Beirut, Kota yang Pernah Dijuluki Parisnya Timur Tengah 

Selalu dihajar konflik berdarah

Jakarta, IDN TimesBeirut identik dengan konflik berdarah. Grup musik legendaris Bimbo, menuangkan suasana di ibu kota Lebanon itu dalam lagu yang dibuat pada tahun 1980-an, saat Bimbo rajin mengirimkan pesan kritik sosial lewat karyanya.

“Datanglah. Siapa yang ingin berperang
Ke antara Kabul dan Beirut. Dengarlah..dengarlah. 
Hymne perang berlagu kencang. Kian hari kian meluas
Antara Kabul dan Beirut
Apinya minyak, apinya nafsu, apinya mesiu, membakar semuanya.
Datanglah.. Siapa yang ingin berperang…"

Tak urung, dunia dibuat kaget dengan ledakan dahsyat di Pelabuhan Beirut, Selasa (4/8/2020). Ledakan yang dipicu oleh tumpukan amonium nitrat itu sejauh ini menewaskan 154 orang, dan melukai 5000-an orang. Gambar yang beredar di media sosial sungguh mengenaskan. Bagian kota nampak porak-poranda.

Ledakan itu menimbulkan beragam spekulasi, dan terjadi beberapa saat jelang vonis PBB atas pembunuhan mantan Perdana Menteri Rafik al-Hariri yang terjadi pada 14 Februari 2005.

Bantuan mulai mengalir. Termasuk upaya evakuasi korban yang dilakukan Kontingen Garuda yang bergabung dengan Pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Lebanon (UNIFIL). Tidak kurang dari Presiden Prancis Emmanuel Macron berkunjung ke lokasi ledakan.

Wajah Beirut yang terluka parah, mengingatkan bahwa kota ini pernah dijuluki sebagai "Parisnya Timur Tengah”. Kota yang dianggap elegan, cantik, dan pernah jadi tujuan populer bagi wisatawan mancanegara.

Baca Juga: Pemerintah Lebanon Perkirakan Kerugian Akibat Ledakan Capai Rp218,5 T

1. Beirut, kota dengan jejak budaya barat paling kental di Timur Tengah

Beirut,  Kota yang Pernah Dijuluki Parisnya Timur Tengah Beirut. (Instagram/Beirutpage)

Beirut adalah kota yang penuh kontradiksi, paduan karakter kosmopolitan dan canggih, provinsial dan budaya politik yang sempit. Sebelum tahun 1975, Beirut secara luas dianggap sebagai kota yang paling kebarat-baratan di Timur Tengah, tempat masyarakat Arab. Namun, perang saudara selama 15 tahun menghancurkan sebagian besar kota dan mengikis banyak kilau yang sebelumnya menyembunyikan sisi Arab, baik dari aspek karakter maupun dialek bahasa dari populasi di Lebanon.

Kendati semangat sektarian dan ideologi yang muncul gara-gara perang saudara, Beirut sebenarnya tetap menyimpan cara hidup yang liberal dan toleran. Pada 1990-an, Beirut secara ekstensif memulai proses mengembalikan kegiatan ekonomi dan membangun tempat-tempat yang menjadi simbol budayanya.

Kota Beirut berada di dua bukit, al-Ashrafiyyah (Beirut Timur) dan al-Musaytibah (Beirut Barat), yang menjorok ke laut bagaikan segitiga semenanjung Beirut.

Laman The Culture Trip memuat bahwa di masa kejayaan budayanya, tidak ada kota di Timur Tengah yang pas menjadi tempat bertemunya budaya dan fesyen, sebagaimana Beirut. Campuran antara Timur dan Barat, tradisional dan modernitas, membuat ibu kota Lebanon ini dapat sebutan “Parisnya Timur Tengah”. Kendati perang mengoyak kota dan melelahkan penduduknya, warga di sana menunjukkan mereka bisa mengubah tragedi menjadi inovasi budaya.

2. Beirut pernah menjadi koloni Prancis

Beirut,  Kota yang Pernah Dijuluki Parisnya Timur Tengah Beirut. (Arsip Universitas Indiana, AS)

Sebutan Parisnya Timur Tengah tidak hanya karena suasana budaya yang terasa kental di Beirut. Kota ini menjadi pusat dari negara yang pernah menjadi koloni Perancis selama Perang Dunia II.

Pada saat itu, Beirut adalah pusat dari diskursus politik dan perjuangan kaum intelektual.  Untuk sebuah negara yang dikepung pengalaman diokupasi dari masa-ke masa, warga Lebanon selalu mempertanyakan identitasnya dan pertentangan peradaban yang mereka alami. 

Ini adalah fenomena yang menjadi cikal-bakal debat dan adopsi ideolologi dan nilai-nilai yang baru. Dalam konteks ini, pengaruh Perancis sangat nyata dalam semua aspek budaya warga Lebanon.

3. Dalam hal fesyen dan gaya hidup, Beirut dipandang kiblat di Timur Tengah

Beirut,  Kota yang Pernah Dijuluki Parisnya Timur Tengah Novelis Nova Riyanti berkunjung ke Beirut, 2018. Dok pribadi

Tidak ada kota di Timur Tengah yang bisa mendekati Prancis, dalam hal fesyen dan gaya hidup, seperti Beirut.  Kota ini adalah rumah bagi para desainer top dunia seperti Elie Saab, Zuhair Murad dan Reem Acra. Karya mereka digunakan para aktris dan  model di ajang dunia termasuk acara Oscar. Nama-nama ini mendominasi ajang Paris Fashion Week setiap tahun.

Kafe-kafe di Beirut mengusung gaya kafe di Paris, menjadi tempat diskusi intelektual, dan kota ini juga sibuk dengan gelaran seni budaya, pertunjukan dan malam pembacaan puisi.  Bahkan jalan-jalan dan arsitektur di sana menggambarkan alasan menyebut Beirut sebagai Parisnya Timur Tengah. 

Ini bisa diihat dari foto-foto yang diambil tahun 50-an dan 70-an.  Hotel, gedung, monumen, taman kota yang kaya dengan pengaruh Perancis.

Novelis Nova Riyanti Yusuf yang juga ahli kesehatan jiwa pernah berkunjung ke Beirut tahun 2018 untuk memberikan ceramah di Arab Beirut University. “Aduh, Beirut itu orang-orangnya sangat fashionable. Bayangin aja Amal Clooney,” tulis Nova di dinding halaman Facebook-nya. Amal Clooney, pengacara yang aktif membela Hak Asasi Manusia di panggung dunia, lahir di Beirut.  Dia menikah dengan aktor George Clooney.

Dia menyebut beberapa hal yang berkesan dari Beirut, termasuk Baalbeck, Cedar Tree dan Museum Khalil Gibran, pujangga asal Lebanon.

Baca Juga: Beirut Sambut Presiden Prancis: Anda adalah Harapan Kami Satu-satunya 

4. Kemolekan Beirut dilukai oleh perang sipil pada 1975

Beirut,  Kota yang Pernah Dijuluki Parisnya Timur Tengah Pelabuhan Beirut pasca ledakan amonium nitrat (4/8/2020). (Instagram/Beirutpage)

Berabad lamanya, di Beirut tiga kelompok agama hidup berdampingan, yaitu Kristen, Muslim Sunni, dan Muslim Syiah. Bahkan dengan jejak sejarah yang menyedihkan dari Perang Salib, dan memanasnya hubungan antara kelompok Sunni dan Syiah, ketiga kelompok ini sepakat berbagi kekuasaan dan peran.

Sampai kemudian, pada 1975, pecah perang saudara antara milisi Palestina dan milisi Kristen. Negara tetangga Lebanon, Suriah dan Israel ikut campur dalam perang itu, mendukung pihak yang berbeda. Iran, Prancis, Rusia, dan AS, lantas terlibat secara militer.

Dari 1975 sampai 1990-an, tidak kurang dari 120 ribu rakyat Lebanon terbunuh, puluhan ribu harus mengungsi, dan terjadi eksodus besar-besaran ke luar negeri. Pada 1980-an, tentara Israel invasi ke Lebanon. Israel menduduki kota Beirut dan memberlakukan keadaan darurat di sana.

Dalam upaya memerangi Israel, awal 1980-an, muncul Hezbollah, kelompok yang didukung Syiah Iran. Di antara manifesto Hezbollah, adalah tekad mereka untuk mengusir pihak AS, Prancis dan sekutunya dari Lebanon dengan alasan menghapuskan penjajahan dari tanah air Lebanon.

Pada 1983, sebanyak 220 anggota marinir AS dan 21 personel lainnya terbunuh dalam tragedi bom bunuh diri dengan truk di Beirut. Tidak lama sesudah itu, serangan bom bunuh diri yang kedua terjadi, menghancurkan bangunan di Beirut dan menewaskan 58 tentara Prancis yang ditempatkan di sana.

Presiden AS saat itu, Ronald Reagan, memerintahkan menarik seluruh tentara AS di Lebanon.

Laman trendresearch memuat, Beirut terus-menerus dikepung tragedi berdarah, sampai pada 2005, ketika tentara Suriah, yang menguasai bagian dari kota itu selama 29 tahun, akhirnya dipaksa keluar dari kota sebagai bagian dari perjanjian damai.

Kota ini terjebak dalam konflik geopolitik antara Iran yang mendukung Hezbollah di satu sisi, dan Israel, Arab Saudi dan AS di sisi lainnya. Bagian timur kota, sebagian dikuasai kelompok Kristen, sedangkan bagian barat dihuni kelompok Sunni, sementara kelompok Syiah menduduki bagian selatan kota.

Sejak 2005, kota Beirut dibangun kembali. Bangunan yang rusak direstorasi. Sejak itu sejumlah desainer fesyen, juru masak terkemuka dan pengusaha kembali ke Beirut, menata hidup dan bisnisnya.

Masalahnya, kekayaan yang mereka keruk, tidak berdampak kepada kehidupan rakyat.  Kesenjangan melebar. Rakyat protes atas menurunnya kualitas hidup, kemiskinan dan pemerintahan yang korup.

Ekonomi Lebanon memburuk, apalagi kemudian datang pandemik COVID-19.

Saat Presiden Macron meninjau lokasi ledakan, di Pelabuhan Beirut, ratusan warga unjuk-rasa. Mereka menuntut pemimpin politik di Lebanon mundur. Sebagian pengunjuk rasa bahkan meminta Prancis kembali mengambilalih kekuasaan di negeri itu.

Di mata mereka, Lebanon pernah merasakan kondisi damai dan sejahtera di era protektorat Prancis sampai tahun 1943.  Pula saat kekuasaan Prancis di Lebanon sampai awal 1970-an.

Ledakan dashyat 2.750 ton amonium nitrat itu membuat wajah Beirut luka parah. Begitu pula citra sebagai kota cantik di Timur Tengah.

Baca Juga: Begini Kronologi Ribuan Ton Amonium Nitrat Masuk ke Beirut dan Meledak

Topik:

  • Anata Siregar
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya