Hasil Awal Referendum, Selandia Tolak RUU Legalisasi Ganja

Warga setuju eutanasia

Jakarta, IDN Times – Hasil awal referendum menunjukkan Selandia Baru menolak legalisasi ganja. Referendum juga mengindikasikan hasil menerima eutanasia, yaitu praktik mencabut kehidupan dengan cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit, atau kalaupun sakit, minimal banget. Banyak negara termasuk Indonesia melarang praktik eutanasia.

Referendum atas rancangan Undang-Undang melegalisasi dan mengendalikan peredaran ganja digelar 17 Oktober 2020 bersamaan dengan referendum  aturan pilihan mengakhiri hidup, serta pemilihan umum.

Hasil awal referendum diumumkan Komisi Pemilihan pada Jumat siang (30/10/2020).  Laman NZ Herald melaporkan, 1.114.485 atau 46,1 persen penduduk Selandia Baru mendukung draf UU legalisasi ganja, sementara 1.281.818 atau 53,1 persen menentang legalisasi ganja.

Per bulan Maret 2020, Selandia Baru berpenduduk sekitar 5 juta orang.

 

Baca Juga: Meski Dilarang, Ganja Terbukti dapat Menyembukan 5 Penyakit Ini

1. Dalam RUU, warga berusia 20 tahun ke atas boleh beli ganja

Hasil Awal Referendum, Selandia Tolak RUU Legalisasi GanjaIlustrasi Suasana Selandia Baru (IDN Times/Umi Kalsum)

Rancangan Undang-Undang legalisasi ganja antara lain mengatur agar warga yang berusia 20 tahun ke atas, boleh membeli sampai 14 gram ganja kering per hari dari toko yang sudah berlisensi. Selain itu, diusulkan agar boleh memasuki lokasi di mana ganja dijual secara resmi ataupun dikonsumsi.

Mengonsumsi ganja di bangunan pribadi atau di tempat yang berlisensi, juga diusulkan agar diizinkan. Warga juga diizinkan menanam dua sampai empat ganja per rumah tangga. Juga diusulkan agar dibolehkan membagi sampai 14 gram ganja kering kepada orang lain yang berusia 20 tahun ke atas. Iklan ganja dan produk turunan tetap diusulkan dilarang.

Sebelum referendum digelar, jajak pendapat Newshub-Reid menunjukkan hasil yang sama, bahwa pemilih bakal menolak legalisasi ganja.

Meski begitu, optimisme bahwa RUU ini bakal lolos sempat muncul setelah kemenangan yang mengejutkan oleh Chloe Swarbrick, anggota parlemen dari Partai Hijau yang dianggap sebagai “duta” dari kampanye mendukung legislasi legalisasi ganja.

Analis mengemukakan, hasil referendum soal ini bisa saja mengecewakan para pihak.

“Kita tahu bahwa pemilih sayap kiri biasanya pro legalisasi ganja, dan pemilih muda pun lebih mungkin pro pula,” kata guru besar Universitas Auckland, Lara Greaves.

Hasil final referendum akan diumumkan tanggal 6 November 2020. Jika hasilnya tetap menolak, maka ganja tetap ilegal sesuai dengan UU Penyalahgunaan Obat-Obatan tahun 1975.

2. 80 persen warga Selandia Baru konsumsi ganja, termasuk PM Ardern

Hasil Awal Referendum, Selandia Tolak RUU Legalisasi GanjaPerdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern ketika berkampanye (ANTARA FOTO/REUTERS/Fional Goodall)

Bahkan, Perdana Menteri Jacinda Ardern mengakui dirinya, zaman dulu banget, pernah mengonsumsi ganja. Ardern menyampaikan hal itu dalam debat yang disiarkan televisi, dalam pemilu Selandia Baru belum lama ini.

Laman The Guardian melaporkan, meskipun melanggar aturan, sebanyak 80 persen populasi di Negeri Kiwi itu mengakui pernah mengonsumsi ganja. Penggunaan bahan baku ganja dalam obat-obatan dengan resep dokter selama ini diperbolehkan di sana.

Tanaman ganja mudah ditemui di seantero negeri, terutama di bagian utara yang iklimnya sub tropikal, dan ganja sudah lama diperdagangkan di pasar gelap.

Yayasan obat-obatan, yang mendukung legalisasi ganja menyampaikan data, 80 persen yang mengakui pernah konsumsi ganja melakukannya di usia 20 tahun, dan 12 persen mengaku mengonsumsi ganja di tahun-tahun sebelumnya. Mirip pengalaman PM Ardern.

Di sini nampak bahwa warga Kiwi tergolong pengguna ganja terbesar di dunia. Bandingkan dengan laporan terkait soal kondisi di negara tetangganya, Australia. Laporan 2019 menunjukkan di Negeri Kanguru, hanya 36 persen warganya mengaku pernah mencicipi ganja selama hidup mereka dan 11,6 persen konsumsi ganja sedikitnya satu kali dalam setahun.

Di Kanada, konsumsi ganja secara reguler di kalangan warga usia 15 tahun ke atas meningkat 16,8 persen, dari 14,9 persen setelah ganja dilegalkan pada 2018. Studi yang dilakukan pemerintah Kanada juga menunjukkan hampir separuh warga Kanada menggunakan ganja dalam periode sejak 2018.

PM Ardern (40 tahun), dalam debat pemilu, menolak mengatakan bagaimana sikapnya dalam referendum, sementara pemimpin oposisi Judith Collins (61 tahun) menyatakan akan menolak legalisasi ganja dalam referendum.

Ardern memenangi pemilu dengan suara signifikan dan memimpin Negeri Kiwi ujtuk periode kedua.

Baca Juga: Jacinda Ardern Menangi Pemilu Selandia Baru, Jadi PM Lagi

3. Mengapa ada yang mendukung legalisasi konsumsi dan kepemilikan ganja?

Hasil Awal Referendum, Selandia Tolak RUU Legalisasi GanjaPolisi amankan tanaman ganja di Bandung. (IDN Times/Bagus F)

Mereka yang mendukung legalisasi ganja meyakini bahwa legalisasi tidak ada ruginya, karena hal itu akan menghapus perdagangan ilegal yang selama ini dilakukan kelompok gangster. Selain itu, jika ada regulasi resmi, maka akan menjaga kualitas produk ganja dan menutup akses bagi mereka yang usianya di bawah 20 tahun.

Selain itu, para pendukung draf legalisasi ganja berargumentasi bahwa masyarakat pribumi Selandia Baru, suku Maori, selama ini jadi korban diskriminasi saat ketahuan menggunaan ganja.  Mereka dianggap tiga kali lebih berisiko ditangkap dan dihukum atas kepemilikan ganja dibandingkan dengan warga non Maori.

Pihak yang menentang legalisasi ganja tentu mengatakan bahwa konsumsi ganja banyak mudharatnya.  Merugikan kesehatan mental, terutama di kalangan anak-anak.  Melegalkan konsumsi dan kepemilikan ganja akan mengirmkan sinyal kepada anak-anak, bahwa boleh konsumsi ganja.

Bersamaan dengan pemilihan umum, kesadaran muncul di kalangan orang tua, sehingga memberikan suara menolak legalisasi ganja, meskipun mereka sendiri pernah mengonsumsinya.

Baca Juga: Komunikasi Publik COVID-19, Pemimpin Perempuan Lebih Baik

Topik:

  • Anata Siregar
  • Hidayat Taufik

Berita Terkini Lainnya