Jokowi Bandingkan Kasus COVID-19 di RI dengan AS dan India, Tepatkah?

Kemampuan tes COVID-19 Indonesia jauh di bawah AS dan India

Jakarta, IDN Time - Presiden Joko "Jokowi" Widodo kembali membandingkan situasi pandemik COVID-19 di Indonesia dengan beberapa negara di dunia. Setidaknya ada empat negara yang dibandingkan oleh Jokowi yaitu Amerika Serikat, India, Brasil, dan Rusia. 

Berdasarkan data di situs World O Meter, keempat negara itu memang menempati posisi teratas dalam hal total kasus COVID-19. Bila dilihat dari angka kematian, empat negara itu juga mencatatkan pasien yang meninggal dalam jumlah yang tidak sedikit. 

"Coba kita lihat di Amerika Serikat 7,2 juta orang (sudah terpapar COVID-19), di India 5,9 juta, di Brasil 4,6 juta orang, dan di Rusia 1,1 juta orang (sudah terkena COVID-19)," ungkap Jokowi pada Sabtu, 26 September lalu ketika membuka Muktamar IV Parmusi. 

Melalui pernyataan itu, Jokowi seolah ingin menyampaikan kondisi pandemik di Indonesia belum separah di empat negara tersebut. Namun, benarkah demikian? 

Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith, Brisbane, Australia, Dicky Budiman, mengingatkan agar pemerintah tidak terkecoh dengan banyaknya kasus COVID-19 di negara lain. Sebab, di Indonesia bisa jadi kasus coronanya lebih banyak namun belum terdeteksi. 

"Kan kita tidak tahu karena kapasitas testingnya belum mumpuni di sini," ujar Dicky ketika dihubungi IDN Times melalui telepon pada Senin, 28 September 2020. 

Berapa sih rata-rata kapasitas testing di Indonesia per hari? Apakah sudah memenuhi standar yang ditentukan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO)?

1. Kemampuan tes COVID-19 di Indonesia masih di bawah standar WHO

Jokowi Bandingkan Kasus COVID-19 di RI dengan AS dan India, Tepatkah?Ilustrasi rapid test plasma (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Menurut Dicky, dengan sistem pelacakan yang baik melalui testing bisa diketahui seberapa besar pandemik yang dihadapi oleh suatu negara. Dengan begitu, pemerintah suatu negara bisa mengambil kebijakan lanjutan seperti isolasi atau karantina. 

Sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), maka idealnya dilakukan tes 1.000 orang per 1 juta penduduk per minggu. Namun, hingga tanggal 23 September 202, Satuan Tugas Penanganan COVID-19 melaporkan tes PCR per harinya 31 ribu penduduk. Padahal, standar yang perlu dicapai adalah 38.500 orang per hari. 

Sementara, data yang dikutip dari laman World O Meter per Selasa (29/9/2020), kapasitas tes yang telah dilakukan oleh Indonesia adalah 11.813 per 1 juta penduduk. Amerika Serikat memiliki kemampuan tes yang lebih tinggi yakni 317.133 per 1 juta penduduk. Sedangkan, India memiliki kemampuan tes 52.027 per 1 juta penduduk. 

Selain testing, Dicky juga menyarankan agar pemerintah melakukan pelacakan (tracing) dari kasus kontak erat sebanyak 80 persen dari kontak fisik orang yang sudah tertular COVID-19. Hal lain yang harus diperhatikan, kata Dicky yang pernah bertugas di Kementerian Kesehatan, yaitu jumlah pasien yang masih dirawat di rumah sakit. 

"Berdasarkan data dari PERSI (Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) 4 dari 10 pasien atau 40 persen membutuhkan perawatan di rumah sakit. Berarti, lebih tinggi (jumlah pasien yang butuh perawatan) di Indonesia. Sebab, data global kan 20 persen," kata Dicky. 

"Saya melihat deteksi (kasus) COVID-19 di Indonesia tergolong lambat. Jadi, ketika ketahuan sudah parah kondisinya sehingga butuh dirawat," ujarnya lagi. 

Baca Juga: Beda Rapid Test, Pemeriksaan Swab, dan Metode PCR, Mana Lebih Akurat?

2. Angka kematian COVID-19 di Indonesia bisa jauh lebih tinggi karena hanya hitung yang terkonfirmasi

Jokowi Bandingkan Kasus COVID-19 di RI dengan AS dan India, Tepatkah?Ilustrasi meninggal (IDN Times/Mia Amalia)

Di sisi lain, Dicky menjelaskan, bila membandingkan angka kematian di Indonesia akibat COVID-19 dengan beberapa negara seperti AS, India, Rusia, dan Brasil, memang tepat. Namun, yang menjadi catatan, angka kematian di Indonesia diprediksi bisa lebih besar karena pemerintah tak mengikuti panduan dari WHO mengenai definisinya. 

Pada Mei 2020 lalu, WHO turut memasukkan kematian probable case ke dalam definisi meninggal dengan COVID-19. Dikutip dari situs resminya, probable case diartikan: 

a. Kasus suspek (terduga) dengan hasil tes yang inkonklusif (tidak meyakinkan), hasil inkonklusif dari tes itu dilaporkan oleh laboratorium, atau
b. Kasus suspek dengan tes yang tidak dapat dilakukan dengan alasan apa pun

"Sementara, di AS oleh CDC (Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit) bila meninggal namun probable case tetap dimasukkan karena COVID-19," ungkap Dicky. 

Ia pun menyarankan publik melihat data mengenai COVID-19 secara komprehensif. Sebab, bila melihat angka kematian, maka harus dilihat definisi kematian yang digunakan di negara tersebut.

3. Strategi mencegah COVID-19 lebih baik ketimbang menyembuhkan

Jokowi Bandingkan Kasus COVID-19 di RI dengan AS dan India, Tepatkah?Ilustrasi virus corona (IDN Times/Arief Rahmat)

Dicky turut mengomentari komunikasi pemerintah yang kerap membanggakan angka kesembuhan pasien COVID-19. Ia mengakui, mayoritas pasien COVID-19 memang bisa pulih bahkan tanpa dirawat di rumah sakit.

Namun menurutnya, ada bahaya lain dari orang-orang yang berhasil pulih. Dua di antaranya terpapar kembali COVID-19 (re-infeksi) dan efek jangka panjang usai terpapar corona yang lazim disebut "long COVID-19."

"Oleh sebab itu, paradigma yang harus diterapkan oleh pemerintah seharusnya preventif (pencegahan) dan bukan kuratif (pemulihan) dengan obat atau vaksin," ujarnya. 

Baca Juga: Pandemi Virus Corona, Angka Kematian Indonesia Tertinggi di ASEAN

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya