Kalah Pilpres AS, Nasib Proposal Damai Israel-Palestina Versi Trump

“Deal of the Century” kehilangan taji

Jakarta, IDN Times - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump mengumumkan detail dari proposal politik untuk solusi konflik Palestina-Israel pada 28 Januari 2020. Proposal ini disebut sebagai “Deal of the Century” atau Kesepakatan Abad Ini. Pengumuman ini terjadi setelah delapan bulan sebelumnya mereka meluncurkan proposal ekonomi untuk konflik yang sama, yang diberi tajuk, “Peace to Prosperity” atau perdamaian untuk kemakmuran.

Proposal ekonomi ini dirilis di Manana, ibu kota Bahrain, dalam sebuah rapat kerja pada Juni 2019. Proposal ini akhirnya dibeberkan setelah diskusi yang sangat intensif selama
tiga tahun. Dua proposal, politik dan ekonomi, kemudian diberi judul, “Peace to Prosperity: A Vision to Improve the Lives of the Palestinian and Israeli People”. Sebuah visi untuk memperbaiki kehidupan warga Palestina dan Israel.

Rencana Trump setebal 181 halaman, terdiri dari 22 bagian yang mencakup isu legitimasi aspirasi dari kedua pihak (Palestina dan Israel), solusi dua negara, status Yerusalem, kedaulatan, perbatasan, keamanan, pengungsi, tahanan, lintas perbatasan, Jalur Gaza dan pertukaran komersial. Secara ekonomi, proposal itu menjanjikan investasi asing senilai lebih dari 50 miliar dolar AS selama 10 tahun sebagai bagian dari program integrasi ekonomi regional.

Dalam naskahnya, juga ada empat tambahan konten, yaitu proposal perbatasan untuk kedua negara; kepentingan keamanan Israel, terutama kontrol penuh atas lembah Yordania; konsolidasi keamanan Israel terhadap “pelucutan” senjata negara Palestina, termasuk hak untuk intervensi langsung jika ada ancaman potensial di perbatasan. Termasuk pula konfirmasi pelintasan internasional dengan Yordania dan Mesir, begitu juga mengatur wilayah teritorial perairan yang diusulkan negara Palestina.

Doha Institute memuat pokok-pokok penting dalam “Deal of the Century”, sebagaimana dipaparkan di sini.

Baca Juga: Mendadak! Pemerintah Indonesia Buka Visa Calling untuk Israel 

1. Pembentukan negara Palestina yang direstui AS, menempatkan Israel sebagai pengawas keamanan

Kalah Pilpres AS, Nasib Proposal Damai Israel-Palestina Versi Trump(Ilustrasi) ANTARA FOTO/REUTERS/Ibraheem Abu Mustafa

Di dalam bagian yang diberi judul, “solusi dua negara yang realistis”, proposal menyatakan bahwa kemerdekaan Palestina dengan keterbatasan kedaulatan, yang bergantung kepada kekhawatiran Israel soal keamanan, pelucutan senjata di pihak Palestina, posisi negara yang wilayahnya dihubungkan dengan terowongan bawah tanah dan jembatan, di bawah pengawasan aparat keamanan Israel.

Sebagai gambaran, kota suci Yerusalem jaraknya hanya 20-an kilometer dari Ramallah, pusat kegiatan politik dan ekonomi Palestina. Yerusalem saat ini dikuasai Israel dan menjadi ibu kota politik negara itu.

Proposal ini juga mewajibkan Palestina menjalankan patroli keamanan di dalam wilayah Palestina, yang juga harus memberikan kontrol keamanan kepada Israel terhadap wilayah udara dan Sungai Yordania. Praktis dalam proposal Trump ini, Palestina harus mengalah banyak termasuk menghentikan gerakan perlawanan.

Palestina juga diharuskan membangun lembaga yang transparan, antikorupsi, melakukan reformasi di kelembagaannya dan mengakhiri upaya menghasut kebencian terhadap Israel, negara Yahudi. “Jika semua kriteria ini dipenuhi maka AS akan mendukung pembentukan negara Palestina,” demikian proposal itu.

2. Kekuasaan atas tanah dan pergerakan dalam wilayah Israel-Palestina

Kalah Pilpres AS, Nasib Proposal Damai Israel-Palestina Versi TrumpIlustrasi Bendera Palestina (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.)

Proposal Trump menetapkan bahwa 87 persen dari wilayah yang saat ini di bawah kontrol Israel di Tepi Barat, akan dikuasai Israel. Sebanyak 97 persen populasi Palestina yang tinggal di Tepi Barat akan tinggal di bawah negara Palestina yang direncanakan, sementara tiga persen lainnya akan hidup di kantong-kantong tanah di wilayah Israel.

Ditekankan pula bahwa tidak boleh ada “perpindahan paksa populasi dari warga Arab maupun Yahudi", yang bisa memicu kerusuhan sipil. “Deal of the Century” juga mengusulkan perpindahan wilayah yang bisa menurunkan beban demografi Israel, terutama di “Segitiga Komunitas” yang dihuni warga Palestina yang memegang kartu kewarganegaraan Israel.

Komunitas ini didefinisikan sebagai Kufr Qara, Ar/ara, Baha al-Gharbiyye, Umm al Fahmn, Qalansawa, Al Tayibe, Kufr Qasim, Al Tira, Kufr Bara dan Jaljulia. Dijelaskan di sana bahwa, komunitas-komunitas ini, yang secara umum mengidentifikasikan dirinya sebagai bangsa Palestina, awalnya diarahkan untuk berada di bawah kontrol Yordania di bawah negosiasi garis Armistice pada 1949. Namun, sejak itu berada di bawah kekuasaan Israel dengan alasan militer dan berlangsung sampai kini.

3. Posisi kota suci Yerusalem dalam proposal damai Trump

Kalah Pilpres AS, Nasib Proposal Damai Israel-Palestina Versi TrumpDome of the Rock terlihat di latar belakang saat warga Palestina berkumpul di halaman yang dikenal oleh Muslim sebagai "Noble Sanctuary" (Tempat Suci Mulia) dan untuk Yahudi sebagai "Temple Mount", untuk merayakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW di Kota Tua Yerusalem, Kamis (29/10/2020) (ANTARA FOTO/REUTERS/Ammar Awad)

Proposal ini menetapkan bahwa Yerusalem tetap menjadi ibu kota negara Israel, sesuai dengan batas-batas wilayah saat ini. Ibu kota negara Palestina akan berada di bagian timur dari kota Yerusalem ke arah utara dan timur dari dinding batas keamanan, termasuk Kafr Aqab, bagian timur dari Shuafat dan Abu Diis – yang dikenal sebagai “Al Quds” atau nama lain yang dipilih otoritas Palestina.

Sejak peluncuran proposal ini, Netanyahu mengafirmasi bahwa ibu kota Palestina bakal terletak di Abu Dis, 1,6 kilometer di timur Kota Tua Yerusalem. Padahal di wilayah Kota Tua ini ada tiga situs suci agama: Masjid Al Aqsa, Gereja tempat Yesus disalib, Dinding Ratapan warga Yahudi.

Menurut ide Trump, situs suci Islam yaitu Masjid Al Aqsa bakal tetap di bawah pengawasan keluarga keturunan Hashemite, dan bukannya di bawah kedaulatan Palestina, dan pengawasan keamanannya secara permanen masih dilakukan Israel seperti saat ini. Dalam peta di proposal Trump, penduduk Palestina di Yerusalem yang tinggal di luar garis Armistice 1949, namun di dalam tembok keamanan saat ini bisa memilih tiga opsi, yakni menjadi warga Israel, menjadi warga Palestina, tetap dengan status menjadi warga di Israel.

Baca Juga: Terkait Israel, Palestina Ragu Kebijakan Biden akan Berubah

4. Pengaturan perbatasan dan keamanan di proposal Trump

Kalah Pilpres AS, Nasib Proposal Damai Israel-Palestina Versi TrumpIlustrasi Palestina di Google Map (IDN Times/Santi Dewi)

Rencana Trump memuat peta yang menunjukkan bahwa Lembah Yordania tetap di bawah kekuasaan Israel dan negeri ini bertanggung jawab untuk keamanan di batas perlintasan internasional menuju negara Palestina, termasuk di Rafah, di mana akan ada kesepakatan khusus antara Israel dan Mesir.

Petugas perbatasan laut Israel juga memiliki hak untuk mencegah pengiriman senjata dan barang terlarang yang bisa digunakan membuat senjata ke negara Palestina (termasuk di Gaza, wilayah yang dikuasai Partai Hamas).

Diatur pula bahwa negara Palestina akan punya hak untuk membangun pelabuhannya sendiri dan memiliki akses ke pelabuhan Israel seperti Haifa dan Ashdod, yang semuanya akan diawasi Israel. Negara baru Palestina tidak diizinkan melakukan perjanjian militer, tukar menukar informasi intelijen atau kesepakatan keamanan dengan negara dan organisasi yang mengancam keamanan Israel, sebagaimana didefinisikan Israel.

Palestina juga tidak bisa membangun kemampuan militer dan para militer. Israel masih memiliki hak untuk melakukan penggerebekan di wilayah Palestina jika dianggap ada ancaman bagi Israel.

5. Nasib pengungsi Palestina di proposal damai versi Trump

Kalah Pilpres AS, Nasib Proposal Damai Israel-Palestina Versi TrumpPendemo Palestina melindungi diri dari gas airmata yang ditembakkan tentara Israel dalam aksi protes menentang pemukiman Yahudi, di Beit Dajan dekat Nablus di wilayah pendudukan Israel, Tepi Barat, Jumat (9/10/2020) (ANTARA FOTO/REUTERS/Raneen Sawafta)

Proposal “Deal of the Century” menekankan bahwa penandatanganan kesepakatan antara Israel dan Palestina harus dijamin bakal mengakhiri semua klaim historis Palestina: tidak akan ada hak untuk kembali, atau penyerapan dari, setiap pengungsi Palestina ke negara Israel. Juga klaim yang menjadi masalah kedua soal pengungsi, yaitu setiap “warga Yahudi yang diusir dari negara Arab sesaat sesudah pendirian negara Yahudi Israel”,
yang berhak mendapatkan solusi yang adil, dan realistis atas isu terkait pengungsi Israel.

Menurut proposal ini, solusinya akan diatur dengan mekanisme yang pantas secara internasional dan ini diatur terpisah dari perjanjian damai Israel-Palestina. Warga Palestina yang tinggal di wilayah lain selama ini, tidak akan boleh kembali ke negara baru Palestina, meskipun mereka akan mendapatkan hak kompensasi berdasarkan kerangka aturan internasional soal pengungsi.

Rencana Trump menawarkan tiga opsi bagi pengungsi Palestina, yaitu penyerapan ke negara Palestina (dengan catatan bergantung kepada kesepakatan dengan Israel soal jumlahnya), integrasi ke negara di mana pengungsi Palestina itu tinggal (bergantung kepada izin negara itu), dan penerimaan 5 ribu pengungsi Palestina setiap tahunnya selama 10 tahun sesudah perjanjian oleh negara anggota kerja sama organisasi negara Islam (OKI) yang bersedia berpartisipasi.

6. Trump dan Netanyahu sedang menghadapi masalah dalam negeri saat proposal diluncurkan

Kalah Pilpres AS, Nasib Proposal Damai Israel-Palestina Versi TrumpANTARA FOTO/REUTERS/Kevin Lamarque

Selain terlalu menguntungkan Israel, proposal damai ini dianggap sulit diimplementasikan karena saat diumumkan, baik Trump maupun Netanyahu menghadapi problem domestik. Trump menghadapi ancaman dimakzulkan dalam proses di Senat, sedangkan Netanyahu dikepung gugatan korupsi.

Pemerintahan Trump juga mengincar manfaat dari pertikaian di antara negara Arab, di mana di antara mereka diganggu oleh konflik dengan Iran dan beberapa negara menunjukkan minat bekerja sama dengan Israel untuk konfrontasi melawan Teheran.

Kondisi ini dimanfaatkan Trump untuk menekan Palestina agar mau berunding dan menerima proposalnya. Kalkulasi ini sementara terbukti, dengan sikap Uni Emirat Arab dan Bahrain membuka hubungan diplomatik dengan Israel, atas bujukan AS. Dua negara ini, ditambah Kerajaan Oman, Arab Saudi dan Mesir, menyampaikan tanggapan positif saat proposal diluncurkan di Washington D.C, dan menyebutnya sebagai “negosiasi damai
di bawah proteksi AS”.

Kajian Doha Institute atas “Deal of the Century” menyebutkan bahwa administrasi Trump sebenarnya mengambil inti proposal dari sikap kelompok sayap kanan di politik Israel beberapa tahun lalu, dengan sedikit modifikasi dan mengambil untung dari perpecahan di antara negara di Arab dan lemahnya kepemimpinan di Palestina.

Bagi mayoritas warga Palestina, proposal karya AS yang disepakati Israel ini, bagaikan bertepuk sebelah tangan. Sulit untuk diterima Palestina. Sejak Trump bersikeras memindahkan kedutaan besar AS ke Yerusalem, Palestina memutus komunikasi dengan AS.

Kekalahan Trump di Pemilihan Presiden 2020, makin mengubur “Deal of the Century”. Apalagi pemerintahan baru di era Joe Biden, menyimpan kesal mendalam selama proses kampanye pilpres.

Bagaimana proposal damai versi Biden-Kamala Harris?

Baca Juga: Merasa Dikhianati, Palestina Tolak Kesepakatan Damai UEA-Israel

Baca Juga: Ini Rencana Bisnis dan Politik Trump Setelah Tinggalkan Kursi Presiden

Topik:

  • Dwifantya Aquina
  • Hidayat Taufik

Berita Terkini Lainnya