Pakistan: Vaksin COVID-19 Pfizer Tidak Cocok untuk Negara Berkembang

Sulit memperoleh alat pendingin minus 80 derajat celcius

Jakarta, IDN Times - Ilmuwan kenamaan di Pemerintah Pakistan, Professor Atta Ur Rahman mengatakan, vaksin COVID-19 buatan perusahaan farmasi Pfizer dan BioNTech bukan ditujukan bagi negara-negara berkembang. Sebab, vaksin tersebut harus disimpan di dalam suhu minus 80 derajat celcius dan diperlukan dua suntikan. 

Laman VOA News, Rabu 11 November 2020 melaporkan, karena itu Pakistan dan negara-negara berkembang lainnya menilai terlalu dini untuk merayakan keberhasilan vaksin COVID-19 buatan Pfizer. Menurut klaim Pfizer, hasil awal uji klinis tahap ketiga menunjukkan vaksin itu 90 persen efektif mencegah manusia terpapar COVID-19.

Informasi itu tentu disambut baik oleh dunia. Lantaran kini jumlah kasus COVID-19 di dunia telah menembus 52,5 juta. Di mana 1,2 juta pasien dilaporkan telah meninggal dunia. Namun, bagi Atta, biaya yang dikeluarkan terlalu mahal untuk membeli vaksin buatan Pfizer tersebut. 

"Ini merupakan vaksin RNA dan harus diangkut dalam suhu minus 80 derajat celcius. Jadi, vaksin ini tidak sesuai untuk negara-negara berkembang. Peralatan pendingin dan proses untuk mengangkut vaksin dari bandara ke kota-kota di seluruh negara itu, itu yang tidak dipikirkan di negara berkembang," ungkap Atta. 

Dalam pandangan Atta, sulit menyimpan vaksin COVID-19 dengan suhu sangat dingin. Belum lagi masing-masing warga membutuhkan dua suntikan dengan jeda tiga pekan. Apalagi suhu udara di Pakistan ketika memasuki musim panas bisa menembus 40 derajat celcius dan 50 derajat celcius. 

Apa langkah Pemerintah Pakistan untuk mengendalikan pandemik COVID-19?

1. Pakistan menggandeng Tiongkok untuk melakukan uji klinis vaksin COVID-19

Pakistan: Vaksin COVID-19 Pfizer Tidak Cocok untuk Negara BerkembangTenaga kesehatan memakai Alat Pelindung Diri (APD) mengambil tes swab dari pekerja pabrik tepung, di tengah penyebaran penyakit virus korona (COVID-19) di desa Moriya pinggiran kota Ahmedabad, India, Senin (14/9/2020) (ANTARA FOTO/REUTERS/Amit Dave)

Professor Atta Ur Rahman yang juga menjabat sebagai Kepala Satgas Bidang Ilmu pengetahuan dan Teknologi Pemerintah Pakistan mengatakan, pihaknya juga sedang mengembangkan vaksin COVID-19 dengan menggandeng Tiongkok. Saat ini uji klinis sudah memasuki tahap akhir. 

Menurut Atta, vaksin yang tengah dikembangkan bersama Tiongkok itu bisa disimpan di suhu normal, tidak seperti vaksin buatan Pfizer. 

"Uji klinis kami berjalan dengan sangat baik. Setahu saya, hasilnya sangat positif. Kedua vaksin ini tidak perlu disimpan atau diangkut dalam suhu minus 80 derajat celcius. Saya berharap vaksin ini lebih sesuai untuk kondisi Pakistan dibandingkan vaksin Pfizer," kata Atta. 

Perusahaan farmasi asal Tiongkok yang digandeng oleh Pakistan adalah CanSinoBio. Saat ini, uji klinis sudah memasuki tahap ketiga atau melibatkan relawan dalam jumlah besar. Uji klinis ke manusia juga melibatkan beberapa negara lain yakni Tiongkok, Rusia, Chile, dan Argentina. 

Atta menjelaskan, uji klinis di Pakistan sudah dimulai sejak September lalu dan akan berlangsung sekitar tiga bulan. Hasil uji klinis akan dibawa ke Tiongkok untuk dievaluasi. 

Baca Juga: Hasil Uji Coba Vaksin COVID-19 dari Pfizer & BioNTech Capai 90 Persen

2. Vaksin buatan Pfizer hanya bisa diakses negara-negara kaya saja

Pakistan: Vaksin COVID-19 Pfizer Tidak Cocok untuk Negara BerkembangIlustrasi penyuntikan vaksin COVID-19 (IDN Times/Arief Rahmat)

Sementara, dalam analisa ahli kesehatan global di Universitas Oxford, Dr. Peter Drobac, vaksin dengan teknologi "mRNA" belum disetujui oleh regulator di masing-masing negara. Meski teknologi baru itu akhirnya diberi lampu hijau, tetap saja muncul tantangan yang lain. 

"Ada tantangan besar pengembangan vaksin. Ada tantangan mengenai logistik. Vaksin ini harus disimpan di suhu minus 80 derajat celcius," kata Drobac. 

Kondisi penyimpanan demikian, ia melanjutkan, hanya memungkinkan di negara-negara yang kaya. Di negara miskin dengan sistem kesehatan yang belum terbangun dengan baik, melakukan program imunisasi akan jauh lebih sulit. Berdasarkan data dari PBB, 2 per 3 dari penduduk di dunia tidak memiliki fasilitas pendingin yang cukup. 

Kepala Kesehatan dan Nutrisi di Badan PBB khusus untuk masalah anak, UNICEF, Jean-Claude Mubalama mengatakan, kapasitasnya sama sekali tidak ada. 

"Jadi, bila kita ingin melakukan vaksin untuk melawan virus corona, sebagai contoh, kita akan membutuhkan lebih banyak lemari pendingin untuk menyimpan vaksin. Masalahnya, kita tidak punya alat pendingin ini," tutur Mubalama kepada Associated Press, bulan lalu.  

Masalah lain yang juga tidak kalah penting mengenai daya listrik. Pengajar di Universitas Birmingham Toby Peters mengatakan, di negara dengan iklim panas alat pendingin mutlak dibutuhkan untuk menyimpan vaksin. Bahkan, alat itu harus bekerja lebih keras. 

"Pasokan listrik saja masih kurang. Ini (negara) dengan ekonomi yang masih membangun. Bila Anda melihat angka-angka ini, maka Anda bisa menemukan negara-negara di mana mungkin 30 persen atau 40 persen di antaranya tidak memiliki akses ke pasokan listrik," tutur Peters. 

3. Ilmuwan mewanti-wanti agar negara maju tidak memonopoli vaksin COVID-19

Pakistan: Vaksin COVID-19 Pfizer Tidak Cocok untuk Negara BerkembangIlustrasi pemberian vaksin (IDN Times/Arief Rahmat)

Hal lain yang juga dikhawatirkan terkait distribusi vaksin ke seluruh dunia yakni "nasionalisme vaksin". Di mana negara-negara dengan ekonomi maju memborong semua vaksin COVID-19 yang tersisa untuk kepentingan warga mereka sendiri. 

Sejauh ini, PBB sudah meluncurkan platform bernama COVAX yang telah diikuti oleh lebih dari 150 negara. Namun, Amerika Serikat memilih untuk tidak ikut. Dengan platform tersebut, maka masing-masing negara berhak mendapat jatah vaksin 20 persen dari jumlah penduduk yang ada. 

"Tujuan akhirnya (platform COVAX) bisa membantu memproduksi 2 miliar dosis vaksin COVID-19, lalu didistribusikan ke semua negara di dunia pada akhir 2021," ungkap ahli kesehatan global di Universitas Oxford, Dr. Peter Drobac. 

Ia mengatakan, kehadiran COVAX akan semakin penting saat ada vaksin COVID-19 yang disetujui oleh badan kesehatan dunia, WHO. Sebab, tidak ada satu pun orang yang dinyatakan aman dari virus, hingga semua orang sudah terbebas dari virus tersebut. 

Di sisi lain, hasil awal vaksin COVID-19 yang diproduksi Pfizer dan BioNTech memberikan harapan besar bagi program imunisasi. Namun, para ahli mewanti-wanti hingga program imunisasi itu dirilis, maka penting bagi pemerintah dan warga sama-sama berkontribusi menekan penularan virus Sars-CoV-2. 

Baca Juga: AstraZeneca Klaim Uji Klinis Vaksin Berhasil Picu Imunitas Lansia 

Topik:

  • Sunariyah
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya