[EKSKLUSIF] Ketua Dewan Gavi Bicara soal Pemborosan Vaksin COVID-19

Simak wawancara José Manuel Barroso dengan IDN Times

Jakarta, IDN Times – Gavi, the Vaccine Alliance, adalah kemitraan publik-swasta dengan misi memvaksinasi separuh anak-anak di dunia sebagai pencegahan terhadap penyakit mematikan. Sejak didirikan pada 2000, Gavi telah mengimunisasi lebih dari 888 juta anak dan mencegah lebih dari 15 juta kematian, termasuk mengurangi separuh kematian anak di 73 negara miskin.

Di tengah pandemik COVID-19, Gavi memainkan andil penting dalam pengadaan dan pengembangan vaksin secara global. Bersama para mitranya, COVAX, ACT, CEPI, dan WHO, Gavi berupaya untuk memastikan kesetaraan akses terhadap vaksin corona, sehingga negara berpenghasilan rendah dan miskin bisa memperoleh vaksin.  

Khusus untuk Indonesia, Gavi telah membantu pemerintah untuk meringankan beban APBN 2021 sebanyak Rp73 triliun, dengan menyumbangkan vaksin gratis melalui COVAX.

IDN Times berkesempatan mewawancarai Ketua Dewan Gavi, José Manuel Barroso secara eksklusif. Sebelumnya, dia juga pernah menjabat sebagai Presiden Komisi Uni Eropa dan Perdana Menteri Portugal.

Ada banyak hal yang Barroso singgung, mulai dari tren pemborosan vaksin yang muncul akhir-akhir ini, dukungan untuk mendirikan pusat produksi vaksin di tingkat regional, hingga bagaimana mencegah pandemik terulang kembali.
 
Berikut wawancara IDN Times dengan José Manuel Barroso.

Akhir-akhir ini terdengar kabar pembuangan vaksin COVID-19 di berbagai negara. Bagaimana Gavi mencegah supaya vaksin tidak terbuang?

[EKSKLUSIF] Ketua Dewan Gavi Bicara soal Pemborosan Vaksin COVID-19ilustrasi penyuntikan vaksin pada lansia (ANTARA FOTO/REUTERS/Johanna Geron)

Pemborosan vaksin adalah hal umum di semua program imunisasi dan ini bukanlah fenomena baru. Setiap vaksin, tergantung pada produknya, memiliki tingkat pemborosan indikatif, dan Gavi sedang melacak informasi ini untuk vaksin yang kami dukung. Kami berdialog intensif dengan semua peserta COVAX untuk memantau penggunaan dan kapasitas penyerapan vaksin. Tingkat pemborosan vaksin COVAX di negara-negara miskin sangat rendah, sekitar 0,2 persen. Ini adalah bukti kerja kementerian kesehatan dan pemangku kepentingan negara lain untuk mempersiapkan sistem kesehatan mereka.

Tantangan baru akan muncul begitu dosis tiba dalam jumlah yang lebih besar, dan kami memperkirakan pemborosan akan bertambah ketika pasokan vaksin meningkat akhir tahun ini. Kami yakin sudah ada sistem untuk mencegah pemborosan, (salah satunya) dengan menyebarkan dosis ke negara lain yang lebih membutuhkan.

COVAX sudah bekerja dengan AMC pada 2020, sebelum vaksin tersedia untuk mendukung strategi vaksinasi nasional. COVAX hanya memberikan dosis ketika negara dinilai siap untuk menyerap dosis tersebut. Namun, ada berbagai faktor termasuk permintaan yang dapat berubah.

Sebagai bagian dari dialog reguler antara COVAX dengan negara penerima, ketika ditemukan indikasi risiko pemborosan, mitra COVAX akan segera memperhitungkan kembali dosis guna meminimalisir pemborosan. Mereka (COVAX) juga terus memantau data negara demi negara yang tersedia tentang kapasitas penyerapan untuk semua peserta AMC dan memperhitungkannya ke dalam alokasi dan pengiriman.

Baca Juga: Afsel akan Jadi Tuan Rumah Pusat Transfer Teknologi Vaksin

Apa tantangan terbesar yang dihadapi Gavi ketika mendistribusikan vaksin ke negara berkembang dan miskin?

[EKSKLUSIF] Ketua Dewan Gavi Bicara soal Pemborosan Vaksin COVID-19Ketua Dewan Gavi, José Manuel Barroso, dengan mantan Kanselir Jerman, Angela Merkel (Twitter/@JMDBarroso)

Gavi berfokus pada pengamanan akses vaksin. Ada pun pengiriman dikoordinasikan oleh mitra kami, UNICEF, yang memimpin pengadaan dan pengiriman vaksin COVID-19. Meski demikian, kami menghadapi banyak tantangan, paling tidak ketika mengirim vaksin dan kebutuhan alat penyimpanan yang ultra-dingin, yang berarti membutuhkan biaya dan infrastruktur tambahan untuk memastikannya dapat terdistribusi secara efektif. Ini sangat penting untuk negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Dana yang baru-baru ini disetujui Gavi senilai 779 juta dolar AS (Rp11,1 triliun) akan digunakan untuk mendistribusikan vaksin dengan cepat. Dana itu juga digunakan untuk infrastruktur ultra-cold chain (UCC) bakal vaksin (berbasis) mRNA supaya datang tepat waktu. Selama beberapa bulan terakhir, kami telah mengamati peluncuran UCC terbesar dalam sejarah, ratusan unit (dikirim) ke 47 negara dalam waktu kurang dari lima bulan. Negara juga dapat menggunakan pendanaan Country Delivery Support (CDS) untuk melengkapi dukungan dan infrastruktur pendingin jika diperlukan.

Bersamaan dengan itu, kami mendukung persiapan dan pengiriman melalui program lainnya, untuk memastikan sistem perawatan kesehatan bisa mengatasi gelombang masuk vaksin dalam jumlah terbesar yang pernah diterima negara tersebut.

Untungnya, kami tidak melakukan ini sendirian, karena pengiriman adalah tanggung jawab negara peserta. Sangat penting bagi negara supaya dapat mengakses semua sumber dukungan untuk pengiriman. Mengkoordinasikan dan memanfaatkan pembiayaan tambahan melalui bank multilateral dan inisiatif lainnya akan memainkan peran kunci dalam memastikan keberhasilan peluncuran vaksin di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah, juga untuk memaksimalkan pemanfaatan dosis yang tersedia.

Apa upaya Gavi untuk memastikan negara-negara kaya tidak menggunakan vaksinnya sebagai dosis booster?

[EKSKLUSIF] Ketua Dewan Gavi Bicara soal Pemborosan Vaksin COVID-19ilustrasi vaksinasi (IDN Times/Herka Yanis).

Penelitian tentang booster tetap menjadi bagian penting dari respons pandemik, karena booster berpotensi menawarkan perlindungan yang lebih baik. Namun, kita sudah melihat, ketika beberapa negara kaya mulai menawarkan booster, yang lain akan mengikuti dan ancaman terhadap pasokan global hanya akan melahirkan bencana.

Vaksin yang digunakan sebagai booster hasilnya akan tetap sama, akan lebih sedikit dosis yang tersedia untuk seluruh dunia, sekalipun (vaksin) versi baru dikembangkan untuk menargetkan varian tertentu. Sementara, bukti terbaru menunjukkan bahwa tingkat antibodi terhadap COVID-19 dapat menurun dari waktu ke waktu, dan dosis ketiga dapat membantu meningkatkannya. Penurunan antibodi tidak berarti perlindungan berkurang, karena faktor lain, seperti sel T juga memainkan peran penting di sini.

Apa yang kami ketahui adalah vaksin yang saat ini digunakan sangat efektif terhadap semua varian, termasuk varian Delta, memberikan perlindungan untuk mencegah keparahan penyakit dan kematian. Memberikan suntikan ketiga kepada orang-orang yang sudah terlindungi sepenuhnya tidak akan mengurangi rawat inap dan kematian.

Kita benar-benar perlu memfokuskan semua dosis untuk suntikan pertama dan kedua. Booster hanya akan menunda (upaya) itu dan meningkatkan risiko lebih banyak orang terinfeksi karena belum divaksinasi, sehingga krisis kesehatan global ini semakin panjang. Meskipun penting bagi pemerintah untuk melindungi warganya, kita perlu mempertimbangkan cara paling efektif untuk membantu menghentikan penyebaran virus secara global. Kita tahu bahwa negara-negara kaya tidak akan berhenti meluncurkan booster. Apa yang kami tanyakan adalah setidaknya mereka membatasi ini (booster) pada populasi paling berisiko, yang sistem kekebalannya melemah.

Varian baru muncul karena tidak meratanya vaksin. Bagaimana upaya Gavi mendorong pemerataan vaksin?

Dibandingkan dengan respons global terhadap pandemik seperti H1N1 dan HIV/AIDS, pencapaian COVAX tidak boleh dianggap remeh. Kami telah mengirimkan 442 juta dosis ke 144 negara, lebih banyak daripada pemerintah atau organisasi lain mana pun, kecuali China dan India

Tidak dapat diterima bahwa hanya 0,3 persen vaksin yang telah diberikan ke negara-negara berpenghasilan rendah, berbanding 82 persen dengan negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas. Ketimpangan ini sama tidak masuk akal secara ekonomi dan juga merusak kehidupan manusia, dengan perkiraan kerugian terkini akibat peluncuran vaksin yang lama mencapai 2,3 triliun dolar AS (sekitar Rp32.798 triliun). Menurut UNECA (United Nations Economic Commision for Africa), setiap satu bulan lockdown di Afrika merugikan 29 miliar dolar AS (sekitar Rp413 triliun) akibat produksi yang hilang.

Ini adalah tanda bahwa dunia perlu lebih siap menghadapi pandemik berikutnya dengan sistem pembiayaan, riset, dan pengembangan terhadap akses. Jangan sampai masalah ini diselesaikan di tengah ketidaktahuan ilmiah dan persaingan sengit atas pasokan global yang terbatas. Itulah sebabnya kami menyerukan kepada negara berpenghasilan tinggi untuk melanjutkan dan meningkatkan dukungan mereka kepada COVAX, sehingga kami dapat memiliki kesempatan untuk mengendalikan pandemik di mana-mana, tidak hanya di belahan dunia yang memiliki cukup uang dan pengaruh politik.

Baca Juga: Vaksin Booster Diharapkan Bisa Disuntikkan Pada 2022

Bagaimana penghapusan hak kekayaan intelektual (HAKI) vaksin bisa menyelesaikan pandemik?

[EKSKLUSIF] Ketua Dewan Gavi Bicara soal Pemborosan Vaksin COVID-19Ketua Dewan Gavi, José Manuel Barroso, dengan Presiden Komisi Eropa, Von der Leyen (Twitter/@JMDBarroso)

Kita harus menyambut setiap upaya yang membantu meningkatkan pasokan vaksin, penghapusan HAKI hanya sebagian dari solusi. Gavi menyambut baik keputusan pemerintah supaya menggunakan semua mekanisme untuk meningkatkan akses yang adil ke vaksin COVID-19. Kami juga menyadari pentingnya komitmen negara-negara untuk menghapus larangan ekspor dan hambatan lainnya, yang akan berdampak langsung pada pengurangan kendala pasokan global saat ini.

Cara terbaik mengatasi kebutuhan terhadap pasokan global yang lebih besar dan adil adalah transfer teknologi. Sektor swasta, yang vaksinnya dikembangkan menggunakan dana publik, bisa berinvestasi untuk manufaktur baru, berbagi pengetahuan, dan mengurangi pajak untuk negara-negara berkembang.

Pendekatan berbasis kemitraan di atas merupakan alternatif ketiga, sebagaimana dijelaskan Dirjen Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Hal itu merupakan cara tercepat untuk meningkatkan produksi karena menyatukan mereka yang tahu cara membuat vaksin dengan mereka yang membutuhkannya.

Kami mendesak semua negara mendukung upaya transfer teknologi, untuk memastikan kekayaan intelektual dan transfer pengetahuan bisa digunakan untuk mendiversifikasi manufaktur serta meningkatkan produksi global, baik dalam jangka menengah atau untuk persiapan pandemik berikutnya.

Dengan relaksasi HAKI, diharapkan bisa membuka jalan bagi pembuatan vaksin lokal. Namun, penting untuk diingat bahwa pemindahan proses manufaktur dari satu fasilitas ke fasilitas lain membutuhkan sumber daya yang signifikan, karena staf di lokasi baru perlu dilatih dalam setiap aspek produksi dan jaminan kualitasnya. Memperluas kapasitas produksi tidak bisa instan.

Apakah Gavi berencana mendukung pembangunan pusat produksi vaksin di tingkat regional?

Ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kapasitas manufaktur global, terutama di wilayah yang saat ini hampir tidak memiliki kapasitas. Ini adalah masalah yang luas dan kompleks, yang sudah ada sebelum pandemik, tetapi diperburuk oleh permintaan besar akan vaksin COVID-19. Kenyataannya adalah kita membutuhkan lebih banyak vaksin untuk mengatasi krisis saat ini daripada yang biasanya diproduksi pada tahun tertentu.

Meskipun tampak menakutkan, tapi hal itu dapat diatasi. Selama dua dekade terakhir, Gavi telah membuktikan andilnya dalam meningkatkan kapasitas manufaktur. Pada 2001, GAVI hanya memiliki lima produsen pemasok vaksin, kebanyakan berbasis di Eropa dan Amerika Utara. Pada 2019 jumlahnya ditingkatkan menjadi 17 produsen vaksin, dengan 11 berbasis di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Hubungan kami dengan Institut Pasteur de Dakar di Senegal, misalnya, telah berkontribusi secara signifikan terhadap keamanan pasokan vaksin untuk penyakit demam kuning.

Tapi ini bukan usaha yang bisa diselesaikan dalam beberapa bulan. Usaha ini membutuhkan pembiayaan, sumber dana, dan komitmen politik yang berkelanjutan. Ini akan menjadi bagian penting terkait bagaimana dunia mempersiapkan diri untuk pandemik berikutnya.

COVID-19 telah menunjukkan bahwa negara akan memprioritaskan rakyatnya sendiri ketika krisis melanda. Demi memastikan tidak ada yang tertinggal, kita harus menangkap peluang baru untuk mempercepat pengembangan kapasitas produksi vaksin dan meningkatkan proses regulasi di seluruh dunia. Pembuatan vaksin tidak murah, (produksinya) sangat bergantung pada negara berpenghasilan tinggi. Butuh lebih dari sekadar melonggarkan HAKI dan keinginan untuk kesetaraan vaksin. Keberhasilan akan sangat bergantung pada dukungan uang dan barang dari negara-negara maju.

Dibutuhkan ratusan juta dolar dan waktu selama 5-10 tahun untuk menghasilkan vaksin baru. Roadmap produksi vaksin dimulai dengan penelitian, uji keamanan dan kemanjuran pra-klinis, uji klinis pada hewan dan manusia, tinjauan, dan persetujuan perizinan. Setelah itu produksi vaksin baru bisa dimulai.

Apakah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada tingkat nasional membantu misi Gavi?

[EKSKLUSIF] Ketua Dewan Gavi Bicara soal Pemborosan Vaksin COVID-19BPOM menggelar konferensi pers Use Authorization (EUA) vaksin COVID-19 Sinovac, Senin (11/1/2021) (Dok. BPOM)

Kami bekerja dengan regulator di seluruh dunia. Pekerjaan mereka adalah mempelajari (penyakit) dan menetapkan (metode) perawatan serta mengotorisasi vaksin. Kami juga bermitra dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta Badan Pengawas Obat dan makanan (BPOM) pada tingkat nasional. Kami juga bermitra dengan BPOM Indonesia untuk memastikan skema penanganan darurat global dapat diterjemahkan dengan cepat dalam otorisasi nasional, tanpa mengorbankan kualitas dan keamanan.

Tapi ini bukan hal baru. Regulator nasional dapat memainkan peran kunci dalam meningkatkan lanskap vaksin secara keseluruhan, dan Gavi telah bekerja dengan mereka melalui kebijakan pengadaan mandiri, yang memungkinkan negara-negara memperoleh vaksin yang diproduksi secara lokal dengan syarat memenuhi standar kkualitas internasional.

Contoh terbaik dalam hal ini adalah Indonesia, melalui BioFarma, menggunakan pendanaan Gavi untuk mendapatkan vaksin esensial yang berlisensi lokal tetapi belum diprakualifikasi, seperti penta, IPV, dan campak. BioFarma kemudian mencapai prakualifikasi untuk penta dan MR, yang berarti dapat memasok vaksin ini melalui Gavi ke negara lain. Ini berhasil karena regulator Indonesia diakui oleh WHO dan telah mencapai tingkat kematangan yang tinggi.

Baca Juga: WHO: Pandemik akan Setahun Lebih Lama dari Target

Apa target Gavi pada 2022 untuk mengakhiri pandemik COVID-19?

[EKSKLUSIF] Ketua Dewan Gavi Bicara soal Pemborosan Vaksin COVID-19Ketua Dewan Gavi, José Manuel Barroso, dengan Dirjen WHO, Tedros Adhanom (Twitter/@JMDBarroso)

Tujuan COVAX adalah melindungi (kelompok) yang paling rentan di semua negara, yang bergantung kepada COVAX untuk memperoleh vaksin. Populasinya mencapai 20 persen di dunia. Hal itu berarti perlu mengamankan sekitar 1,2 miliar dosis vaksin untuk 91 negara berpenghasilan rendah, termasuk Indonesia. Pada 2022, kami menargetkan untuk melampui jumlah itu dan bekerja sama dengan pemerintah untuk memastikan bahwa respons global sesuai dengan kebutuhan lokal.

Apa keuntungan bagi swasta dan negara yang berinvestasi atau bergabung dengan GAVI?

Kesehatan masyarakat adalah barang publik. COVAX, yang dipimpin bersama Gavi dengan WHO, CEPI (Coalition for Epidemic Preparadnes Innovations), dan UNICEF, bermanfaat bagi semua orang. Negara-negara berpenghasilan rendah menerima dosis untuk menyelamatkan jiwa, yang mungkin saja tidak dapat mereka peroleh dengan mudah.

Negara berpenghasilan tinggi dan donor swasta memastikan bahwa kita tidak hanya mencapai kesetaraan yang dicari, tetapi juga mengalahkan pandemik di mana-mana dengan mengurangi risiko varian baru. Hanya itu satu-satunya cara untuk memulai kembali perdagangan dan pariwisata global. Hampir klise untuk mengatakan bahwa tidak ada yang aman sampai semua orang aman, tetapi itulah kenyataannya.

Bagaimana kita ikut berkontribusi untuk mencegah pandemik di masa depan?

Salah satu pelajaran terpenting dari pandemik ini adalah kesadaran bahwa wabah menular tidak hanya menimbulkan risiko bagi kesehatan, tetapi juga mengancam keamanan global. COVID-19 telah menunjukkan bahwa kematian dalam jumlah besar, gangguan terhadap mata pencaharian, dan kehancuran jangka panjang terhadap ekonomi global mampu merusak stabilitas global dengan cepat, dan pada akhirnya menghancurkan hidup kita sendiri.

Para pemimpin sekarang harus melihat ke masa depan, untuk menciptakan mekanisme pendanaan dan kesiapsigaan menghadapi pandemik. Semua itu adalah upaya untuk memastikan supaya kita tidak lagi menghadapi situasi seperti sekarang. Kita hanya dapat menghindari pengulangan sejarah jika kesiapsiagaan pandemik disesuaikan dengan tantangan yang sesungguhnya. Para pemimpin dunia harus melihat bahwa pandemik merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap keamanan global.

Mencegah pandemik di masa depan tidak hanya membutuhkan investasi yang sama seperti ancaman keamanan global lainnya, tetapi juga membutuhkan cara berpkir yang berbeda mengenai keamanan global. Pandemik merupakan bentuk baru dari krisis global, yang disebabkan dan diperburuk oleh dunia modern yang semakin terhubung.

Kami membutuhkan solusi yang tidak hanya diberikan oleh pemerintah, tetapi kolaborasi ilmiah, sistem kesehatan yang tangguh, dan investasi jangka panjang dalam jaringan kesehatan global. Pandemik hanya bisa dicegah dengan kolaborasi global, multilateralisme strategis, dan pada akhirnya kasih sayang.

Baca Juga: WHO: Dunia Akan Kekurangan 2 Miliar Alat Suntik Vaksin COVID pada 2022

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya