Mengapa Pandemik COVID-19 di AS Paling Parah?

Tingkat kematian sangat tinggi

Jakarta, IDN Times – Empat puluh lima hari sebelum dunia mengetahui kasus pertama virus corona, yang kemudian dikenal sebagai COVID-19, Indeks Keamanan Kesehatan Dunia terbit. Proyek ini dipimpin oleh Inisiatif Ancaman Nuklir dan Pusat Keamanan Kesehatan John Hopskin, menilai 195 negara dalam hal persepsi kemampuan mereka menangani wabah penyakit skala besar. Amerika Serikat ada di peringkat pertama. Paling siap.

Apa yang terjadi kemudian? Kita bisa menelusurinya dari laporan jurnalis TIME, Alex Fitzpatrick dan Elijah Woflson yang diterbitkan 10 September 2020.

Mengapa ini menarik? Karena pejabat di Indonesia saat dikritisi soal buruknya penanganan pandemik di Indonesia, selalu beralasan, “Lihat AS, negara besar yang juga kewalahan menangani pandemik.”

Laporan ini menceritakan mengapa AS mengalami pandemik yang parah.

Baca Juga: Sudah Tertular, Donald Trump Masih Juga Remehkan COVID-19

1. Pemerintah AS dianggap telat merespons pandemik COVID-19

Mengapa Pandemik COVID-19 di AS Paling Parah?Presiden Amerika Serikat Donald Trump bekerja di Kamar Kepresidenan sambil menerima perawatan setelah di tes positif penyakit virus korona (COVID-19) di Walter Reed National Military Medical Center di Bethesda, Maryland, Amerika Serikat, Sabtu (3/10/2020) (ANTARA FOTO/Joyce N. Boghosia/The White House/Handout via REUTERS)

Jelas sekali bahwa laporan itu terlalu percaya pada kemampuan AS, gagal memperhitungkan penyakit sosial yang telah terakumulasi di negara itu selama beberapa tahun terakhir, yang membuatnya tidak siap untuk apa yang akan terjadi. Bulan September 2020, jumlah kematian terkait virus corona yang dikonfirmasi di AS melampaui 200 ribu, lebih banyak daripada di negara lain sejauh ini.

Jika, di awal musim semi, AS telah memobilisasi sumber daya dan keahliannya yang cukup dalam upaya nasional yang terpadu untuk bersiap menghadapi virus, situasinya mungkin akan berbeda.

Jika, di pertengahan musim panas, negara telah melipatgandakan tindakan penting (masker, aturan jaga jarak sosial, pembatasan aktivitas di dalam ruangan yang dan pertemuan publik) yang mestinya bakal berhasil baik, alih-alih mengumumkan kemenangan melawan virus secara prematur, keadaan mungkin akan berbeda. Tragisnya adalah jika sains dan solusi akal sehat disatukan dalam respons nasional yang terkoordinasi, AS dapat menghindari ribuan kematian lagi musim panas ini

2. Tingkat kematian COVID-19 di AS tergolong tertinggi negara terkaya di dunia

Mengapa Pandemik COVID-19 di AS Paling Parah?Spesialis pengambil darah memeriksa tekanan darah pasien terinfeksi virus corona yang sembuh Monica Jacobs sebelum ia mendonasikan plasma convalescent di Pusat Donor Darah Central Seattle Barat Laut ditengah wabah penyakit virus corona (COVID-19), di Seattle, Washington, Amerika Serikat, Rabu (2/9/2020) (ANTARA FOTO/REUTERS/Lindsey Wasson)

Memang, banyak negara lain alami situasi serupa, mampu menghadapi tantangan ini. AS tampaknya tidak bisa. Italia, misalnya, memiliki tingkat kasus per kapita yang sama dengan AS pada bulan April 2020. Perlahan mereka keluar dari situasi lockdown, membatasi perjalanan domestik dan luar negeri, memastikan kebijakan yang dilakukan pemerintahnya dipandu oleh para ilmuwan. Ini membuat Italia dapat mengendalikan COVID-19. Dalam periode waktu yang sama, kasus harian AS berlipat ganda, sebelum mulai turun di akhir musim panas.

Di antara negara-negara kaya dunia, hanya AS yang masih sulit mengendalikan pandemik. Dari 10 negara yang paling parah terkena dampak, AS memiliki jumlah kematian tertinggi ketujuh per 100 ribu penduduk; sembilan negara lain di 10 besar memiliki rata-rata Produk Domestik Bruto per kapita senilai 10.195 dolar AS, dibandingkan dengan 65.281 dolar AS PDB per kapita Amerika. Beberapa negara, seperti Selandia Baru, bahkan hampir memberantas COVID-19 sepenuhnya. Vietnam, tempat para pejabat menerapkan tindakan penguncian negara yang sangat ketat tidak mencatat satu pun kematian terkait virus hingga 31 Juli 2020.

Warga khawatir dengan berakhirnya musim panas, dan datangnya musim gugur. Perubahan musim ini justru membawa situasi lebih sulit. Di setiap tingkat — dari pejabat terpilih yang bertanggung jawab atas kehidupan jutaan hingga orang tua yang bertanggung jawab atas kehidupan satu atau dua anak — orang Amerika harus membuat keputusan yang hampir mustahil, terlepas dari kenyataan bahwa setelah berbulan-bulan menyaksikan negara mereka gagal, banyak yang sekarang sangat tidak percaya, gelisah dan bingung.

3. Kepemimpinan Presiden Trump dianggap kunci kegagalan penanganan COVID-19 di AS

Mengapa Pandemik COVID-19 di AS Paling Parah?Presiden Amerika Serikat Donald Trump bekerja di ruang konferensi sambil menerima perawatan setelah di tes positif penyakit virus korona (COVID-19) di Walter Reed National Military Medical Center di Bethesda, Maryland, Amerika Serikat, Sabtu (3/10/2020) (ANTARA FOTO/Joyce N. Boghosia/The White House/Handout via REUTERS)

Pada titik ini, warga AS dapat mulai melihat mengapa AS kandas: kegagalan kepemimpinan di banyak tingkatan dan lintas partai; ketidakpercayaan kepada ilmuwan, media dan keahlian secara umum; dan sikap budaya yang mendarah daging tentang individualitas dan bagaimana kita menghargai kehidupan manusia, semuanya digabungkan dan menghasilkan respons pandemik yang sangat tidak memadai. COVID-19 telah melemahkan AS dan mengungkap keretakan sistemik di negara itu, dan jurang pemisah antara apa yang dijanjikan bangsa ini kepada warganya dan apa yang sebenarnya diberikannya.

Meskipun masalah di AS terjadi di semua lini, tersebar luas, semuanya dimulai atas. Katalog lengkap kegagalan Presiden Donald Trump dalam mengatasi pandemik akan jadi catatan buruk dalam buku sejarah. Ada berminggu-minggu yang terbuang saat awal pandemik, karena sikap keras kepala, berpegang teguh pada keyakinan bahwa virus akan “menghilang” begitu saja; program pengujian dan pelacakan kontak tidak memadai; negara didorong untuk membuka kembali kegiatan sebelum pemerintah menerbitkan panduan bagi rakyat, dan berulang kali sikap pilih-pilih data statistik membuat situasi AS terlihat jauh lebih baik, sambil meremehkan ilmuwan yang mengatakan sebaliknya.

"Saya ingin selalu menganggap remeh," kata Trump kepada wartawan Bob Woodward pada 19 Maret 2020 dalam percakapan yang baru terungkap kemudian. “Saya menganggap ini soal kecil, karena saya tidak ingin membuat panik.”

Solusi yang masuk akal seperti memakai masker wajah dilemahkan atau diabaikan. Penelitian menunjukkan bahwa mengenakan penutup wajah secara signifikan mengurangi penyebaran COVID-19, dan budaya memakai masker yang sudah ada sebelumnya di Asia Timur sering disebut sebagai salah satu alasan negara-negara di kawasan itu dapat mengendalikan wabahnya.

Di AS, Trump tidak mengenakan masker di depan umum hingga 11 Juli 2020, lebih dari tiga bulan setelah Pusat Penyakit Menular (CDC) merekomendasikan masker penutup wajah, mengubah apa yang seharusnya menjadi masalah ilmiah menjadi masalah partisan. Survei Pew Research Center yang diterbitkan pada 25 Juni 2020 menemukan bahwa 63 persen dari pendukung Partai Demokrat dan independen yang condong ke Demokrat mengatakan masker harus selalu dikenakan saat berada di tempat umum. Bandingkan dengan hanya 29 persen pendukung Partai Republik dan independen yang condong ke Republik yang percaya perlunya menggunakan masker.

4. Insfrastruktur kesehatan AS kewalahan tangani pasien COVID-19, tes dan pelacakan rendah

Mengapa Pandemik COVID-19 di AS Paling Parah?Ilustrasi tes swab. (IDN Times/Mia Amalia)

Sejauh ini, kegagalan pemerintah yang paling mencolok adalah kurangnya infrastruktur pengujian yang memadai sejak awal. Uji usap dengan PCR adalah kunci untuk menangani pandemik — semakin banyak data yang dimiliki pejabat tentang pandemik ini, semakin siap mereka untuk melakukan tanggap darurat. Alih-alih memerintahkan lebih banyak pengujian, Trump malah menyarankan AS harus lebih sedikit melakukan pengujian.

Berulang kali Trump menyalahkan peningkatan kasus baru, yang menurut dia, gara-gara lebih banyak tes. "Jika kita tidak melakukan tes, kita tidak memiliki kasus," kata Presiden pada bulan Juni 2020, di mana kemudian dia berkilah sedang bersikap sarkastik.

Masalahnya, lebih sedikit tes berarti lebih sedikit kasus yang terdeteksi, bukannya tidak ada kasus. Di AS, persentase tes hasilnya positif meningkat dari sekitar 4,5 persen pada pertengahan Juni menjadi sekitar 5,7 persen pada awal September. Ini bukti virus menyebar terlepas dari apakah dilakukan tes yang memadai. Sebagai perbandingan, tingkat kepositifan harian di Jerman secara keseluruhan di bawah 3 persen dan di Italia sekitar 2 persen.

Pengujian di AS mencapai puncaknya pada bulan Juli, sekitar 820 ribu tes baru yang dilakukan per hari, menurut Proyek Pelacakan COVID-19. Namun di bulan September, turun di bawah 700 ribu. Warga di AS mengeluhkan, mereka harus menunggu lebih dari dua minggu untuk hasil tes mereka, penundaan yang membuat hasilnya tidak berguna, karena mereka dapat menulari orang lain di antara saat mereka diuji dan ketika mereka menerima hasil mereka.

Kebanyakan ahli percaya bahwa sejak awal, AS tidak memahami skala penuh penyebaran virus karena pemerintah hanya menguji mereka yang sakit. Kemudian diketahui bahwa 30 persen sampai 45 persen orang yang terinfeksi, tertular virus tidak menunjukkan gejala apa pun dan dapat menularkannya. Saat ada sistem pengujian yang kuat dan dapat mudah dijangkau, bahkan kasus tanpa gejala dapat ditemukan dan diisolasi. Namun begitu pengujian tidak dapat diakses lagi, situasinya kembali ke posisi sebelumnya: kemungkinan kehilangan banyak kasus.

5. Setelah tujuh bulan, RS masih kekurangan APD

Mengapa Pandemik COVID-19 di AS Paling Parah?Tenaga kesehatan mengenakan APD lengkap (ANTARA FOTO/Rony Muharrman)

Tujuh bulan setelah virus Corona ditemukan di AS, Amerika, setiap hari masih ratusan, terkadang lebih dari seribu, kematian. Sebuah survei oleh Asosiasi Perawat Amerika menunjukkan dari akhir Juli dan awal Agustus, dari 21 ribu perawat AS yang disurvei, 42 persen melaporkan kekurangan alat pelindung diri (APD) seperti masker, sarung tangan, dan pakaian medis.

Sekolah dan perguruan tinggi berusaha untuk membuka pembelajaran tatap muka, tapi menimbulkan klaster wabah yang besar, sehingga harus mengirim siswa pulang; beberapa dari mereka kemungkinan besar akan menyebarkan virus di komunitas mereka. Lebih dari 13 juta warga AS tetap menganggur pada Agustus, menurut data Biro Statistik Tenaga Kerja yang diterbitkan 4 September.

Para pemimpin di AS sebagian besar telah menghindari solusi tidak langsung jangka pendek dan menengah demi solusi “peluru perak” yang dianggap mujarab, seperti vaksin — oleh karena itu, pemerintah melakukan "Operation Warp Speed", sebuah upaya untuk mempercepat pengembangan vaksin. Logika yang terlalu berfokus pada solusi tongkat ajaib gagal memperhitungkan banyak orang yang akan menderita dan mati sementara menunggu vaksin meskipun strategi efektif untuk melawan COVID-19 sudah tersedia.

Negeri Paman Sam juga kesulitan karena sistem perawatan kesehatannya. Negara ini membelanjakan hampir 17 persen dari PDB tahunannya untuk perawatan kesehatan — jauh lebih banyak daripada negara lain mana pun dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Namun AS adalah salah satu negara dengan tingkat harapan hidup terendah, yaitu 78,6 tahun, sebanding dengan negara-negara seperti Estonia dan Turki, yang masing-masing hanya membelanjakan 6,4 persen dan 4,2 persen dari PDB mereka untuk perawatan kesehatan.

Bahkan keputusan pemerintah untuk menanggung biaya perawatan terkait virus corona telah berakhir dengan kebingungan dan ketakutan di antara pasien berpenghasilan rendah, gara-gara sistem penagihan medis yang tidak berfungsi baik.

6. Kelompok minoritas, kulit hitam alami risiko tiga kali lipat terpapar COVID-19

Mengapa Pandemik COVID-19 di AS Paling Parah?Ilustrasi Suasana Pandemik COVID-19 di Kota Guatemala, Amerika (ANTARA FOTO/Press Service of The Presidency)

Virus Corona telah mengungkap kesenjangan kesehatan masyarakat di AS. Warga kulit hitam di Amerika hampir tiga kali lebih mungkin terkena COVID-19 daripada warga kulit putih, juga hampir lima kali lebih mungkin untuk dirawat di rumah sakit dan dua kali lebih mungkin meninggal. Sebagaimana disampaikan CDC, “Menjadi (warga kulit) hitam di AS adalah penanda risiko untuk kondisi pembawa yang membuat COVID-19 lebih berbahaya.”

Ini termasuk status sosial ekonomi, akses ke perawatan kesehatan, dan peningkatan risiko terpapar virus karena untuk pekerjaan (misalnya, pekerja infrastruktur penting dan pekerja di garis depan). COVID-19 lebih berbahaya bagi orang kulit hitam Amerika karena rasisme dan diskriminasi sistemik dari generasi ke generasi. Hal yang sama berlaku untuk komunitas Pribumi Amerika dan Latin.

COVID-19, seperti virus lainnya, tidak mendiskriminasi berdasarkan warna kulit seseorang atau saldo di rekening bank mereka. Mereka menyerang secara membabi buta, virus tersebut telah memberikan bukti lebih lanjut, diperjelas musim panas ini sebagai tanggapan atas epidemik di AS yang masih parah, kekerasan polisi yang bermotif rasial: AS belum cukup menangani warisan soal rasismenya.

7. Budaya individualistik jadi problem yang membuat situasi di AS lebih buruk

Mengapa Pandemik COVID-19 di AS Paling Parah?Seorang sukarelawan meletakkan bendera Amerika mewakili beberapa dari 200.000 nyawa yang hilang di Amerika Serikat dalam pandemi penyakit virus korona (COVID-19) di National Mall, Washington, Amerika Serikat, Selasa (22/9/2020) (ANTARA FOTO/REUTERS/Joshua Roberts)

Orang Amerika saat ini cenderung menghargai individu daripada kolektif. Survei Pew tahun 2011 menemukan bahwa 58 persen orang Amerika mengatakan "kebebasan untuk mengejar tujuan hidup tanpa campur tangan negara" lebih penting daripada jaminan negara "tidak ada yang membutuhkan".

Sangat mudah untuk melihat sifat tersebut sebagai akar penyebab perjuangan negara melawan COVID-19; pandemik mengharuskan orang untuk berkorban sementara demi kepentingan kelompok, baik itu dengan memakai masker atau melewatkan kunjungan ke bar lokal mereka.

8. Rakyat AS memerlukan pemimpin saat hadapi krisis, dan mereka tidak dapatkan itu dari Presiden

Mengapa Pandemik COVID-19 di AS Paling Parah?Ilustrasi Suasana Pandemik COVID-19 di Brazil, Amerika (ANTARA FOTO/REUTERS/Adriano Machado)

Orang Amerika telah bersatu di masa krisis sebelumnya, tetapi mereka perlu pemimpin untuk menyatukan melawan krisis. “Kami menunggu isyarat dari para pemimpin,” kata Dr. David Rosner, seorang profesor di Universitas Columbia. Trump dan para pemimpin lain di sayap kanan, termasuk Gubernur Ron DeSantis dari Florida dan Gubernur Tate Reeves dari Mississippi, masing-masing, telah meremehkan pejabat kesehatan masyarakat, mengkritik seruan mereka untuk menutup bisnis dan tindakan drastis namun perlu lainnya.

Sementara itu, banyak ahli kesehatan masyarakat prihatin bahwa Gedung Putih menekan badan-badan seperti Food and Drug Administration, semacam BPOM-nya, untuk menyetujui perawatan seperti plasma penyembuhan meskipun kurangnya data yang mendukung. Para gubernur, yang sebagian besar dibiarkan sendiri, dan bahkan mereka yang dipuji, seperti Andrew Cuomo dari New York, sulit mengambil tindakan yang lebih agresif untuk melindungi kesehatan masyarakat.

Tanpa kepemimpinan yang memadai, warga AS merasa harus berusaha sendiri, setiap hari dalam perang melawan COVID-19. Sampai batas tertentu, hal itu telah terjadi — dokter, perawat, sopir bus, dan pekerja penting lainnya telah dianggap sebagai pahlawan, dan banyak yang telah membayar harga mahal untuk keberanian mereka. Tapi setidaknya sebagian orang Amerika masih menolak untuk mengambil langkah sederhana seperti memakai masker.

Mengapa? Karena AS juga berada di tengah krisis epistemik. Partai Republik dan Demokrat saat ini tidak hanya berselisih tentang berbagai masalah; mereka tidak setuju pada kebenaran dasar yang menyusun realitas mereka masing-masing. Separuh negara mendapatkan beritanya dari media yang menyampaikan apa pun yang dikatakan oleh Pemerintah, benar atau tidak; setengahnya tidak.

Politisasi ini bermanifestasi dalam berbagai cara, tetapi yang paling penting adalah ini: pada awal Juni (di mana lebih dari 100 ribu Amerika telah meninggal karena COVID-19), kurang dari setengah pemilih Partai Republik yang disurvei mengatakan wabah itu adalah ancaman utama bagi masyarakat. kesehatan populasi AS secara keseluruhan. Sepanjang Juli dan Agustus, Gugus Tugas Coronavirus Gedung Putih mengirim pesan di balik layar ke negara-negara bagian tentang tingkat keparahan wabah, sementara Presiden Trump dan Wakil Presiden Mike Pence secara terbuka menyatakan bahwa semuanya terkendali

9. Sejak awal pendukung Partai Republik lebih tidak percaya sains dibandingkan pemilih kepada Demokrat

Mengapa Pandemik COVID-19 di AS Paling Parah?Ilustrasi suasana pandemik covid-19 di El Salvador, Amerika (ANTARA FOTO/REUTERS/Jose Cabezas)

Beberapa keraguan tentang virus dan rekomendasi kesehatan masyarakat dapat dimengerti mengingat kenyataan bahwa pemahaman ilmiah tentang virus yang baru muncul berkembang dalam waktu bersamaan ini. Saran yang selalu berubah dari pejabat kesehatan tidak menanamkan kepercayaan publik, terutama bagi mereka yang sudah siap untuk bersikap skeptis terhadap para ahli. “Karena ini adalah penyakit menular baru, virus baru, kami tidak memiliki semua jawaban secara ilmiah,” kata Colleen Barry, ketua departemen kebijakan dan manajemen kesehatan di Sekolah Kesehatan Masyarakat Johns Hopkins Bloomberg.

"Saya pikir itu menciptakan lingkungan yang berpotensi mengikis kepercayaan lebih jauh dari waktu ke waktu." Tapi kepercayaan retak pada garis partisan. Sementara 43 persen dari pendukung Demokrat mengatakan kepada Pew pada 2019 bahwa mereka memiliki kepercayaan yang "besar" pada ilmuwan, hanya 27 persen dari Partai Republik yang mengatakan hal yang sama.

Yang benar-benar mengkhawatirkan adalah jumlah orang Amerika yang sudah mengatakan bahwa mereka ragu untuk menerima vaksinasi COVID-19. Vaksinasi massal hanya akan berhasil dengan dukungan yang cukup dari masyarakat; kerusakan yang dilakukan Presiden dan orang lain terhadap kepercayaan orang Amerika pada sains dapat memiliki konsekuensi yang signifikan bagi kemampuan negara untuk melewati pandemik ini.

Ada hal lain yang mengganggu, sikap orang Amerika terhadap pandemik sejauh ini: kepasrahan untuk menerima kematian massal. Sebagai sebuah bangsa, AS mungkin telah menjadi bosan dengan kabar mengerikan, dari kekerasan senjata hingga insiden kebrutalan polisi yang tampaknya tidak pernah berakhir hingga krisis air di Flint, Michigan dan di tempat lain. Orang Amerika tampaknya sudah terbiasa dengan gagasan bahwa orang Amerika lainnya akan mati setiap kali.

Sulit untuk mengukur sikap apatis ini. Tapi apa lagi yang bisa menjelaskan bahwa hampir setengah tahun, mereka masih belum menemukan cara untuk membekali secara cukup para pekerja garis depan yang, dalam mencoba menyelamatkan nyawa orang lain, mempertaruhkan nyawa mereka sendiri? Apa lagi yang bisa menjelaskan mengapa 66 persen orang Amerika — kira-kira 217,5 juta orang — masih tidak selalu memakai masker di depan umum?

Terlepas dari semua itu, tampaknya AS akhirnya mulai membuat beberapa kemajuan lagi: kasus harian telah turun dari level tertinggi 20,5 per kapita pada bulan Juli menjadi sekitar 12 pada awal September. Namun angkanya masih jauh di atas angka musim semi — kurva mungkin mendatar, tetapi mendatar pada titik yang cukup menakutkan. Selain itu, para ahli khawatir gelombang lain bisa datang musim dingin ini, diperburuk oleh musim flu tahunan.

10. Apakah ada alasan bagi AS untuk optimistis?

Mengapa Pandemik COVID-19 di AS Paling Parah?Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Ibu Negara Melania Trump saat mereka tiba di Bandara Internasional Cleveland Hopkins untuk berpartisipasi dalam debat kepresidenan pertama dengan calon presiden Amerika Serikat dari Demokrat Joe Biden di Cleveland, Ohio, Amerika Serikat, Selasa (29/9/2020). Foto diambil tanggal 29 September 2020 (ANTARA FOTO/REUTERS/Carlos Barria)

Ada sih alasan untuk optimis. Upaya untuk membuat vaksin berlanjut dengan kecepatan sangat tinggi; mungkin setidaknya satu akan tersedia pada akhir tahun. Dokter menjadi lebih baik dalam menangani kasus yang parah, sebagian karena penelitian baru tentang pengobatan seperti steroid (meskipun beberapa pasien menderita jauh lebih lama dari yang diharapkan, sebuah fenomena yang dikenal sebagai "COVID jangka panjang"). Saat virus mengamuk, mungkin lebih banyak orang Amerika akan mengikuti langkah-langkah kesehatan masyarakat.

Tetapi masih banyak ruang untuk perbaikan. Paling tidak, setiap orang Amerika harus memiliki akses ke APD yang memadai — terutama di bidang perawatan kesehatan, pendidikan, layanan makanan, dan bidang berisiko tinggi lainnya. AS membutuhkan investasi besar dalam pengujian dan penelusuran, seperti yang dilakukan negara lain. Pemimpin AS perlu mendengarkan para ahli dan membiarkan kebijakan didorong oleh sains. Dan untuk saat ini, warga AS semua perlu menerima bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak dapat, atau tidak boleh, lakukan, seperti pergi ke bioskop atau mengadakan pernikahan dalam ruangan.

“Orang Amerika [mungkin] mulai berkata, 'Jika semua orang tidak memakai masker, jika semua orang tidak menjaga jarak, jika orang mengadakan pesta keluarga di dalam dengan banyak orang bersama-sama, jika kita mengabaikan rekomendasi kesehatan masyarakat, kami akan pergi untuk terus melihat penularan," kata Ann Keller, seorang profesor di UC Berkeley School of Public Health.

AS tidak lagi menjadi episentrum pandemik global; Posisi itu telah diteruskan ke negara-negara seperti India, Argentina, dan Brasil. Dan dalam beberapa bulan mendatang mungkin belum ada vaksin, atau lebih mungkin bakal vaksin, yang akhirnya menghentikan penyebaran COVID-19 di seluruh negeri. Namun demikian, sekitar 200 ribu orang Amerika telah meninggal, dan lebih banyak lagi yang menyusul, sebelum vaksin muncul kecuali Amerika mulai menerapkan dan berinvestasi dalam solusi berbasis sains yang sudah tersedia. Masing-masing dari nyawa yang hilang itu mewakili seluruh dunia, tidak hanya individu itu tetapi juga keluarga, teman, kolega, dan orang yang mereka cintai

Pada tanggal 7 Oktober 2020, The New England Journal of Medicine, jurnal yang sangat prestisius di dunia, untuk pertama kalinya selama dua dekade, secara terbuka mengecam kepemimpinan AS dalam tangani pandemik COVID-19.

Para editor jurnal ini mengajak masyarakat AS untuk tidak memilih pemimpin yang terbukti gagal tangani pandemik. Ajakan ini ditandatangani oleh 45 editornya.

Membaca laporan panjang soal kondisi di AS, kita kemudian melihat ke situasi di Indonesia. Bagaimana menurut pembaca?

Baca Juga: Kasus COVID-19 di Dunia Tembus 30 Juta, 944 Ribu Orang Meninggal Dunia

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya