Studi: Mayorits Warga Inggris Enggan Ikuti Aturan Karantina Mandiri

Angka kematian di Inggris tertinggi di Eropa yaitu 41.902

Jakarta, IDN Times - Studi yang dilakukan oleh King's College London menunjukkan mayoritas warga Inggris tidak mematuhi aturan untuk melakukan isolasi mandiri ketika menunjukkan gejala terpapar COVID-19 atau kontak fisik dengan orang yang positif virus corona. Para peneliti melakukan survei terhadap 31.787 warga Inggris dari periode Maret hingga Agustus. 

Dikutip dari laman Financial Times pada Jumat, 25 September 2020, dari responden yang ditanya, menunjukkan hanya 11 persen warga Inggris yang bersedia melakukan isolasi mandiri bila kontak fisik dengan orang yang terpapar COVID-19. Sedangkan, studi menunjukkan hanya 18 persen responden yang bersedia melakukan isolasi mandiri bila muncul gejala COVID-19 di dalam diri mereka. 

Padahal, bila ditanya, para responden mengaku berniat untuk mengikuti aturan isolasi mandiri yang ditetapkan oleh pemerintah. Sayangnya, dalam kenyataan, tindakan tersebut tidak konsisten. 

"Data yang menunjukkan keinginan cukup tinggi. Sebagian besar warga ingin melakukan hal yang benar. Jelas ada yang keliru antara keinginan dengan perbuatan," ungkap salah satu penyusun studi tersebut, James Rubin. 

Di Inggris, durasi melakukan isolasi mandiri adalah 14 hari. Sementara, baru-baru ini Pemerintah Inggris memberlakukan denda cukup besar bagi warganya yang melanggar aturan isolasi mandiri yakni denda £1.000 atau setara Rp18,9 juta. 

Mengapa warga Inggris enggan melakukan isolasi mandiri berdasarkan kajian penelitian King's College London?

1. Warga Inggris langgar aturan isolasi mandiri karena tak dapat bantuan keuangan dari pemerintah

Studi: Mayorits Warga Inggris Enggan Ikuti Aturan Karantina MandiriIlustrasi virus corona (IDN Times/Sukma Shakti)

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh King's College London, salah satu penyebab warga Inggris tak mematuhi aturan untuk melakukan isolasi mandiri meski sudah pernah kontak fisik dengan orang yang positif COVID-19 karena tak dapat bantuan finansial dari pemerintah. Karena nyatanya, mereka berasal dari kelas ekonomi sosial yang rendah dan memiliki tanggungan anak. 

Mereka memilih tetap bekerja karena terkena langsung dampak dari pandemik COVID-19. 

"Kesimpulannya, terlihat dengan dukungan finansial yang lebih baik bisa menjadi salah satu faktor yang meningkatkan kepatuhan. Tetapi, pendekatan yang dipilih oleh pemerintah cenderung aneh, bila tak patuh maka insentifnya dikenai denda berat, bukannya warga diberi insentif agar tetap berada di rumah," ungkap peneliti kesehatan global di Universitas Southampton, Michael Head. 

Ancaman denda berat, kata Head lagi, malah mendorong warga untuk berbuat sebaliknya. Warga akan segan melaporkan bila mereka sudah mengalami gejala COVID-19 dan tak mau menyampaikan secara detail dengan siapa saja melakukan kontak fisik. 

Baca Juga: Dubes Jenkins: WNI Tak Dilarang Masuk Inggris Tapi Harus Ikut Prosedur

2. Warga Inggris masih kurang tahu bagaimana cara virus Sars-CoV-2 tersebar

Studi: Mayorits Warga Inggris Enggan Ikuti Aturan Karantina MandiriHasil survei yang dilakukan oleh King's College London (Tangkapan layar Financial Times)

Temuan lain dari studi itu menunjukkan masih banyak warga Inggris tidak memahami bahwa virus Sars-CoV-2 cepat menular antar-manusia. Oleh sebab itu, Pemerintah Inggris diminta untuk memperbaiki cara mereka berkomunikasi kepada publik. 

Sosiolog dari Universitas Nottingham Tren, Robert Dingwall mengatakan yang dilihat oleh orang biasa hanya orang yang tertular COVID-19 tapi tidak menunjukkan gejala. Atau gejala yang ditunjukkan masih ringan. Sehingga, mereka kerap meremehkan penyakit COVID-19. 

"Bisa dipahami bila mereka tidak melihat risiko penularan yang nampak di bagian permukaan saja ketika menyaksikan banyaknya pasien yang dilarikan ke ruang ICU atau meninggal (karena COVID-19). Melihat fakta ini, maka sulit mengharapkan mereka termotivasi mematuhi aturan," kata Dingwall. 

Namun, para ahli lain mewanti-wanti kajian yang dilakukan oleh King's College belum dilakukan peer review. Sehingga, harus dibaca secara hati-hati. 

3. Pekan ini, ada 19.278 kasus baru COVID-19 yang ditemukan di Inggris

Studi: Mayorits Warga Inggris Enggan Ikuti Aturan Karantina MandiriIlustrasi virus corona (IDN Times/Arief Rahmat)

Sementara itu, Pemerintah Inggris sudah mewanti-wanti mereka akan kembali melalui masa kelam menghadapi pandemik COVID-19 bila tidak ada perubahan kebijakan. Stasiun berita BBC, Senin, 21 September 2020 melaporkan prediksi Kepala Penasihat Sains pemerintah, Patrick Vallance, Inggris bisa menemukan 50 ribu kasus positif corona per hari pada Oktober mendatang.

Kemudian, angka kematian bisa mencapai 200 orang per harinya di bulan November.  Padahal, angka kematian di Inggris sudah mencapai 41.902 orang. Angka ini merupakan yang tertinggi di seluruh Benua Eropa. 

Oleh sebab itu, Direktur Kesehatan Publik Inggris, Yvonne Doyle mengatakan, sebanyak 19.278 orang dinyatakan positif COVID-19 dalam satu pekan terakhir. Angka ini tiga kali lebih tinggi dibandingkan Agustus lalu. Sementara, yang diketahui melalui proses pelacakan yakni 37 persen. 

Data terbaru itu, kata Doyle, merupakan peringatan bagi publik di Inggris. Bahkan, tingkat positif (positivity rate) juga meningkat di semua kelompok usia. Begitu pula tingkat penerimaan pasien COVID-19 di rumah sakit dan yang dirawat di ruang ICU. 

Doyle kemudian memohon kepada publik Inggris agar mengikuti aturan pembatasan pergerakan masyarakat yang baru-baru ini diumumkan oleh Perdana Menteri Boris Johnson. Selain itu, ia meminta kepada warga di area England dan Wales untuk mengunduh aplikasi pelacakan NHS COVID-19. 

Aplikasi yang diluncurkan pada Kamis, 24 September 2020 lalu akan menginformasikan bila warga berada di dekat orang yang sudah tertular corona.

"Itu merupakan cara paling cepat untuk mengetahui Anda berada di zona berisiko," kata Doyle.

Baca Juga: Kondisinya Membaik, PM Boris Johnson Dibolehkan Pulang dari RS

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya