Perempuan di Desa ini Melarang Pria untuk Tinggal di Sana

Jangan sekali-kali kamu ke sini ya

Umoja, IDN Times - Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi sebuah permasalahan besar di dunia. Dilansir dari Unwomen.org, sekitar 35% dari populasi perempuan di dunia, pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual.

Bahkan beberapa penelitian menunjukkan sebanyak lebih dari 70% perempuan pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual dari pasangan setidaknya 1 kali dalam hidup mereka.

Bagi penyintas, mengalami kekerasan fisik maupun seksual, tentu bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Beberapa dari mereka mengalami trauma, depresi, dikucilkan dari masyarakat, bahkan memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka.

Menghadapi kenyataan seperti itu, di Kenya, ada sebuah desa yang khusus dihuni oleh perempuan korban perkosaan maupun kekerasan lainnya yang bernama Desa Umoja.

1. Para penghuni adalah perempuan korban kekerasan seksual dan diskiminasi

Perempuan di Desa ini Melarang Pria untuk Tinggal di Sanastandardmedia.co.ke

Dalam sebuah wawancara yang dilansir dari Theguardian.com, Jane, penghuni desa Umoja, menceritakan pengalamannya diperkosa 3 orang tentara di saat ia sedang mengembala domba dan kambing milik suaminya.

Seketika ia mengalami depresi dan segala obat-obatan tradisional tidak mampu mengobati keadaannya. Hingga akhirnya ia berani menceritakan pengalaman pahit tersebut pada suaminya. Namun hasilnya, ia justru mendapatkan kekerasan fisik dari suaminya. Saat itulah ia memutuskan kabur dengan membawa serta anaknya.

Berbeda halnya dengan kisah Memusi. Saat ia berusia 11 tahun, ayahnya memaksanya untuk menikah dengan seorang pria berusia 57 dengan mendapatkan kompensasi beberapa ekor sapi.

2. Inilah Rebecca Lolosoli, sang pendiri Desa Umoja

Perempuan di Desa ini Melarang Pria untuk Tinggal di SanaPinterest.com/Chloe Bonnett

Di Kenya, kekerasan terhadap perempuan bukanlah sebuah hal yang baru. Budaya partiarki yang kental, membuat wanita kerap tidak memililki hak yang setara di bandingkan dengan pria. Pada awal tahun 1990an, terhitung sebanyak 1400 perempuan di Samburu, Kenya, diperkosa oleh tentara.

Tidak hanya itu, perempuan pada umumnya dipaksa untuk menikah dengan orang yang lebih tua, diharuskan melakukan pemotongan pada bagian tertentu pada alat kelamin (female genitale mutilation), hingga mengalami kekerasan domestik.

Keadaan tersebut mengunggah Rebecca Lolosoli untuk mendirikan sebuah tempat yang aman bagi para wanita dan anak-anak perempuan korban kekerasan. Bersama dengan 14 rekannya yang menjadi korban perkosaan tentara Inggris, ia mendirikan sebuah desa yang bernama Desa Umoja pada tahun 1990.

Perjuangan Rebecca tidaklah mudah. Sebelum ia mendirikan Umoja, ia harus menerima kekerasan dari sekelompok pria yang menentang idenya untuk mendirikan komunitas bagi perempuan. Sehingga membuatnya harus mendapatkan perawatan di rumah sakit.

Tidak cukup sampai disitu, pada tahun 2005 setelah ia menghadiri undangan dari PBB, sekelompok pria dari desa lain mengajukan kasus ke pengadilan agar dapat menutup desa tersebut. Bahkan di tahun 2009, mantan suami Rebecca menyerang desa tersebut dan mengancam hidupnya.

Namun hingga kini, para perempuan dan anak-anak yang tinggal di sana dapat hidup dalam keadaan aman dan nyaman.

3. Di sini, para perempuan dapat hidup tanpa takut mengalami kekerasan dari pria

Perempuan di Desa ini Melarang Pria untuk Tinggal di Sanaomgvoice.com

Di desa ini, para perempuan dapat meninggalkan kultur patriarkis yang mereka rasakan di tempat lain. Para perempuan bebas menyuarakan pendapat mereka serta bebas untuk menentukan sendiri hidup mereka. Dan yang terpenting, mereka tidak lagi merasakan diskriminasi maupun kekerasan dari pria. Tidak hanya bagi perempuan, desa ini juga menampung anak-anak yatim piatu, yang diabaikan orang tua mereka, bahkan yang mengidap HIV. Total penghuni di desa ini adalah sebanyak 47 orang perempuan dan 200 anak-anak.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka membuat aksesoris kalung yang dijual kepada para wisatawan. Meski hidup dalam kesederhanaan, namun mereka masih mampu menyediakan konsumsi, pakaian, serta rumah yang layak bagi masing-masing keluarga.

Dalam sistem pemerintahan, Rebecca memegang peranan sebagai kepala desa dan setiap wanita terlibat di dalam pengambilan keputusan maupun penetapan kebijakan. Saat ini Umoja juga telah memiliki sekolah yang juga menampung anak-anak yang berasal dari desa dengan kultur patriarkis.

4. Pengusutan kasus masih terus diupayakan

Perempuan di Desa ini Melarang Pria untuk Tinggal di Sanasteemit.com

Pada tahun 2003, tim pengacara dari Leigh Day, sebuah firma hukum asal Inggris, bertemu dengan sekelompok perempuan dari Desa Umoja untuk membahas peristiwa yang pernah mereka alami. Para perempuan mengungkapkan sejumlah kasus perkosaan yang dilakukan prajurit Inggris selama 30 tahun.

Martyn Day, pengacara yang menangani kasus tersebut, mulai mengumpulkan sejumlah dokumen seperti laporan dari kepolisian hingga laporan medis, serta beberapa data tentang anak-anak ras campuran. Martyn telah melaporkan hal tersebut pada Polisi Militer Kerajaan atau Royal Military Police (RMP). Namun RMP beranggapan bahwa beberapa data telah dipalsukan. RMP tidak bisa memeriksa pemeriksaan DNA pada anak-anak yang memiliki ras campuran karena pada saat itu terdapat 65 ribu – 100 ribu prajurit yang bertugas di Kenya selama periode 30 tahun. Alhasil, proses penyelidikan pun dihentikan.

Namun ketika Martyn meminta kembali dokumen yang telah dia serahkan, RMP menjelaskan bahwa semua dokumen tersebut telah hilang. Hingga kini dokumen tersebut tidak pernah ditemukan. Martyn menjelaskan bahwa kasus tersebut hingga kini belum ditutup. Namun tanpa adanya dokumen pendukung, kasus ini akan sulit diusut. Padahal kasus ini penting untuk diusut mengingat para korban berhak untuk mendapatkan kompensasi akibat perbuatan prajurit yang sangat merugikan korban.

Tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang dilakukan Rebecca Lolosoli memberikan dampak yang berarti bagi kehidupan para perempuan dan anak-anak korban kekerasan di Kenya. Bahkan tindakannya berhasil menginspirasi desa lain untuk melakukan hal serupa.

Kita tentu miris melihat kondisi saudara kita yang masih mengalami ketidakadilan di belahan dunia lain. Namun dari kasus ini, semoga bisa meningkatkan kepedulian kita akan pentingnya kesetaraan hak antara pria dan perempuan di lingkungan sekitar kita.

Semoga suatu hari nanti, semua perempuan di dunia tidak akan lagi mengalami diskirminasi maupun kekerasan agar dunia dapat hidup dalam damai.

darajingga Photo Verified Writer darajingga

Underdog

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya