90 Persen Anak di Gaza Alami Trauma Imbas Bombardir Israel
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Laporan Euro-Med Human Rights Monitor mengungkap, sembilan dari 10 anak di Jalur Gaza menderita gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD) setelah agresi militer Israel pada Mei 2021 lalu.
Dilansir Middle East Eye, jajak pendapat yang melibatkan 530 responden itu bertujuan untuk mengetahui bagaimana serangan selama 11 hari berdampak terhadap kesejahteraan dan perubahan perilaku anak-anak.
1. Ribuan ibu hamil juga menjadi korban
Laporan lain yang diungkap adalah sekitar 2.500 perempuan hamil, yang hendak melahirkan dalam tiga bulan ke depan, kemungkinan besar menderita penyakit kompilasi saat persalinan. Hal itu merupakan efek langsung atau tidak langsung dari serangan Israel.
Ketegangan antara Hamas dengan Israel menewaskan lebih dari 248 orang, termasuk sekitar 65 anak-anak. Israel memborbardir komplek perumahan sipil, kantor media, pusat medis, termasuk sekolah dengan dalih tempat tersebut digunakan sebagai basis operasi Hamas.
Baca Juga: 3 Serangan Udara Tersadis Israel di Gaza
2. Ribuan anak menjadi korban
Ketegangan di Jalur Gaza bermula dari penolakan warga Palestina atas kebijakan pemindahan paksa terhadap mereka yang tinggal di Sheikh Jarrah, Yerussalem. Otoritas Israel menindak para demonstran dengan aksi-aksi represif, termasuk penangkapan jurnalis.
Editor’s picks
Pemantau Hak Asasi Manusia Euro-Med mengatakan, serangan udara Israel di langit Gaza menyebabkan 241 anak kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya, 5.400 anak kehilangan rumah dan 470 anak terluka.
Selain itu, lebih dari 42.000 anak mengalami kerusakan sebagian rumah akibat kekerasan tersebut.
3. Kisah Khalifa yang harus terima anaknya mengalami trauma
Shaima Khalifa, salah seorang responden, mengaku melihat perubahan perilaku terhadap putranya sejak serangan Israel.
“Dia kehilangan kesadaran saat melihat saudaranya terbaring di tanah, dan sejak hari itu, dia bertingkah aneh, tiba-tiba berteriak marah, tertawa atau menangis sepanjang hari tanpa alasan. Ketika dia tidur, dia terus meneriakkan nama saudaranya sepanjang malam,” katanya.
“Hari ini, putri saya yang berusia tiga tahun, Sophie dan saya masih berusaha untuk hidup normal saat mengalami PTSD seperti sebagian besar penduduk Gaza,” tambah Khalifa.
Selama serangan di Gaza, 11 anak yang menerima konseling trauma dari Dewan Pengungsi Norwegia (NRC) telah terbunuh. Anak-anak yang berusia antara 5-15 tahun dibunuh saat berlindung di dalam rumah.
"Tidak ada keharusan untuk menimbulkan tragedi nyata kepada dua juta orang, yang hampir setengahnya adalah anak-anak. Tidak ada pula keharusan untuk menghancurkan menara, perumahan atau menargetkan seluruh keluarga,” tutup Khalifa.
Baca Juga: Israel Sebut Indonesia dan 2 Negara Ini Tidak Jujur soal Konflik Gaza