Menlu RI Ingatkan Dunia, Vaksin COVID-19 Jangan Dimonopoli Negara Kaya

13 persen negara maju telah menguasai pasokan vaksin corona

Jakarta, IDN Times - Menteri Luar Negeri Retno Marsudi kembali mengingatkan dunia internasional agar membagi secara adil pasokan vaksin COVID-19. Pasalnya berdasarkan laporan organisasi LSM Oxfam International, lebih dari separuh pasokan vaksin COVID-19 sudah diborong oleh lebih dari 13 persen negara-negara maju.

Menurut Menlu perempuan pertama di Indonesia itu sangat penting bagi negara berpenghasilan tinggi dan rendah untuk bekerja sama serta menjamin ketersediaan pasokan vaksin COVID-19. 

"Bisa Anda bayangkan bila mayoritas vaksin hanya didistribusikan untuk negara-negara maju? Bagaimana nasib negara yang berpenghasilan rendah dan berkembang?" tnya Retno ketika diwawancarai oleh kantor berita AFP saat berada di London, Inggris. 

Ia berada di Inggris bersama dengan Menteri BUMN, Erick Thohir untuk mengamankan pasokan vaksin COVID-19 buatan perusahaan farmasi AstraZeneca yang menggandeng Universitas Oxford. Dari kesepakatan yang diteken pada Rabu, 14 Oktober 2020 lalu, Indonesia berhasil mengamankan pasokan 100 juta vaksin dan akan mulai dikirim pertengahan 2021. 

Lalu, berapa anggaran yang disiapkan oleh Indonesia untuk mengamankan 100 juta pasokan vaksin COVID-19?

1. Pemerintah Indonesia telah membayar DP senilai Rp3,67 triliun untuk membeli 50 juta dosis vaksin AstraZeneca

Menlu RI Ingatkan Dunia, Vaksin COVID-19 Jangan Dimonopoli Negara KayaIlustrasi perusahaan farmasi AstraZeneca (www.pbs.org)

Untuk mengamankan pasokan vaksin buatan AstraZeneca, pemerintah telah menganggarkan dana senilai US$250 juta atau setara Rp3,67 triliun pada akhir bulan Oktober sebagai uang muka. Uang muka tersebut setara dengan 50 persen dari total harga yang harus dibayar pemerintah untuk pengadaan 100 juta vaksin corona.

"Kami akan mengadakan vaksin dari AstraZeneca kontraknya 100 juta vaksin, dan pemerintah akan membayar down payment (DP) 50 persen di akhir bulan ini, kira-kira biaya yang dikeluarkan itu US$250 juta," ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto ketika berbicara di webinar yang digelar Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada, Minggu 11 Oktober 2020. 

Selain AstraZeneca, pemerintah juga telah memesan vaksin dari tiga perusahaan farmasi asal Tiongkok yaitu Sinovac Biotech, Sinopharm dan Cansino. Sinopharm menggandeng perusahaan dari Uni Emirat Arab (UEA) yakni G42.

Dari empat perusahaan farmasi itu, hanya vaksin buatan Sinovac Biotech yang melakukan uji klinis di Indonesia. Sisa vaksin corona lainnya langsung diimpor.

Sinovac Biotech mempercayakan PT Bio Farma untuk memproduksi vaksin buatan mereka. Untuk mempercepat akses terhadap vaksin, maka PT Bio Farma akan mengajukan izin penggunaan darurat (emergency use authorization/EUA) ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Sejak 14 Oktober 2020 lalu, BPOM, Kementerian Kesehatan dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbang ke Beijing untuk melakukan inspeksi terhadap pabrik Sinovac Biotech. 

Baca Juga: Beli 100 Juta Vaksin Astrazeneca, Menlu RI: Dikirim Pertengahan 2021

2. Oxfam menyebut 2,7 miliar dosis dari 5,3 miliar vaksin COVID-19 sudah diborong negara maju

Menlu RI Ingatkan Dunia, Vaksin COVID-19 Jangan Dimonopoli Negara KayaIlustrasi vaksin COVID-19 (IDN Times/Arief Rahmat)

Di dalam laporannya yang dirilis pada 16 September 2020 lalu, Oxfam menganalisa data kesepakatan pembelian vaksin yang disediakan oleh perusahaan bernama Airfinity. Dari data itu diketahui ada lima perusahaan farmasi yang telah meneken kesepakatan pembelian vaksin COVID-19 yakni AstraZeneca, Gamaleya/Sputnik, Moderna, Pfizer dan Sinovac.

Berdasarkan penghitungan yang dilakukan oleh Oxfam, jumlah vaksin yang sudah dipesan dari lima perusahaan farmasi itu mencapai 5,9 miliar dosis. Itu artinya, cukup untuk didistribusikan bagi 3 miliar orang di seluruh dunia, bila masing-masing individu diberi dua dosis. 

Sayangnya, 2,7 miliar dari 5,9 miliar dosis vaksin COVID-19 (setara 51 persen pasokan vaksin) telah diborong oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Hong Kong dan Makau, Jepang, Swiss dan Israel. Sedangkan, 2,6 miliar dosis vaksin telah dibeli oleh negara berkembang seperti Tiongkok, Brasil, India, Bangladesh, Indonesia, hingga Meksiko. Semua vaksin yang telah dipesan itu kini sedang berada di tahap uji klinis ketiga. 

"Padahal, akses terhadap vaksin yang menyelamatkan jiwa tidak seharusnya ditentukan berdasarkan data di mana kamu tinggal atau berapa banyak uang yang kamu punya," kata perwakilan Oxfam AS, Robert Silverman. 

"Pengembangan dan persetujuan vaksin yang aman serta ampuh memang penting, tetapi yang juga tidak kalah penting vaksin itu bisa tersedia untuk semua orang. COVID-19 itu dialami di semua negara," tutur dia lagi. 

3. Oxfam menyerukan agar vaksin COVID-19 yang akan diberikan ke publik tidak dikenai biaya

Menlu RI Ingatkan Dunia, Vaksin COVID-19 Jangan Dimonopoli Negara KayaIlustrasi imunisasi vaksin COVID-19 (IDN Times/Arief Rahmat)

Di dalam laporannya, Oxfam International juga menyerukan kepada dunia internasional agar selain didistribusikan secara merata, warga tidak perlu membayar untuk memperoleh vaksin COVID-19. "Tetapi, hal ini hanya memungkinkan bila perusahaan farmasi membolehkan vaksin COVID-19 diproduksi sebanyak-banyaknya dengan cara berbagi paten serta teknologi mereka," kata Oxfam. 

Namun, pada kenyataannya, banyak perusahaan farmasi yang justru melakukan monopoli dan menjual vaksin kepada negara yang bersedia membeli dengan harga tertinggi. Oxfam menilai hal tersebut menjadi sebuah ironi, karena biaya yang dibutuhkan untuk menyediakan vaksin COVID-19 bagi seluruh penduduk di bumi ini hanya membutuhkan 1 persen dari biaya yang dikeluarkan untuk menangani pandemik COVID-19.

Baca Juga: Kritik Vaksin COVID-19 dari Luar Negeri, Epidemiolog: Belum Pasti Aman

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya