antara Indonesia-Malaysia," ujar Hasan Wirajuda yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. 

Ia menjelaskan hakim lebih memihak Malaysia berdasarkan pertimbangan effectivitee, yaitu Pemerintah Inggris (Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930. Selain itu, ada pula operasi mercusuar sejak 1960-an. 

"Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu)," kata Hasan. 

Di sisi lain, MI juga argumentasi Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891, yang dinilai hanya mengatur perbatasan kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 14 derajat Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik. Hal itu sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil.

Hasan ketika itu tak menampik bahwa Pemerintah Indonesia kecewa karena upaya yang dilakukan sejak tahun 1997 tak membuahkan hasil yang positif. 

Baca Juga: Mahathir Akui Malaysia Ketinggalan dari Indonesia 

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya