AS Tuduh OPEC-Rusia Berkolusi karena Kurangi Produksi Minyak Global 

Rusia yang paling diuntungkan jika harga minyak naik

Tangerang Selatan, IDN Times - Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC+), pada Rabu (5/10/2022), sepakat untuk mengurangi produksi minyak. Keputusan itu sempat ditentang oleh Amerika Serikat (AS), lantaran organisasi itu dituduh bersekongkol dengan Rusia untuk menaikkan harga.

Pemimpin de facto OPEC, Arab Saudi, menjelaskan bahwa pemangkasan produksi minyak 2 juta barel per hari itu perlu dilakukan, untuk menanggapi kenaikan suku bunga di Barat, serta menghadapi situasi ekonomi global yang lebih lemah.

Arab Saudi juga membantah pernyataan AS, yang dituduh berkolusi dengan Rusia untuk mendorong harga yang lebih tinggi. Kerajaan mengatakan bahwa barat sering didorong oleh “arogansi kekayaan” ketika mengkritik kelompok tersebut.

1. AS kecewa dengan keputusan OPEC yang bersekongkol dengan Rusia  

Menanggapi keputusan itu, Gedung Putih mengatakan bahwa Presiden Joe Biden kecewa dengan keputusan OPEC+. Pihaknya juga akan terus meninjau, apakah akan merilis stok minyak strategis lebih lanjut untuk menurunkan harga.

"Presiden kecewa dengan keputusan picik OPEC+ untuk memangkas kuota produksi, sementara ekonomi global menghadapi dampak negatif lanjutan dari invasi Putin ke Ukraina," ujar Gedung Putih, dikutip dari Reuters.

Menjelang pemilihan paruh waktu, Biden menghadapi peringkat persetujuan yang rendah akibat inflasi yang melonjak. Sebagai sekutu jangka panjang Arab Saudi, AS telah meminta kerajaan untuk membantu turunkan harga minyak.

Baca Juga: Turis Amerika yang Hilang saat Rafting di Gianyar Belum Ditemukan 

2. AS ingin hilangkan pendapatan Rusia dari hasil penjualan minyak  

Melansir MEMO, para pejabat AS mengungkapkan alasan Washington menginginkan harga minyak yang lebih rendah, yaitu untuk menghilangkan pendapatan minyak Rusia.

Sebelumnya, Biden mengunjungi Riyadh untuk mendapatkan komitmen kerja sama energi yang lebih erat, namun hal tersebut gagal diraihnya. Hubungan keduanya juga semakin tegang, lantaran Arab Saudi enggan mengutuk invasi Rusia ke Ukraina.

Pengurangan pasokan minyak dapat memacu pemulihan harga minyak yang telah turun menjadi sekitar 90 dolar AS (Rp1,4 juta), dari 120 dolar AS (Rp 1,8 juta) per barel saat tiga bulan lalu, tepatnya ketika muncul kekhawatiran resesi ekonomi global, kenaikan suku bunga AS, dan dolar yang lebih kuat.

Menteri Energi Arab Saudi, Abdulaziz bin Salman, mengatakan bahwa OPEC+ harus proaktif karena bank sentral di seluruh dunia bergerak terlambat mengatasi inflasi, yang melonjak dengan suku bunga yang lebih tinggi

Sebelumnya, Barat menuduh Rusia karena memanfaatkan energi sebagai balasan sanksi. Adapun melonjaknya harga gas dan perebutan dalam mencari energi alternatif telah menciptakan krisis di Eropa. Hal itu juga memicu adanya penjatahan gas dan listrik pada musim dingin.

3. Rusia lanjutkan kerja sama dengan OPEC sampai akhir 2023

Sementara itu, Moskow menuduh barat menggunakan dolar sebagai senjata, lalu menerapkan sistem keuangan seperti pembayaran internasional Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) sebagai pembalasan atas Invasi Rusia ke Ukraina.

Wakil Perdana Menteri Rusia, Alexander Novak, yang pekan lalu diberikan sanksi khusus oleh AS, ikut berpartisipasi dalam pertemuan OPEC+ di ibu kota Wina, Austria.

Meski dihukum AS, Novak tidak ikut disanksi oleh Uni Eropa. Dia dan anggota OPEC+ lainnya setuju untuk memperpanjang kesepakatan kerja sama dengan OPEC hingga akhir 2023.

Baca Juga: AS Akan Kirim Bantuan Senjata Senilai Rp9,5 T ke Ukraina, Rusia Geram!

Syahreza Zanskie Photo Verified Writer Syahreza Zanskie

Feel free to contact me! syahrezajangkie@gmail.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya