Jalan Berliku ASEAN Menyudahi Kudeta Militer Myanmar

RI harus mengambil peran lebih untuk Myanmar

Jakarta, IDN Times - Gelombang demonstrasi terbesar dalam 14 tahun terakhir meletus di Myanmar. Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari pegawai negeri, selebritas, mahasiswa, hingga tenaga kesehatan, semuanya berkumpul demi satu aspirasi: menolak kudeta militer dan menuntut penegakan demokrasi.

“Kami akan berjuang sampai akhir. Generasi berikutnya hanya bisa menikmati demokrasi jika kami mengakhiri kediktatoran militer ini,” ungkap Ye Kyaw, mahasiswa berusia 18 tahun, sebagaimana dilaporkan Channel News Asia, baru-baru ini.

“Kami menolak untuk mematuhi perintah apa pun dari rezim yang tidak sah. Mereka tidak peduli dengan pasien kami yang malang,” kata seorang dokter, yang enggan kembali ke rumah sakit hingga militer benar-benar kembali ke barak, dikutip dari The Insider.

Tiga minggu sejak militer menahan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint, aksi damai berubah menjadi medan gejolak antara demonstran dengan polisi. Segala upaya dikerahkan aparat untuk membubarkan massa atas dalih stabilitas domestik. Mulai dari membatasi akses internet, menyiagakan mobil meriam air, menembakkan gas air mata, hingga menarik pelatuk revolver.

Puncak ketegangan terjadi di Mandalay pada Sabtu, 20 Februari 2021, ketika polisi melepaskan peluru tajam hingga merenggut dua nyawa demonstran. Satu di antaranya berusia 16 tahun. Meninggal setelah kepalanya tertembak. Beberapa hari sebelumnya, peluru karet juga bersarang di kepala seorang perempuan. Nyawanya tidak terselamatkan, meski telah menjalani perawatan intensif.

“Saya melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ada seorang perempuan tua, yang hanya menonton protes dari rumahnya, kemudian polisi menyerangnya. Dia mengalami cedera kepala yang parah,” kata seorang demonstran kepada Al Jazeera, seraya menggambarkan kerusuhan sebagai “zona perang.”

1. Kudeta militer dan gerakan sipil

Jalan Berliku ASEAN Menyudahi Kudeta Militer MyanmarKendaraan bersenjata Tentara Myanmar berkendara melewati sebuah jalan setelah mereka mengambil kekuasaan dalam sebuah kup di Mandalay, Myanmar, Selasa (2/2/2021). (ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer)

Kudeta yang terjadi pada Senin, 1 Februari 2021 dini hari merupakan puncak dari ketegangan antara fraksi militer dengan politisi sipil. Kubu angkatan bersenjata yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing mengklaim, pemilu pada November 2020 penuh kecurangan. Alhasil, Partai Liga Nasional Demokrasi (NLD) sukses mengamankan 315 dari 440 kursi di Majelis Rendah dan 161 dari 224 kursi di Majelis Tinggi.

Militer menuding komisi pemilu bersekongkol dengan NLD untuk meloloskan 8,6 juta daftar pemilih palsu. Komisi pemilu didesak membuka data pemilih secara transparan kepada publik. Namun gugatan itu ditolak. NLD juga meyakini mereka telah memenangkan pemilu dengan cara-cara demokratis. Tanpa kecurangan.

Di balik layar, Min Aung sebenarnya telah bernegosiasi dengan Suu Kyi untuk mengamankan kursi kepresidenan. Itu pun setelah periode kepemimpinannya sebagai Panglima Tatmadaw, sebutan untuk militer Myanmar, kembali diperpanjang. Tetapi perempuan peraih Nobel Perdamaian itu menolak permintaan Min Aung.

“Sebelum kudeta, si jenderal (Min Aung) sempat mengontak Suu Kyi dan Presiden (Win Myint), meminta dua hal. Pertama, meminta masa jabatannya diperpanjang sebagai ketua militer. Kedua, dia ingin jadi presiden,” kata Eva Sundari, mantan Ketua ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC), kepada IDN Times, Jumat, 19 Februari 2021.

Penolakan itulah yang mendasari aksi kudeta. Militer berdalih kudeta adalah sesuatu yang tak terhindarkan, demi melindungi negara dari krisis politik. Untuk menekan resistensi, militer menggaungkan narasi kecurangan pemilu. Beberapa hari kemudian, Suu Kyi ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan mengimpor alat komunikasi ilegal.

Kemudian, giliran Win Myint yang dijerat pasal pidana karena melanggar undang-undang darurat, sebab memicu kerumunan saat kampanye pemilu 2020 di tengah pandemik COVID-19. Pasal yang sama kemudian dialamatkan kepada Suu Kyi.

Sejarawan sekaligus intelektual terkemuka di Myanmar, Thant Myint U, meyakini perebutan kekuasaan bukan sesuatu yang direncanakan secara matang. Akibatnya, aparat tidak memiliki strategi yang matang untuk menekan gelombang demonstrasi.

Semula, fraksi militer mayakini Partai Solidaritas dan Pembangunan Serikat (USDP), partai yang berafiliasi dengan militer, setidaknya memperoleh 25 persen kursi parlemen. Ditambah dengan Konstitusi 2008 yang memberikan previlese 25 persen jatah parlemen kepada militer, maka Min Aung bisa mengendalikan setengah dari parlemen Burma.

“Sayangnya, pemilu tidak berjalan sesuai keinginan mereka. Makanya, saya ragu dengan narasi bahwa kudeta adalah sesuatu yang tak terhindarkan,” kata Myint U, dilansir dari laman Foreign Policy.

Sejarah panjang militer sebagai kepala negara bermula pada 1962, ketika Jenderal Ne Win melengserkan rezim Presiden Sao Shwe Thaik dan Perdana Menteri U Nu. Sejak saat itu, kepemimpinan negara diwariskan melalui kudeta jenderal atas jenderal lainnya. Peristiwa itulah yang mendasari julukan Myanmar sebagai “Negeri Para Jenderal.”

Suu Kyi, putri dari Jenderal Aung San yang merupakan pahlawan kemerdekaan Myanmar, hadir sebagai sosok yang mendobrak rezim militer. Setelah menamatkan studinya di Universitas Oxford dan Universitas London, Suu Kyi kembali ke tanah kelahirannya untuk memperjuangkan demokrasi pada Gerakan 8888 (8 Agustus 1988).

Perempuan kelahiran 19 Juni 1945 ini sudah empat kali ditetapkan sebagai tahanan rumah, yaitu pada 1990, 2000, 2003, dan 2021. Myint U menjelaskan, Suu Kyi adalah titik temu dari berbagai elemen sipil yang hari ini menentang kekuasaan militer.

“Apa yang membedakan protes sipil kali ini adalah jutaan orang berdemonstrasi karena mereka memilih Suu Kyi. Bukan diorganisir oleh Suu Kyi. Ada orang-orang tua yang trauma hidup di bawah rezim militer, benci terhadap militer, sebagian juga karena loyalitas terhadap NLD,” kata dia.

2. Kecaman komunitas internasional

Jalan Berliku ASEAN Menyudahi Kudeta Militer MyanmarPengunjuk rasa menggelar aksi protes terhadap kudeta militer di Kota Yangon, Myanmar, Sabtu (6/2/2021). Mereka menuntut pembebasan pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi. ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/wsj.

Komunitas internasional ramai-ramai mengecam apa yang terjadi di Myanmar. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres berjanji akan mengerahkan seluruh cara untuk menggagalkan rezim militer. Dia juga mengecam tindakan represif yang merenggut nyawa masyarakat sipil.

Dewan Keamanan PBB juga mengutuk apa yang terjadi di Naypyidaw. Mereka menyatakan apa yang terjadi di Myanmar adalah tindakan inkonstitusional.

Sejumlah negara, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Kanada telah menjatuhkan sanksi kepada Myanmar. Inggris menghentikan segala bisnis yang terkait dengan elite militer. Ottawa juga menjatuhkan sanksi kepada sembilan jenderal. Adapun Washington membekukan aset para jenderal sekaligus memutus bantuan senilai 1 miliar dolar AS.

“Kami dapat membebankan sanksi yang bahkan lebih curam melalui kerja sama dengan mitra dan sekutu yang sepemikiran,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS Ned Price, seraya melayangkan ancaman yang lebih berat jika 500 lebih tahanan politik tak kunjung dibebaskan.

Myint U mewanti-wanti agar instrumen sanksi diterapkan secara proporsional, sebab militer Myanmar adalah institusi yang terisolasi. Jika tidak tepat sasaran, maka sanksi justru memperberat keberlangsungan hidup puluhan juta penduduk lainnya.

“Kebanyakan dari mereka tidak bisa berbahasa asing, tidak memiliki aset di luar negeri. Bahkan lebih terisolir dari orang miskin di negara berkembang. Menjatuhkan sanksi kepada mereka tidak akan berdampak signifikan terhadap sikap politiknya,” tutur dia.

Myint U menyarankan supaya dukungan internasional, apa pun bentuknya, termasuk sanksi, memperhatikan beberapa hal yang diprediksi akan dilakukan militer.

“Mereka pasti memperluas tuduhan kecurangan dan tuduhan korupsi NLD. Mereka akan mengeluarkan paket stimulus ekonomi. Dan gencatan senjata dengan organisasi bersenjata non-negara. Mereka akan mencoba memenangkan suara etnis minoritas. Atau sebaliknya, mengamankan suara dari orang-orang konservatif,” kata dia.

3. Lambatnya kerja ASEAN

Jalan Berliku ASEAN Menyudahi Kudeta Militer MyanmarANTARA FOTO/REUTERS/Soe Zeya Tun

Patut disayangkan, ASEAN selaku organisasi yang menaungi negara-negara Asia Tenggara belum menunjukkan sikap tegasnya, kecuali pernyataan normatif agar setiap pihak menahan diri dari perbuatan anarkis dan represif.

Anggota ASEAN belum satu suara menyikapi kudeta militer di Myanmar. Ketika Malaysia, Indonesia, dan Singapura tegas mendukung demokrasi, supremasi hukum, dan penegakan hak asasi manusia (HAM), Thailand dan Kamboja justru mengingatkan apa yang terjadi di Burma adalah isu domestik. Sehingga bukan kapasitas entitas lain menanggapi sengketa militer-sipil di negara tersebut.

“ASEAN ini somehow unik ya. Komunitas internasional cukup menghormati ASEAN, makanya diberi kesempatan untuk menerapkan mekanisme ASEAN dulu dalam isu Myanmar. Tapi, ASEAN juga dipanas-panasi dengan sanksi dari negara-negara lain, ASEAN ditunggu langkah konkretnya,” ujar Eva yang juga politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Ketika menghadapi instabilitas domestik, ASEAN selalu dihadapkan dengan tantangan yang sama, yaitu prinsip non-intervensi. Organisasi beranggotakan 10 negara ini dituntut untuk 'melibatkan' diri tanpa memunculkan kesan campur tangan terhadap kondisi dalam negeri.

Hal ini pula yang menyebabkan ASEAN cenderung pasif dalam menyikapi instabilitas politik di Thailand 2020, kudeta militer Thailand 2006 dan 2014, Revolusi Saffron 2007, atau diskriminasi Myanmar terhadap etnis Rohingnya.

“Sulit,” kata Mutiara Pertiwi, dosen Hubungan Internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, ketika ditanya apakah ASEAN akan mengambil sikap berbeda pada kasus Myanmar.

“Suram sekali refleksi ASEAN di area demokrasi dan perlindungan HAM saat ini. Kalau kita bandingkan dengan krisis Myanmar pada tahun 1990-an, ketika ada perdebatan di ASEAN tentang bergabungnya Myanmar yang sedang mengalami krisis politik, kondisi saat ini lebih challenging karena ASEAN 5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) demokrasinya sedang goyah,” sambung, dia kepada IDN Times, Kamis, 18 Februari 2021.

Demi mencegah situasi yang lebih runyam, Menteri Luar Negeri (Menlu) Republik Indonesia Retno Marsudi secara maraton membangun komunikasi dengan banyak pihak, mulai dari Menlu negara-negara Asia Tenggara, Menlu Tiongkok, hingga Menlu AS. Semua diperuntukkan agar pendekatan konstruktif dan mekanisme ASEAN menjadi instrumen utama dalam mewujudkan stabilitas di Myanmar.

“Untuk membantu Myanmar, kita mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar. Berkontribusi untuk mencari solusi terbaik bagi rakyat, termasuk membantu transisi demokrasi secara inklusif. Indonesia yakin bahwa mekanisme ASEAN adalah mekanisme yang paling tepat untuk membantu Myanmar,” kata Retno usai menemui Menlu Brunei Darussalam, yang saat ini menjabat sebagai Ketua ASEAN, Rabu, 17 Februari 2021.

Mutiara menilai pernyataan Retno sebagai rektorika diplomasi ASEAN, untuk memperlihatkan komitmen kuat dalam mengelola permasalahan di kawasan.

“Bahwa mereka benar-benar akan menghasilkan terobosan politik baru, itu hal lain lagi. Pernyataan ibu menteri ungkapan netral, menunjukkan upaya, namun belum atau tidak bisa menjanjikan apapun saat ini,” tutur dosen yang memiliki perhatian terhadap isu-isu ASEAN itu.

Sementara, menanggapi pernyataan Retno, Eva menilai mekanisme ASEAN yang sedang diupayakan Menlu RI saat ini adalah mencegah terjadinya konsolidasi antar jenderal. Salah satunya adalah penguatan relasi dengan jenderal Thailand yang juga memperoleh kekuasaan melalui jalur kudeta.

Jalan Berliku ASEAN Menyudahi Kudeta Militer MyanmarIDN Times/Arief Rahmat

4. Menanti langkah konkret ASEAN

Jalan Berliku ASEAN Menyudahi Kudeta Militer MyanmarIlustrasi warga Myanmar berunjuk rasa di Yangoon, Myanmar pada Sabtu, 30 Januari 2021 (ANTARA FOTO/REUTERS/Shwe Paw Mya Tin)

Di tengah catatan hitamnya terkait penegakan hukum dan HAM, ASEAN tetap harus memperjuangkan sejumlah agenda. Utamanya menjaga distribusi bantuan kemanusiaan. Menurut Eva, langkah ini adalah bagian dari pendekatan konstruktif untuk membantu Myanmar tanpa harus menjatuhkan saksi atau bahkan mempermalukannya.

Eva mewakili kubu optimistis ASEAN akan mengambil langkah progresif untuk mewujudkan stabilitas di Myanmar. Terlebih, ada berbagai preseden yang memaksa ASEAN untuk mengambil peran lebih demi mengamankan stabilitas kawasan.

Pendekatan itu bisa dilakukan, tentu saja, ketika tidak banyak pihak yang ikut campur tangan. Pada Minggu, 21 Februari 2021, setelah Retno berkomunikasi dengan Menlu Wang Yi, Tiongkok menyatakan siap membantu Indonesia dalam menerapkan mekanisme ASEAN.

“Selama ini kita menahan supaya Tiongkok gak berantem dengan AS (isu Laut Tiongkok Selatan). Belum lagi ancaman domestik, seperti manusia kapal, kelompok perlawanan yang kemasukan ISIS. Jadi jangan sampai kawasan ini tidak stabil. Dan kalau aku lihat, ya memang itu langkah Bu Retno yang sesuai dengan ekspektasi komunitas internasional,” kata alumni Universitas Airlangga itu.

Sebaliknya, Mutiara justru khawatir, ASEAN harus mengambil jalan berputar dengan mengandalkan sikap pihak eksternal untuk menyudahi krisis. Apalagi di tengah situasi pandemik COVID-19 yang memaksa setiap negara lebih fokus terhadap kondisi kesehatan dan ekonominya.

Jika tidak, demonstrasi akan berlarut, yang kemungkinan besar akan memakan lebih banyak korban. Terlebih, fraksi militer telah mendeklarasikan pemerintahan darurat selama setahun ke depan. Hal itu belum memperhitungkan ancaman virus di tengah kerumunan massa, mengingat posisi Myanmar sebagai negara kedua dengan kasus COVID-19 terbanyak di Asia Tenggara.

“Karena keterbatasan mekanisme intra-regional ASEAN, pressure untuk mengembalikan demokratisasi Myanmar bergantung pada power network yang lebih luas, (seperti) sikap AS dan negara Barat terkait sanksi, dukungan politik dan transaksi militer dengan Tiongkok dan Rusia, juga proyeksi kerja sama ekonomi dengan India,” kata Mutiara.

Myint U juga memiliki pandangan yang senada dengan Mutiara. Sebab, dalam konteks Myanmar, tidak mustahil Beijing dengan Washington bekerja sama. Keduanya sama-sama lebih diuntungkan ketika Myanmar berada di bawah naungan Suu Kyi.

“Begitu pula dengan India dan Jepang (untuk memiliki pandangan yang sama terkait Myanmar). Satu hal yang pasti adalah mereka (para jenderal Myanmar) sulit bekerja sama dengan Tiongkok. Selama ini, Tiongkok sempat mendukung beberapa pemberontak,” tutur alumni John Hopkins University itu.

5. Apa yang bisa Indonesia lakukan?

Jalan Berliku ASEAN Menyudahi Kudeta Militer MyanmarPrajurit Myanmar melihat saat mereka berdiri di dalam balai kota Yangon setelah mereka menduduki gedung tersebut, di Yangon, Myanmar, Senin (1/2/2021). (ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/WSJ)

Alasan utama mengapa Menlu Retno memainkan peran lebih adalah karena Indonesia termasuk negara yang diterima kehadirannya oleh Myanmar. “Indonesia memiliki posisi konkret untuk membantu Myanmar jauh sebelum konflik. Pada saat badai Nargis, saat memberikan bantuan kemanusiaan, dan terkait isu Rohingya. Jadi Indonesia bisa diterima oleh Myanmar,” kata Eva.

Penerimaan tersebut bukan hasil dari diplomasi satu malam. Melalui penelitian bertajuk Pengaruh Bali Democracy Forum (BDF) terhadap Transisi Demokrasi Myanmar, Eva mengusung argumen, butuh waktu bertahun-tahun supaya Indonesia meyakinkan Myanmar bahwa nilai-nilai demokrasi bisa diselaraskan dengan kearifan lokal. Indonesia tidak memasang standar baku saat mengajak Myanmar untuk menjalani demokrasi.

Hal itu menegaskan kenapa Indonesia bisa terlibat dalam pembangunan demokrasi di Myanmar, ketika AS atau negara-negara Eropa bahkan ditolak kehadirannya. Di sisi lain, Eva melihat pendekatan saksi belum relevan untuk diterapkan Indonesia.

“Sanksi itu berkaitan dengan control of money. Indonesia punya, tapi masih belum kuat, lebih kuat komunitas internasional,” kata dia.

Dengan kata lain, peran Indonesia bukan sebatas menyudahi ketegangan yang sedang berlangsung. Lebih dari itu, RI bahkan memiliki modalitas mumpuni untuk merestorasi nilai-nilai demokrasi di Myanmar.

Dalam konteks itu, Eva mengingatkan supaya Indonesia bisa memberi pemahaman kepada elite Myanmar mengenai sumber dari kudeta tersebut, salah satunya adalah Konstitusi 2008 yang mengadopsi dwifungsi militer.  

“Dwifungsi militer menyalahi demokrasi. Tugas militer harusnya di barak. Aku pernah memberi pembekalan (kepada perwakilan Myanmar), selama kamu tidak punya demokrasi yang sesungguhnya dalam konstitusi, maka chaos seperti sekarang ini bisa terjadi kapan saja,” kata dia.

Myint U bahkan lebih berani mengatakan bahwa selama ini bukanlah demokrasi yang dinikmati warga Myanmar.

“Yang terjadi di Myanmar bukanlah demokrasi, melainkan tatanan politik baru, karena militer berbagi kekuasaan dengan para politisi. Sebagai sebuah tatanan termutakhir, itu bukanlah sesuatu yang terjadi dalam semalam. Itu merupakan perjuangan puluhan tahun. Namun, faktanya, tatanan politik itu bisa menumbuhkan ekonomi Myanmar dengan signifikan,” ungkap lelaki kelahiran New York itu.

Lebih lanjut, Mutiara menambahkan, Indonesia harus memiliki diplomat yang disegani Junta Militer untuk mengoptimalkan modalitas yang selama ini sudah dibangun. Alumni Universitas Nasional Australia itu juga berharap agar Indonesia terus mendorong Myanmar membuka akses bantuan kemanusiaan.

“Tantangannya adalah menemukan figur diplomat yang tepat, baik di Indonesia maupun di ASEAN, yang disegani oleh Myanmar, sehingga rekomendasinya akan didengarkan. Dalam hal diplomasi publik, seruan Indonesia untuk mengingatkan demokrasi Myanmar pada track-nya perlu terus dilanjutkan. Yang lainnya adalah mencari insentif politik yang bisa diterima oleh Junta sehingga mereka mau kembali ke jalur demokratisasi,” kata dia.

Sementara, Eva menambahkan, “Indonesia tetap harus mengedepankan gaya Asia, tetap merendah tapi menyelesaikan masalah. Tugas kita adalah memberi tekanan, melobi. Multitrack diplomacy, people to people juga harus terus jalan.”

Baca Juga: Tiga Demonstran Tewas, Ini 5 Fakta Terbaru Soal Kudeta Myanmar

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Rochmanudin
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya