Warga Miskin di Myanmar Terpaksa Makan Tikus Saat Lockdown Kedua

Kematian di Myanmar akibat COVID-19 capai 1.066 pasien

Jakarta, IDN Times - Keputusan Pemerintah Myanmar untuk kembali memberlakukan lockdown agar bisa mencegah meluasnya pandemik COVID-19 harus dibayar dengan harga mahal. Warga miskin di sana sampai harus mengonsumsi tikus dan ular agar bisa bertahan hidup. 

Kantor berita Reuters, Sabtu, 24 Oktober 2020 melaporkan kejadian itu berdasarkan pengalaman seorang warga di ibu kota Yangon bernama Ma Suu. Sebelum kembali memasuki lockdown, sehari-hari ia berjualan makanan salad. Tetapi, sejak kasus COVID-19 kembali melonjak pada Agustus lalu, ia tahu harus kembali ke titik nol lantaran pemerintah akan meminta warga kembali berdiam di rumah. 

Akhirnya ia sempat menggadaikan perhiasan dan simpanan emasnya untuk bisa membeli makan bagi keluarga. Tidak hanya itu, perempuan berusia 36 tahun itu juga menjual barang dagangannya berupa pakaian, piring dan pot tanaman. 

Sementara, akibat pandemik COVID-19, suaminya yang semula bekerja sebagai buruh bangunan, terpaksa pernah berburu di saluran air untuk memperoleh bahan makanan. 

"Orang-orang banyak yang memakan tikus dan ular," ungkap Ma sambil berderai air mata. 

"Tanpa ada pemasukan, mereka sampai harus makan seperti itu untuk menghidupi anak-anaknya," sambungnya. 

Bukankah Pemerintah Myanmar menyiapkan insentif keuangan untuk membantu warganya?

1. Pemerintah telah mendistribusikan bantuan keuangan tapi tidak cukup untuk semua warga Myanmar

Warga Miskin di Myanmar Terpaksa Makan Tikus Saat Lockdown KeduaIlustrasi bantuan keuangan (IDN Times/Arief Rahmat)

Kepada media, Ma Suu mengaku tinggal di Hlaing Thar Yar, salah satu pemukiman yang paling miskin di ibu kota Yangon. Pada malam hari, banyak warga yang kemudian berburu area belakang rumah mereka untuk mencari hewan yang muncul. Mereka berburu hewan itu sambil menggunakan senter untuk penerangan. 

Bagi warga Myanmar di area pedesaan, mengonsumsi hewan seperti tikus, ular atau serangga sudah menjadi suatu kebiasaan. Namun, rupanya, warga di ibu kota juga harus mengurangi nutrisi mereka. 

Menurut otoritas di Hlaing Thar Yar, 40 persen rumah tangga telah memperoleh bantuan keuangan. Tetapi, tempat kerja mereka banyak yang tutup. Alhasil, warga semakin merasa putus asa. 

Anggota parlemen dari Hlaing Thar Yar, Myat Min Thu, menegaskan bantuan keuangan yang sudah diberikan oleh pemerintah dan sektor swasta sudah dibagikan ke warga. Bantuan dari pemerintah berupa paket makanan dan uang tunai senilai US$15 atau setara Rp220 ribu per kepala keluarga. Bantuan itu dinilai tidak bisa mencukupi kebutuhan warga sehari-hari. 

Krisis kelaparan ini diprediksi akan menjadi isu yang menjadi perbincangan jelang pemilihan umum yang akan digelar pada 8 November 2020. Aung San Suu Kyi diprediksi tetap akan berkuasa. 

Baca Juga: IFRC: Di Asia, Migran dan Orang Tiongkok Dicap Jadi Pembawa COVID-19

2. Survei di Myanmar menunjukkan ribuan orang berhenti bekerja dan hidup dari utang

Warga Miskin di Myanmar Terpaksa Makan Tikus Saat Lockdown KeduaIlustrasi Suasana Pandemik COVID-19 di Myanmar (ANTARA FOTO/Ye Aung Thu)

Sebelum pandemik saja, diprediksi 1/3 dari total 53 juta penduduk Myanmar dianggap rentan menjadi miskin. Meski ada keuntungan yang dirasakan usai negara itu berada dalam isolasi junta militer. 

Tetapi, pengetatan pergerakan manusia untuk mencegah meluasnya gelombang kedua pandemik, diprediksi membuat lebih banyak warga Myanmar yang masuk ke jurang kemiskinan. Sementara, warga yang berusaha keluar dari tingkat kemiskinan semakin sulit. 

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh ONow Myanmar menunjukkan lebih dari 70 persen warga di sana sudah berhenti bekerja. Survei yang dilakukan kepada lebih dari 2.000 warga Myanmar juga mengungkap untuk bertahan hidup mereka terpaksa mengandalkan pinjaman dari orang lain. Uang itu kemudian digunakan untuk membeli obat, makanan dan kebutuhan penting lainnya. 

Pengajar di Asia Research Institute di Singapura, Gerard McCarthy mengatakan sektor-sektor yang mendorong industrialisasi di Myanmar termasuk pekerjaan garmen dan pariwisata saat ini terhenti sementara waktu. Akibatnya pengiriman uang juga tidak ada. 

“Rumah tangga sudah banyak berutang untuk membayar perawatan medis, sekolah, menopang orang tua, dan kelangsungan hidup sehari-hari. Banyak yang harus melunasi pinjaman ini sebelum mereka dapat mulai belanja lagi untuk keperluan apa pun,” ungkap McCarthy. 

3. Bank Dunia memprediksi gara-gara pandemik, 38 juta warga di Myanmar akan sulit keluar dari lubang kemiskinan

Warga Miskin di Myanmar Terpaksa Makan Tikus Saat Lockdown KeduaIlustrasi kemiskinan (IDN Times/Arief Rahmat)

Sementara, menurut laporan pada September lalu, Bank Dunia memprediksi angka kemiskinan di Myanmar akan kembali naik untuk kali pertama dalam 20 tahun. Sebanyak 38 juta warga diprediksi akan tetap berada di garis kemiskinan atau sulit keluar dari lubang kemiskinan. 

Menurut ahli sejarah Myanmar, Thant Myint-U, absennya jaring pengaman sosial menyebabkan sistem kesejahteraan di desa hancur. 

"Bagi puluhan juta warga miskin di Myanmar, pasar tradisional dianggap banyak membantu menyediakan pekerjaan informal. Atau biasanya mereka akan bermigrasi dengan keluar dari Myanmar," ungkap Thant. 

Tetapi, bekerja di luar Myanmar harus diikuti risiko meninggalkan keluarga yang miskin. Menurut data dari World O Meter per Minggu (25/10/2020), 43.788 orang di sana sudah terpapar COVID-19. Sebanyak 1.066 orang dilaporkan telah meninggal dunia. 23.708 pasien dilaporkan berhasil sembuh. 

Baca Juga: Helikopter Militer yang Angkut Diplomat Asing Jatuh di Myanmar

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya