Diplomasi Indonesia untuk Afghanistan

Indonesia tidak mau dunia melupakan Afghanistan

New York, IDN Times – Situasi kemanusiaan di Afghanistan semakin meresahkan. Seorang anak perempuan, berusia sekitar 18 tahun, terpaksa mengubur mimpi-mimpinya akibat pembatasan ketat yang diterapkan oleh rezim Taliban.

Selama lebih dari 1 tahun, dia hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan kegiatan yang berarti. Dia tidak bisa melanjutkan studi ke jenjang universitas, apalagi hidup sebagai perempuan karier di Afghanistan. Semuanya karena intepretasi ketat, atau mungkin menyesatkan, Taliban terhadap ajaran Islam.

“Saya bahkan berpikir untuk bunuh diri dan saya telah mencobanya satu kali,” demikian pengakuan perempuan Afghanistan yang tidak disebutkan namanya.

Di antara kebijakan terbaru Taliban yang merugikan perempuan adalah larangan untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi, tidak boleh bekerja untuk lembaga internasional, hingga pembatasan kegiatan di ruang publik.

1. Para guru harus sembunyi-sembunyi untuk mengajar

Diplomasi Indonesia untuk AfghanistanMenlu RI Retno Marsudi dalam acara Global Solidarity with Afghan Women and Girls (IDN TImes/Vanny El Rahman)

Mimpi buruk Taliban juga menghantui para guru. Mereka harus mempertaruhkan nyawa setiap kali hendak mengajar, di sekolah yang didirikan secara sembunyi-sembunyi. Seolah-olah belajar adalah tindakan kriminal, yang melanggar ajaran agama dan norma sosial.

“Saya bersama teman-teman membentuk 600 sekolah tersembunyi khusus perempuan. Setiap pagi kami meninggalkan rumah tanpa jaminan kembali ke rumah dengan aman. Terlepas dari tantangan dan risikonya, kami tetap harus melanjutkan tugas ini,” demikian pengakuan seorang guru, yang tidak disebutkan namanya dan mukanya diburamkan, dalam cuplikan video.

Alasan dia untuk bertaruh pada kehidupan sangat sederhana, bahwa jangan sampai anak-anak menjadi generasi iliterasi, yang tidak bisa membaca dan menulis. Dia kerap tersentuh saat mendengar pengakuan para murid soal masa depannya.

Lebih dari itu, perilaku Taliban disebut telah mengancam kondisi mental anak-anak dan perempuan Afghanistan.

“Mereka ada yang mau jadi dokter, insinyur, bahkan presiden. Sama seperti perempuan di negara lainnya, tapi mereka gak punya kesempatan. Sehingga kita (para guru) bukan hanya menyediakan sarana pendidikan bagi perempuan, tapi juga untuk meningkatkan kesehatan mental mereka yang merupakan isu besar di Afghanistan,” tambah dia.

"Mereka (anak-anak dan perempuan) sedih melihat respons dunia. Makanya, saya memohon para stakeholders untuk terus mendukung Afghansitan, serta guru dan murid yang berani," harapnya.

Baca Juga: Menlu RI: Tidak Ada Pembenaran atas Penindasan Perempuan Afghanistan!

2. Indonesia tidak ingin dunia melupakan Afghanistan

Diplomasi Indonesia untuk AfghanistanMenlu RI Retno Marsudi dalam acara Global Solidarity with Afghan Women and Girls (IDN Times/Vanny El Rahman)

Pengakuan dua warga Afghanistan di atas menjadi pengantar untuk diskusi bertajuk Global Solidarity with Afghan Women and Girls, yang merupakan kegiatan sela di Sidang Majelis Umum ke-78 Perserikatan Bangsa-Bangsa (SMU PBB).

Pada kesempatan itu, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi hadir sebagai pembicara, dengan dukungan dari Irlandia, Kanada, dan Women’s Forum.

Melalui acara ini, Indonesia tidak mau dunia melupakan penderitaan warga Afghanistan, di tengah perang Ukraina yang sepertinya lebih mendapat sorotan. Lihat saja sambutan Sekjen PBB Antonio Guterres di pembukaan SMU PBB, yang mengulangi terma “Ukraina” empat kali sedangkan terma “Afghanistan” hanya sekali.

Di sisi lain, Indonesia juga menggandeng negara-negara besar, seperti Irlandia dan kanada, sebagai sponsor. Agar dukungan terhadap Afghanistan semakin menggema.

Side event ini diselenggarakan untuk mendorong solidaritas global terhadap perempuan Afghanistan. Situasi perempuan di Afghanistan sangat mengkhawatirkan,” kata Retno dalam media brief di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat (AS), Selasa (19/9/2023).

Dia menyambung, "solidaritas global terhadap perempuan Afghanistan harus diwujudkan dalam aksi konkret."

Pada saat yang sama, Retno juga membeberkan sejumlah permasalahan yang dihadapi Afghanistan, salah satunya adalah 80 persen anak usia sekolah tidak bisa melanjutkan pendidikannya.

“Data UNDP (United Nations Development Programme) memperkirakan, pembatasan akses pekerjaan bagi perempuan menyebabkan Afghanistan kehilangan 1 miliar dolar AS dari PDB-nya atau sekitar 7 persen,” kata Retno.

3. Tidak ada pembenaran atas penindasan di Afghanistan

Diplomasi Indonesia untuk AfghanistanMenlu RI Retno Marsudi di SDGs Summit 2023 (IDN Times/Vanny El Rahman)

Ihwal Afghanistan, Indonesia memiliki pendekatan yang berbeda dengan negara-negara Barat. Mayoritas negara Barat menolak berinteraksi dengan Taliban, karena mereka dilihat sebagai pelanggar hak asasi manusia. Alhasil, situasinya semakin buruk, karena aksi yang bisa dilakukan sangat terbatas.

Sementara, Indonesia memiliki pandangan berbeda. Menghindari interaksi dengan Taliban tidak berarti menghentikan distribusi bantuan kemanusiaan. Di sisi lain, saat pendekatan hukum (hard approach) dirasa belum mampu menghentikan represivitas Taliban, bukan berarti pendekatan lunak (soft approach) melalui dialog dan advokasi harus dihentikan juga.

Pertimbangan di ataslah yang menjadikan kisah warga Afghanistan sebagai pembuka diskusi, untuk menggugah empati atas penderitaan mereka.

“Apa yang akan kita lakukan? Apakah kita akan membiarkan politik menghalangi untuk memberi bantuan dan duduk diam, sementara jutaan perempuan dan anak perempuan Afghanistan menderita. Atau, apakah kita melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka, terlepas dari kondisi politiknya,” tanya Retno.

“Saya yakin pilihan kedua adalah yang paling bijaksana,” sambung dia.

4. Bantuan Indonesia untuk Afghanistan

Diplomasi Indonesia untuk AfghanistanMenlu RI Retno Marsudi sampaikan pandangannya di SDG Summit 2023 (IDN Times/Vanny El Rahman)

Ada tiga hal yang sudah Indonesia lakukan untuk Afghanistan. Pertama, mendistribusikan bantuan kemanusiaan. Secara khusus, Retno menyebut pengiriman bantuan 10 juta dosis vaksin polio buatan Biofarma ke Afghanistan.

Kedua, Indonesia juga aktif memberikan pelatihan kepada perempuan Afghanistan, termasuk beasiswa pendidikan. Pada konteks ini, Indonesia juga menggandeng negara mitra untuk mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan di negara tersebut.

Tahun lalu, Indonesia bersama Qatar menyelenggarakan International Conference on Afghan Women Education (ICAWE) di Bali. Pada November 2023, konfernsi tersebut akan digelar untuk kedua kalinya.

“Memang masalahnya adalah bagaimana kita mengimplementasikan dukungan dan komitmen-komitmen tersebut, karena menghadapi kesulitan policy yang menghambat akses perempuan terhadap pendidikan,” kata Retno.

Terakhir, sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, Retno ingin ulama Indonesia terlibat aktif untuk mewujudkan moderasi beragama di Afghanistan.

“Indonesia sangat aktif melakukan komunikasi antarulama. Kita berbagi best practices kepada ulama Afghanistan tentang pendidikan inklusif bagi perempuan. Dan baru-baru ini, ulama Indonesia menjadi bagian dari ulama OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) yang berkunjung ke Afghanistan,” kata dia.

Sebagai penutup, Retno menegaskan bahwa tidak ada alasan politik apapun yang membenarkan penindasan terhadap HAM.

“Politik tidak boleh menjadi penghalang, karena di atas politik ada kemanusiaan, dan kita harus mementingkan kemanusiaan. Dan kontribusi Indonesia terhadap isu Afghanistan sangat diapresiasi oleh dunia, termasuk para perempuan Afghanistan. Karena mereka menilai bahwa Indonesia merupakan contoh yang baik bagi sebuah negara muslim,” beber Retno.

Baca Juga: Indonesia Lobi 23 Negara untuk Keanggotaan Dewan HAM dan Aksesi OECD

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya