Jepang Mulai Diskusi 'Travel Bubble' di Tengah Pandemik, RI Tak Diajak

Pengusaha Jepang diizinkan terbang dan masuk ke Vietnam

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Jepang mulai melanjutkan pembicaraan untuk membuka lagi penerbangan bagi para pengusaha dengan 10 negara Asia lainnya. Sepuluh negara yang kini tengah dijajaki untuk dibuka penerbangan langsung dan ditujukan bagi pengusaha yaitu Malaysia, Singapura, Brunei, Myanmar, Kamboja, Laos dan Mongolia.

Sebelumnya, Negeri Sakura sudah membuka penerbangan ke empat negara yaitu Vietnam, Australia, Thailand dan Selandia Baru. Dalam daftar itu tidak ada Indonesia. Padahal, Presiden Joko "Jokowi" Widodo dalam pertemuan KTT ASEAN yang digelar virtual untuk kali pertama juga menyatakan Indonesia bersedia untuk ikut dalam travel bubble tersebut. 

Laman Malaysia, New Straits Times, Minggu, 12 Juli 2020, mencatat Vietnam sudah lebih dulu membuka pintunya bagi 440 pengusaha dari Jepang pada akhir Juni lalu. Salah satu Jepang bersedia membuka penerbangan ke Vietnam, karena negara itu sudah dinilai berhasil mengendalikan pandemik COVID-19. 

Laman Nikkei Asian Review mengatakan Perdana Menteri Shinzo Abe diprediksi akan menyampaikan rencana untuk proses negosiasi dalam waktu dekat. Istilah travel bubble dipakai karena dibutuhkan kesepakatan dari kedua negara untuk membuka penerbangan, khususnya di kawasan Asia. Taiwan termasuk negara pertama yang juga disetujui oleh Jepang untuk membuka penerbangannya. 

Lalu, apakah dengan membuka penerbangan bagi warga negara lain, Jepang sudah siap dengan protokol kesehatan yang berlaku?

1. Bandara di Jepang memiliki kemampuan tes 2.300 penumpang per harinya

Jepang Mulai Diskusi 'Travel Bubble' di Tengah Pandemik, RI Tak DiajakIlustrasi tes swab. (IDN Times/Mia Amalia)

Berdasarkan laporan NST, bandara-bandara di Jepang mampu melakukan tes terhadap 2.300 penumpang setiap harinya. Sedangkan, untuk tes antibodi dan pusat diagnosa akan terus ditambah hingga 4.000 orang per harinya mulai bulan Agustus. 

Bahkan, Jepang sukses mengembangkan metode pengujian tes PCR yang bisa memberikan hasil akurat hanya dalam kurun waktu 30 menit. Laman Asia Nikkei melaporkan tes PCR itu bisa dilakukan tanpa bantuan peralatan dan staf khusus. 

Peralatan tes khusus untuk Sars-CoV-2 itu dikembangkan oleh pengajar dari Universitas Nihon, Masayasu Kuwahara. Kini, ia dan timnya tengah menunggu persetujuan dari Kementerian Kesehatan Jepang. 

Baca Juga: Kebijakan Proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Berubah, Jepang Bingung

2. Jepang tengah mempertimbangkan untuk melonggarkan batasan perjalanan bagi para atlet Olimpiade

Jepang Mulai Diskusi 'Travel Bubble' di Tengah Pandemik, RI Tak Diajakwww.olympic.org

Sementara, laman Kyodo News melaporkan Jepang tengah mempertimbangkan untuk menghilangkan batasan perjalanan bagi para atlet dari negara lain yang ikut Olimpiade dan Paralympic Tokyo. Walaupun tahun depan belum dijamin pandemik COVID-19 bisa dikendalikan. 

Semula, Olimpiade Tokyo digelar pada musim panas 2020. Tetapi, gegara pandemik COVID-19, ditunda ke bulan Jeli 2021. 

Dalam Olimpiade, Jepang diprediksi akan menampilkan sekitar 11 ribu atlet dari 200 negara dan kawasan. Komite Olimpiade hingga kini belum menunjukkan indikasi untuk menurunkan jumlah pertandingan yang dilakukan tahun depan. 

Permasalahan ini kemungkinan besar akan dibawa dalam pertemuan di bulan September mendatang untuk membahas cara mengantisipasi COVID-19. Rencananya rapat itu akan dihadiri oleh pejabat berwenang dari pemerintah pusat, komite Olimpiade, dan pemerintah Kota Tokyo. 

Menurut sumber, salah satu cara antisipasi untuk mencegah penularan COVID-19 yaitu atlet dan pendamping akan diwajibkan untuk mengikuti tes PCR selama beberapa kali sebelum masuk ke Jepang dan usai tiba di Negeri Matahari Terbit itu. 

Selain itu, panitia juga mewajibkan para atlet yang tinggal di pemukiman khusus membatasi diri untuk melakukan kontak langsung dengan orang lain. Itu juga dijadikan salah satu persyaratan sebelum masuk ke Jepang. 

3. WNI tidak akan diterima di negara manapun bila angka kasus COVID-19 masih tinggi

Jepang Mulai Diskusi 'Travel Bubble' di Tengah Pandemik, RI Tak Diajakhttps://www.instagram.com/sapilicin

Sementara, dalam sudut pandang anggota Ombudsman, Alvin Lie, sikap Jepang yang tidak mengajak Indonesia untuk berdiskusi mengenai kebijakan travel bubble sudah bisa diprediksi. Menurut Alvin, kendati Jepang memiliki investasi tinggi di Indonesia, tetapi pemerintahnya lebih peduli terhadap keselamatan warganya agar terhindar dari COVID-19. 

"Siapa yang mau ke Indonesia dalam kondisi seperti ini? Cara kita handling COVID-19 masih buruk begini, jelas tidak akan ada yang percaya datang ke Indonesia. Jepang itu kan sangat menghargai manusia dan kesehatan warganya," kata Alvin kepada IDN Times melalui telepon pada Senin (13/7/2020). 

Menurut Alvin, agar situasi ini tidak semakin buruk, maka pemerintah harus lebih serius dalam menangani pandemik COVID-19. Caranya, dengan menurunkan angka penularan. 

"Selain itu, kita menggunakan standar internasional. Misalnya, dengan wajib karantina untuk perjalanan domestik. Bagi mereka yang baru bepergian dari daerah merah itu wajib karantina mandiri selama 14 hari," ujarnya lagi. 

Ia menjelaskan, itu lah metode yang digunakan oleh negara lain. Cara tersebut tidak membutuhkan tes. 

"Atau bila warga masuk ke daerah merah, maka wajib langsung karantina 14 hari. 14 hari betul-betul strict, satu orang diberi satu kamar, tidak boleh ketemu siapa-siapa," tutur dia. 

Dengan begitu, angka penularan COVID-19 di Tanah Air diprediksi bisa turun drastis. 

Baca Juga: Pandemik Masih Tinggi, Singapura Tak Anjurkan Warganya ke Luar Negeri

Topik:

Berita Terkini Lainnya